Sistem keuangan global dalam beberapa tahun terakhir menghadapi kritik terkait dominasi Dolar AS dan ketidakstabilan mata uang fiat. Dari kejadian ini, muncul dua fenomena mencolok, yaitu: inisiatif de-dolarisasi oleh BRICS dan kebangkitan Bitcoin sebagai aset digital alternatif. BRICS hadir menantang hegemoni Dolar AS, sementara Bitcoin hadir sebagai reaksi terhadap ketidakpercayaan Sebagian orang terhadap sistem mata uang fiat.
Aliansi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, sejak 2009 berupaya mengurangi ketergantungan pada Dolar AS. Langkah ini dipercepat seiring dengan adanya sanksi “Barat” terhadap Rusia pada tahun 2022 dan meningkatnya ketegangan geopolitik antara AS dan China. Dalam KTT 2023, BRICS membahas kemungkinan perluasan keanggotaan serta pengembangan mata uang bersama, meskipun belum ada keputusan konkret sampai saat ini. Tetapi telah ada langkah praktis yang telah dilakukan untuk mengurangi penggunaan Dollar AS, diantaranya: penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral, seperti transaksi China-Rusia dalam Yuan dan Rubel, serta pengembangan sistem pembayaran alternatif melalui New Development Bank (NDB).
Motivasi utama BRICS adalah mengurangi risiko sanksi AS, ketergantungan negara terhadap Dollar, memperkuat otonomi ekonomi, dan menciptakan sistem keuangan yang lebih multipolar. China, misalnya, mendorong internasionalisasi Yuan melalui inisiatif Belt and Road, sementara Rusia semakin mengandalkan Yuan setelah dikeluarkan dari sistem SWIFT.
Sementara itu, Bitcoin yang diperkenalkan pada 2009 setelah krisis keuangan global dan dirancang sebagai “uang digital terdesentralisasi” oleh Satoshi Nakamoto, menyoroti kegagalan bank sentral dan mata uang fiat (khususnya Dollar AS), yang sejak 1971 tidak lagi dibackup dengan emas, dan ini menyebabkan Dollar AS dapat dicetak tanpa batas, yang berpotensi memicu inflasi dan ketimpangan ekonomi. Hal ini menjadi bertambah parah Ketika pandemic Covid19 – dimana The Fed telah mencetak Dollar dengan jumlah setara dengan 50% dari total Dollar yang ada sepanjang masa.
Disaat banyak orang bekerja keras untuk mendapatkan Dollar, The Fed dengan mudahnya mencetak uang begitu saja. Oleh karenanya Bitcoin hadir. Bitcoin, dengan pasokannya yang terbatas hanya 21 juta koin, menawarkan solusi alat tukar yang tidak bisa dicetak ulang, Bitcoin didesain anti-inflasi dan independent.
Kenaikan harga Bitcoin, dari NOL pada 2009 hingga mencapai rekor $104.000 pada 2025, menunjukkan daya tariknya sebagai penyimpan nilai (store of value), terutama di negara-negara dengan mata uang lemah seperti Argentina dan Turki.
Meskipun berasal dari latar belakang berbeda, BRICS dan Bitcoin memiliki kesamaan dalam hal kritik terhadap sistem Dolar AS dan mata uang fiat. Namun, pendekatan yang digunakan sangat berbeda. BRICS mengandalkan kerja sama antarnegara untuk membangun alternatif melalui mata uang bersama atau peningkatan penggunaan Yuan, sementara Bitcoin beroperasi sebagai gerakan desentralisasi yang mengandalkan teknologi blockchain di luar kendali pemerintah.
Kedua gerakan ini menghadapi tantangan yang tidak kecil. BRICS mengalami kesulitan dalam menciptakan mata uang bersama karena perbedaan ekonomi dan politik di antara anggotanya. Selain itu, Yuan masih belum sepenuhnya bebas konversi. Sementara itu, Bitcoin menghadapi kritik karena volatilitas harga yang tinggi, konsumsi energi yang besar, serta risiko penggunaannya dalam aktivitas ilegal.
BRICS dan Bitcoin merupakan dua respons berbeda terhadap krisis kepercayaan pada mata uang fiat. Keduanya mencerminkan aspirasi global akan sistem keuangan yang lebih adil dan tahan terhadap krisis. Namun, selama Dolar AS masih didukung oleh stabilitas ekonomi AS dan kepercayaan pasar, tantangan dari BRICS dan Bitcoin akan tetap bersifat bertahap. Kedua entitas ini mungkin tidak akan menggantikan Dolar AS, tetapi mereka berpotensi menjadi pelengkap dalam lanskap keuangan global yang semakin kompleks. Setidaknya untuk saat ini.