Kamis, Juli 10, 2025
spot_img
BerandaMediaDampak AI dan Otomasi terhadap PHK Global di Era Industri 4.0

Dampak AI dan Otomasi terhadap PHK Global di Era Industri 4.0

Pengembangan dan penerapan Artificial Intelligence (AI) di dunia industri telah mengalami akselerasi yang luar biasa, namun paradoksnya menciptakan dilema sosial-ekonomi yang signifikan. Di tengah krisis ekonomi global 2025, teknologi AI yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi produksi justru mempercepat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai belahan dunia. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas transformasi digital yang tidak hanya mengubah cara kerja, tetapi juga mengancam stabilitas ketenagakerjaan global.

Data terkini menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi gelombang PHK yang mengkhawatirkan sepanjang 2025. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah PHK mencapai 26.455 kasus per Mei 2025, dengan Jawa Tengah sebagai provinsi tertinggi (10.695 kasus), diikuti Jakarta (6.279 kasus), dan Riau (3.570 kasus). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan angka yang lebih tinggi, dengan 73.992 kasus PHK dari Januari hingga Maret 2025. Sektor yang paling terdampak meliputi industri pengolahan, perdagangan besar eceran, dan jasa. Penyebab utama PHK menurut survei Apindo terhadap 357 perusahaan adalah penurunan permintaan (65%), kenaikan biaya produksi (43,4%), perubahan regulasi upah minimum (33,2%), tekanan produk impor (21,4%), dan faktor teknologi atau otomasi (20,9%).

Tahun 2025 ditandai dengan volatilitas ekonomi yang tinggi akibat kebijakan tarif agresif pemerintahan Trump yang mencapai 145% untuk China dan 10% untuk negara lain. Kondisi ini memicu ketidakpastian global yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,7% pada 2025, sementara IMF memperkirakan stagnan di 3,2%. Indonesia sendiri mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,87% pada triwulan I-2025, terendah sejak triwulan III-2021. Kondisi ini diperparah oleh ketergantungan pada ekspor komoditas yang mengalami tekanan akibat pelemahan ekonomi global.

Dampak AI dan Otomasi terhadap Efisiensi Produksi

AI telah merevolusi industri manufaktur dengan menciptakan peningkatan efisiensi produksi yang signifikan. Teknologi seperti Industrial Internet of Things (IIoT), robotika, machine learning, dan cyber-physical systems telah mengubah lanskap produksi tradisional. Implementasi AI dalam manufaktur memberikan beberapa keuntungan utama, yaitu peningkatan produktivitas. Sistem AI mampu mengoptimalkan proses produksi dengan mengurangi waktu siklus dan meningkatkan throughput. Kedua, kontrol kualitas yang superior. AI-driven defect detection dan computer vision systems memastikan produk bebas cacat produksi. Ketiga, maintenance prediktif. AI algorithms meminimalkan downtime tidak terencana dengan mengidentifikasi potensi kegagalan peralatan sebelum terjadi. Keempat, optimasi material. Sistem AI menganalisis proses produksi dan menyarankan penyesuaian untuk mengurangi waste material.

Beberapa perusahaan telah menunjukkan hasil positif dari implementasi AI. Pertama, ada ADMA Biologics. Program AI “ADMAlytics” berhasil meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi variabilitas, dan menghemat jam kerja personnel. Kedua, ZKH Group. AI Material Management Agent meningkatkan akurasi standardisasi material dari 60% menjadi 90%, mengurangi waktu pemrosesan dari 24 jam per 100 entri menjadi 3 menit per 1.000 entri. Ketiga, industri tekstil. AI-Driven Adaptive Spacer Adjustment System meningkatkan kualitas yarn dan efisiensi produksi secara real-time.

Meskipun AI terbukti meningkatkan efisiensi produksi, dampaknya terhadap ketenagakerjaan sangat kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa smartization (tingkat kecerdasan pabrik) meningkatkan produktivitas output harian sekitar 9,1% jika level smartization dinaikkan dari 10% terendah ke median 50%. Namun, peningkatan efisiensi ini sering kali dicapai dengan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia.

