Teknologi blockchain dalam beberapa tahun terakhir muncul sebagai inovasi yang menjanjikan transaksi keuangan lebih cepat, aman, dan terdesentralisasi. Berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang masih mengandalkan manusia sebagai validator, blockchain menawarkan konsep “trustless system,” di mana transaksi diverifikasi oleh algoritma matematis tanpa perantara. Keunggulan ini berpotensi menggeser sistem perbankan tradisional yang rentan terhadap manipulasi, meskipun masih menghadapi sejumlah tantangan.
Blockchain berfungsi sebagai buku besar digital terdistribusi yang mencatat transaksi dalam blok-blok terenkripsi. Validasi transaksi dilakukan melalui mekanisme konsensus seperti Proof of Work (PoW) atau Proof of Stake (PoS), di mana jaringan komputer (node) bekerja sama atau bersaing untuk memverifikasi data. Tanpa otoritas tunggal seperti bank sentral, setiap node menyimpan salinan ledger, membuat pemalsuan data hampir mustahil. Keamanan ditingkatkan dengan enkripsi algoritma kompleks, sementara kecepatan transaksi jauh lebih unggul dibanding sistem SWIFT dalam perbankan konvensional, yang dapat memakan waktu beberapa hari.
Bitcoin menjadi contoh nyata bagaimana sistem ini bekerja, memproses transaksi 24/7 tanpa hambatan. Sementara itu, Ripple (XRP) telah dimanfaatkan beberapa bank untuk mempercepat transfer internasional dengan biaya minimal.
Hingga saat ini, perbankan masih sangat bergantung pada lembaga terpusat dan manusia sebagai validator. Hal ini, membuka celah bagi berbagai permasalahan. Kasus manipulasi LIBOR (2012) dan skandal Wells Fargo (2016) membuktikan bahwa sistem ini rentan terhadap penyalahgunaan. Biaya transaksi yang tinggi dan proses yang lambat menjadi keluhan utama, terutama dalam transaksi lintas negara yang sering kali melibatkan banyak perantara. Selain itu, sistem perbankan juga rentan terhadap serangan siber, sebagaimana terlihat dalam kasus Bangladesh Bank yang kehilangan 81 juta dolar akibat peretasan.
Perbankan juga sering kali menjadi alat kebijakan politik, dengan pemerintah memiliki kewenangan untuk membekukan rekening atau menerapkan sanksi ekonomi. Seperti yang terjadi di Rusia, Ketika Amerika membekukan cadangan devisa Rusia yang dalam bentuk Dollar AS (hal ini kemudian memicu inisiasi BRICS).
Baca juga: Bitcoin atau BRICS? Mana yang Lebih Cepat Meruntuhkan Kekuasaan Dollar?
Blockchain menawarkan berbagai solusi atas kelemahan sistem perbankan tradisional. Dengan transparansi yang tinggi, setiap transaksi dapat dilacak tanpa mengungkap identitas pengguna secara langsung. Biaya transaksi jauh lebih murah dengan menghilangkan perantara, sebagaimana ditunjukkan oleh platform seperti Stellar dan Algorand yang memungkinkan transfer lintas batas dengan biaya sangat rendah. Selain itu, teknologi ini membuka akses keuangan bagi sekitar 1,4 miliar orang yang belum memiliki akses ke layanan perbankan konvensional, hanya dengan menggunakan smartphone dan dompet kripto.
Dalam dunia keuangan terdesentralisasi (DeFi), berbagai platform memungkinkan aktivitas keuangan seperti pinjaman, perdagangan, dan investasi tanpa campur tangan bank. Bahkan, bank sentral mulai mengeksplorasi potensi Central Bank Digital Currency (CBDC) berbasis blockchain untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan.
Baca juga: Keuangan Masa Depan: Apakah Bank Akan Kalah dari DeFi?
Meskipun memiliki banyak keunggulan, blockchain masih menghadapi berbagai hambatan sebelum dapat sepenuhnya menggantikan perbankan. Dari segi skalabilitas, misalnya, Bitcoin hanya mampu memproses tujuh transaksi per detik, jauh di bawah Visa yang dapat menangani 24.000 transaksi per detik. Solusi seperti Lightning Network masih dalam tahap pengembangan untuk mengatasi keterbatasan ini.
Regulasi menjadi tantangan lainnya, dengan banyak negara yang masih membatasi atau melarang transaksi kripto karena kekhawatiran terhadap pencucian uang dan volatilitas pasar. China, misalnya, melarang transaksi kripto pada 2021, sementara regulasi di Amerika Serikat masih belum jelas.
Dari sisi konsumsi energi, blockchain berbasis PoW seperti Bitcoin dikritik karena boros listrik. Ethereum telah beralih ke mekanisme PoS pada 2022 untuk mengurangi konsumsi energi hingga 99 persen. Selain itu, kepercayaan publik terhadap aset digital masih belum kuat, terutama setelah kasus-kasus seperti kolapsnya FTX dan Terra Luna pada 2022.
Menurut laporan McKinsey pada 2023, blockchain diperkirakan akan mengambil 10-15 persen pangsa pasar perbankan global pada 2030, terutama dalam sektor pembayaran dan penyelesaian transaksi. Namun, bank konvensional tidak akan sepenuhnya punah, melainkan beradaptasi dengan teknologi baru. JPMorgan, misalnya, telah mengembangkan JPM Coin untuk transaksi institusional, sementara Singapura memimpin inisiatif Project Ubin yang mengadopsi sistem pembayaran berbasis blockchain.
Blockchain membawa inovasi besar dalam dunia keuangan, mengurangi peran manusia yang rentan terhadap kesalahan dan korupsi. Namun, untuk menggantikan perbankan secara penuh, teknologi ini masih harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk regulasi, kecepatan, dan penerimaan publik yang lebih luas. Di masa depan, kemungkinan besar akan muncul sistem hibrida, di mana blockchain menangani transaksi rutin, sementara bank tetap berperan dalam layanan kompleks seperti pengelolaan kekayaan dan kredit. Yang pasti, peran manusia dalam transaksi keuangan perlahan mulai bergeser, digantikan oleh kode komputer yang bekerja tanpa kompromi.