Pembiayaan paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di Indonesia menunjukkan pertumbuhan eksponensial meskipun menghadapi tantangan makroekonomi yang signifikan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pembiayaan paylater yang disalurkan perusahaan pembiayaan mencapai Rp8,24 triliun per April 2025, meningkat 47,11% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan Maret 2025 sebesar 39,28% yoy. Sementara itu, outstanding paylater dari perbankan mencapai Rp21,3 triliun per April 2025, dengan pertumbuhan 26,5% yoy. Pertumbuhan ini terjadi di tengah penurunan daya beli masyarakat yang tercermin dari deflasi sebesar 0,21% pada Januari 2025 dan PHK massal di sektor manufaktur yang memengaruhi pendapatan rumah tangga. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai faktor pendorong adopsi paylater, dampaknya terhadap perilaku konsumen, serta risiko sistemik yang mungkin timbul dalam sistem keuangan Indonesia.
Dinamika Pertumbuhan Paylater di Indonesia
Pasar paylater di Indonesia didominasi oleh dua jenis penyedia layanan, bank dan perusahaan pembiayaan non-bank. Per April 2025, bank menyumbang 72% dari total outstanding paylater nasional (Rp21,3 triliun), sementara perusahaan pembiayaan non-bank berkontribusi 28% (Rp8,24 triliun). PT Allo Bank Indonesia Tbk mencatatkan outstanding paylater tertinggi di antara bank dengan nilai Rp7 triliun, didukung oleh kemitraan strategis dengan operator seluler dan merchant ritel. Pertumbuhan ini dipicu oleh kemudahan akses, seperti persetujuan instan melalui aplikasi mobile, tenor fleksibel (1-12 bulan), dan insentif seperti cashback atau diskon.
Di sisi non-bank, perusahaan seperti Kredivo, Akulaku, dan Indodana menguasai 65% pasar dengan strategi penetrasi ke segmen unbanked. Laporan OJK menunjukkan bahwa 58% pengguna paylater non-bank berasal dari kalangan milenial (usia 25-40 tahun) dengan pendapatan bulanan rata-rata Rp4,2 juta. Meskipun OJK telah menetapkan batas pendapatan minimal Rp3 juta per bulan untuk pengguna baru, praktik di lapangan menunjukkan bahwa 30% pengguna mengaku “memalsukan” data pendapatan untuk memenuhi syarat.
Penurunan daya beli masyarakat, yang ditandai dengan deflasi pada awal 2025, justru menjadi katalis pertumbuhan paylater. Analisis terhadap pola konsumsi menunjukkan bahwa 67% transaksi paylater digunakan untuk pembelian barang esensial seperti elektronik yang nilainya mencapai 35%, lalu pakaian yang mencapai 28%, dan bahan makanan yang mencapai 17%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat menggunakan paylater sebagai alat untuk mempertahankan tingkat konsumsi di tengah tekanan inflasi dan pendapatan yang stagnan.
Fenomena ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penurunan rata-rata pengeluaran rumah tangga sebesar 2,4% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, volume transaksi paylater justru meningkat 18% dalam periode yang sama, menunjukkan pergeseran pola pembiayaan konsumsi dari tunai ke sistem cicilan.
Dampak Positif Sistem Paylater
Paylater berhasil menjangkau 24,36 juta rekening per April 2025, di mana 42% di antaranya merupakan pengguna yang tidak memiliki akses ke kartu kredit tradisional. Sistem ini mengurangi ketergantungan pada pinjaman informal (loan shark) yang biasanya membebankan bunga hingga 20% per bulan. Dengan rata-rata bunga paylater bank sebesar 1,5% per bulan dan non-bank 2,5% per bulan, layanan ini menawarkan alternatif pembiayaan yang lebih terjangkau.
Dalam konteks makroekonomi, paylater berkontribusi pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh 2,1% yoy pada kuartal I-2025 meskipun terjadi deflasi. Sektor e-commerce melaporkan bahwa 35% transaksi mereka pada 2025 menggunakan paylater, meningkat dari 22% pada 2024. Hal ini membantu menjaga pertumbuhan ritel online di kisaran 12% yoy pada periode yang sama.
Integrasi paylater dengan platform super-app seperti Gojek dan Shopee memungkinkan proses pembayaran yang terintegrasi tanpa perlu aplikasi terpisah. Fitur persetujuan instan menggunakan big data dan machine learning mampu mengevaluasi kelayakan kredit dalam 2 menit dengan akurasi 89%. Teknologi ini mengurangi biaya operasional penyedia layanan hingga 40% dibandingkan sistem kredit konvensional.
Dampak Negatif dan Risiko Sistemik dari Paylater
Studi oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia menunjukkan bahwa 38% pengguna paylater memiliki utang di lebih dari tiga platform sekaligus, dengan rata-rata utang per orang sebesar Rp4,7 juta. Kondisi ini diperparah oleh minimnya literasi keuangan, di mana 65% pengguna mengaku tidak memahami perhitungan bunga efektif. Dampaknya, Non-Performing Financing (NPF) sektor paylater meningkat dari 3,48% pada Maret 2025 menjadi 3,78% pada April 2025.
Konsentrasi pembiayaan paylater pada segmen tertentu menimbulkan kerentanan. Data OJK menunjukkan bahwa 55% pembiayaan paylater non-bank terkonsentrasi di Jabodetabek, sementara 70% pengguna di daerah mengaku kesulitan memenuhi pembayaran karena ketidakstabilan pendapatan. Selain itu, keterkaitan antara bank dan perusahaan pembiayaan melalui skema financing syndication berpotensi menciptakan contagion risk jika terjadi krisis likuiditas.
Proyeksi OJK memperkirakan pasar paylater akan mencapai Rp35 triliun pada 2027, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 25%. Segmentasi pasar diperkirakan akan berkembang ke pembiayaan produktif, seperti modal kerja UMKM (saat ini hanya 5% dari total pembiayaan). Inovasi produk seperti paylater dengan tenor hingga 24 bulan untuk pembelian alat produksi mulai diujicobakan oleh beberapa platform.
Implementasi batas maksimum utang (debt-to-income ratio) sebesar 30% dari penghasilan bulanan perlu diperketat, mengingat saat ini hanya 45% perusahaan pembiayaan yang mematuhi aturan tersebut. Edukasi melalui platform digital tentang manajemen utang dan simulasi bunga perlu diintegrasikan dalam aplikasi paylater.
Perkembangan sistem paylater di Indonesia mencerminkan paradoks antara inovasi keuangan digital dan tantangan ekonomi makro. Meskipun berperan sebagai shock absorber dalam menjaga daya beli, sistem ini membawa risiko akumulasi utang yang memerlukan pengawasan ketat. Kolaborasi antara OJK, penyedia layanan, dan institusi pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem paylater yang berkelanjutan dan inklusif.
Paylater membantu sekali jika tidak telat bayarnya, karena ada denda.