Penyebab Percepatan PHK akibat AI

Implementasi AI dan otomasi secara langsung menggantikan pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif. McKinsey Global Institute memperkirakan otomasi dapat menggantikan hingga 800 juta pekerja di seluruh dunia pada 2030. Di Indonesia, diperkirakan 23 juta pekerja akan terdampak otomasi. Krisis ekonomi 2025 mempercepat adopsi AI karena perusahaan berusaha mengurangi biaya operasional untuk bertahan hidup. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, investasi AI dipandang sebagai solusi jangka panjang untuk efisiensi meski memerlukan biaya awal yang tinggi.

Baca Juga:
1. Artificial Intelligence dan Kalkulator: Mengapa Manusia Selalu Curiga pada Teknologi Baru?
2. Prospek Bisnis Quick Commerce di Era Integrasi AI
3. Eksplorasi Penerapan Prinsip-prinsip Etika Dalam Pengembangan Kecerdasan Buatan

Perubahan regulasi ketenagakerjaan, termasuk kenaikan upah minimum, mendorong perusahaan mencari alternatif otomasi untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Di Indonesia, Law No. 6/2023 tentang Job Creation mengubah ketentuan pesangon, yang mempengaruhi keputusan perusahaan dalam melakukan PHK.

PHK massal akibat AI menciptakan berbagai masalah sosial. Pertama, pengangguran struktural. Pekerja yang kehilangan pekerjaan karena otomasi menghadapi kesulitan mencari pekerjaan baru karena skill mismatch. Kedua, kesenjangan digital. Divisi antara pekerja yang mampu beradaptasi dengan teknologi dan yang tidak. Ketiga, ketidakstabilan sosial. Meningkatnya angka pengangguran dapat memicu ketegangan sosial.

Dari perspektif ekonomi, PHK massal berdampak pada penurunan daya beli. Berkurangnya pendapatan masyarakat mengurangi konsumsi domestik. Dampak berikutnya adalah beban fiskal. Pemerintah harus menyediakan jaminan sosial lebih besar untuk pengangguran. Produktivitas dibanding Employment Trade-off. Meski produktivitas meningkat, total employment menurun.

Solusi Komprehensif

Program reskilling dan upskilling massal perlu digalakkan. Pemerintah perlu meluncurkan program reskilling massal yang komprehensif. Program ini harus mencakup pelatihan AI literacy. Semua pekerja harus dibekali dengan pemahaman dasar AI dan digital skills. Berikutnya adalah partnership dengan industri. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan untuk memastikan relevansi training. Selain itu, program Kartu Prakerja Plus musti jelas gol targetnya. Ekspansi program existing dengan fokus pada skill digital dan AI perlu dilakukan.

Sementara itu, ada beberapa strategi korporat atau perusahaan yang harus dimengimplementasikan program upskilling internal. Diantaranya, Continuous Learning Platform. Seperti yang dilakukan Infosys dengan platform “Lex” yang menyediakan 18.000 kursus. Kedua, Bridge Programs. Program yang membantu karyawan beralih ke bidang karir baru seperti consulting atau technical architecture. Ketiga adalah program AI-Powered Training. Menggunakan AI untuk personalisasi pembelajaran dan mengidentifikasi skill gaps.

Penerapan solusi berupa reformasi sistem pendidikan harus mulai dilakukan untuk menjawab tantangan zaman. Diantaranya dengan melakukan transformasi kurikulum TVET
Technical and Vocational Education and Training (TVET) harus direformasi untuk Industry 4.0. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan strategi Innovative Pedagogies. Blended learning, technology-enhanced classrooms, dan on-the-job training. Kemudian, Digital Skills Integration. Penguasaan IoT, AI, robotics dalam kurikulum TVET. Lalu menggalakkan strategi Partnership dengan Industri atau melakukan kolaborasi untuk memastikan lulusan siap kerja.

Bagi pendidikan tinggi, strategi AI dan Data Science Programs dapat dijalankan untuk melakukan ekspansi program studi AI, machine learning, dan data science. Kemudan, program Lifelong Learning atau sistem pendidikan berkelanjutan untuk profesional yang sudah bekerja.

