Pada tahun 2025, Jawa Timur mencatat prestasi produksi pangan yang mengesankan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan provinsi ini memproyeksikan panen gabah kering giling (GKG) mencapai lebih dari 12,7 juta ton—menyumbang surplus beras hingga 5 juta ton. Surplus memang mencerminkan kapasitas produksi, tetapi tidak otomatis menunjukkan pemerataan konsumsi.
Dalam laporan riset Enciety Data Mining, terlihat adanya variasi pola pengeluaran masyarakat terhadap kelompok bahan makanan pokok, terutama padi-padian. Daerah seperti Trenggalek dan Jember mencatatkan proporsi pengeluaran untuk padi-padian yang tinggi—masing-masing sebesar 15,18% dan 14,53% dari total pengeluaran konsumsi rumah tangga. Sebaliknya, kota-kota besar seperti Surabaya atau Malang menunjukkan proporsi yang lebih rendah.
Laporan Enciety Data Mining menjadi rujukan penting dalam memahami tidak hanya sisi produksi, tapi juga karakter konsumsi dan kerentanan pangan rumah tangga, yang selama ini kurang dilibatkan dalam peta kebijakan pangan nasional. Dengan pendekatan data-driven, Enciety menempatkan perilaku konsumsi sebagai indikator yang tak kalah penting dibanding sekadar stok produksi.
Di tingkat petani, realitasnya semakin kompleks. Di Jember misalnya, pada tahun 2024, ditemukan bahwa 62% petani menjual gabah ke tengkulak. Alasannya sederhana: prosesnya mudah, cepat, dan pembayarannya tunai. Disampig itu, tengkulak juga sering kali menyediakan pembiayaan pra-panen, pupuk, hingga tenaga kerja. Sementara lembaga resmi seperti Bulog masih dinilai terlalu lambat dan birokratis untuk urusan seperti ini.
Dari 200 komentar Facebook yang dianalisis dari unggahan page “Forum Petani Nusantara”, mayoritas suara petani menggambarkan kekecewaan terhadap peran Bulog:
"Kalau ke tengkulak, tinggal angkut aja, duit langsung cair. Ke Bulog disuruh urus macam-macam, duitnya lama cair," tulis akun @AgusPetani79.
"Katanya negara bela petani. Tapi nyatanya, pas panen malah gak dibeli langsung. Akhirnya dijual ke tengkulak juga," tambah @NiningLadang.
“Kami disuruh bawa gabah ke gudang, disuruh keringin sendiri, bayar angkut sendiri. Pas dijual ke Bulog, bayarannya juga gak langsung cair,” tulis akun @Haryo_W.
“Tengkulak itu jahat, tapi dia juga yang bantuin pupuk pas awal tanam, dan dia ambil panen kita langsung cash. Sementara Bulog malah ngasih harga mirip tapi lama cairnya,” ujar @Feri-Agrikultur.
“Bulog jangan sok jadi penyelamat petani kalau beli gabah saja masih lewat tengkulak juga. Jelas-jelas petani jadi tetap gak untung,” kata @SriKuning_Farm.
Beberapa komentar lain juga menyentuh soal kebijakan impor beras yang dianggap melemahkan posisi tawar petani lokal.
"Ngaku surplus tapi tetap impor? Kita yang punya sawah tetap susah jual hasil panen. Di mana logikanya?" komentar dari @Bambang_Sawah.
Bulog sendiri telah menyerap 300.000 ton beras dari Jawa Timur pada awal 2025. Namun, dengan kapasitas gudang yang hanya mampu menampung 450.000 ton, distribusi harus segera dilakukan. Tetapi, tanpa sistem logistik yang efisien, proses ini justru membuka peluang untuk fluktuasi harga dan penyalahgunaan stok oleh tengkulak.
Menariknya, jika dibandingkan dengan masyarakat adat seperti di Kasepuhan Cisungsang, Banten, terdapat pendekatan berbeda dalam mengelola hasil panen. Di sana, beras disimpan di leuit (lumbung) selama bertahun-tahun, digunakan sesuai kebutuhan adat dan keluarga, dan tidak dijual secara bebas. Pendekatan ini, meskipun berskala kecil dan berbasis kultural, menciptakan cadangan pangan jangka panjang yang stabil dan tidak mudah terganggu oleh fluktuasi pasar.
Namun, tentu tidak semua wilayah bisa menjalankan sistem seperti itu. Maka, negara melalui Bulog semestinya menjadi pengganti fungsi sosial leuit dengan kapasitas lebih besar, lebih adil, dan inklusif. Kenyataannya, hingga saat ini, Bulog masih menyerap sebagian besar hasil panen dari wilayah sentra seperti Ngawi dan Madiun, tetapi belum mampu menjangkau petani kecil di daerah terpencil
Menuju Sistem Pangan yang Adil dan Adaptif
Dari semua temuan ini, ada satu kesimpulan penting: ketahanan pangan tidak cukup dinilai dari jumlah stok di gudang atau tonase produksi di atas kertas. Ketahanan pangan juga menyangkut seberapa adil sistem bekerja bagi produsen (petani), seberapa cepat pangan berpindah ke konsumen yang membutuhkan, dan seberapa besar masyarakat mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti beras.
Di titik ini, data insight dari Enciety Data Mining menjadi penting. Melalui pendekatan mikrodata konsumsi, tren pengeluaran rumah tangga, dan keterjangkauan pangan, lembaga ini mampu menawarkan potret kerentanan pangan dengan presisi yang lebih tinggi. Pemerintah daerah, Bulog, maupun Kementerian Pertanian dapat menjadikan data semacam ini sebagai landasan kebijakan intervensi—termasuk menentukan lokasi prioritas untuk operasi pasar, gudang distribusi, dan pembelian langsung ke petani.
Tanpa reformasi struktural pada sisi distribusi, digitalisasi rantai pasok, dan pembenahan hubungan antara petani dan negara, surplus beras hanya akan menjadi angka—sementara di sisi lain, petani tetap menjual panennya ke tengkulak dan masyarakat kecil tetap membeli beras dengan harga mahal.