Penguatan social safety net dapat dijalankan. Salah satunya adalah dengan melakukan reformasi pada jaminan sosial. Berdasarkan penelitian IMF, sistem perlindungan sosial yang kuat dapat memitigasi dampak negatif otomasi. Bebeapa strategi yang dapat dilakukan, yaitu Enhanced Unemployment Insurance. Peningkatan coverage dan durasi tunjangan pengangguran. Kemudian, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Implementasi PP No. 6/2025 yang memberikan 60% upah selama 6 bulan bagi korban PHK. Berikutnya universal basic income (UBI). Pertimbangan implementasi UBI sebagai social contract baru di era AI.

Selain itu, ada juga program bantuan transisi yang dapat diberlakukan. Pertama, job placement assistance. Layanan penempatan kerja yang dipersonalisasi dengan AI. Kemudin, Retraining Vouchers. Voucher pelatihan untuk skill baru. Lantas, ada juga program Geographical Mobility Support. Bantuan relokasi untuk pekerja yang harus pindah.

Kebijakan regulasi dan fiskal juga dapat menjadi solusi. Salah satunya adalah Robot Tax dan Revenue Sharing. Bentuknya dapat berupa Automation Tax Pajak khusus untuk perusahaan yang menggunakan AI/robot secara intensif. Kemudian, ada juga Skill Development Fund. Dana khusus dari pajak otomasi untuk program reskilling.

Regulasi AI yang bertanggung jawab. Bentuknya dapat berupa AI Ethics Guidelines. Implementasi pedoman etika AI seperti yang dikembangkan Kementerian Komunikasi dan Digital. Selain itu, ada juga regulasi Human Oversight Requirements. Kewajiban pengawasan manusia dalam keputusan AI yang mempengaruhi employment. Regulasi yang terakhir adalah Gradual Implementation. Implementasi AI secara bertahap dengan impact assessment.

Inovasi model bisnis juga perlu dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan Collaborative Economy. Contoh strateginya berupa Human-AI Collaboration. Model kerja yang mengoptimalkan kolaborasi manusia-AI daripada replacement. Kemudian ada istilah Gig Economy Enhancement. Platform digital yang memfasilitasi freelance work dan project-based employment.

Cara berikutnya yang dapat digalakkan adalah New Industry Creation. Dengan strategi Green Economy. Investasi dalam industri hijau yang labor-intensive. Kemudian ada strategi Care Economy atau pengembangan sektor layanan kesehatan dan pendidikan yang memerlukan human touch.

Ada beberapa strategi khusus untuk Indonesia. Diantaranya adalah Leveraging Demographic Dividend. Salah satu caranya Youth Development. Program khusus untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi era AI. Berikutnya adalah Rural Digitalization. Percepatan digitalisasi daerah untuk menciptakan opportunity baru. Strategi selanjutnya adalah Industry-Specific Solutions. Salah satunya adalah Manufacturing. Focus pada high-value manufacturing dan customization. Lalu, strategi Agriculture. Smart farming yang meningkatkan produktivitas sambil tetap labor-intensive. Selanjutnya adalah Services. Pengembangan sektor jasa yang memerlukan kreativitas dan empati manusia.

Pengembangan AI di dunia industri memang terbukti meningkatkan efisiensi produksi secara signifikan, namun menciptakan dilema ketenagakerjaan yang serius di tengah krisis ekonomi 2025. Indonesia dengan 26.455 kasus PHK per Mei 2025 menunjukkan urgensi penanganan yang komprehensif. Solusi yang diperlukan adalah pendekatan holistik yang melibatkan reskilling massal, reformasi pendidikan, penguatan social safety net, regulasi yang bertanggung jawab, dan inovasi model bisnis. Kunci sukses terletak pada kolaborasi antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan untuk memastikan transisi yang adil menuju ekonomi digital.

Tanpa tindakan proaktif, paradoks AI – meningkatkan efisiensi namun mengurangi employment – akan memperburuk krisis sosial-ekonomi. Sebaliknya, dengan strategi yang tepat, AI dapat menjadi enabler untuk menciptakan pekerjaan baru yang lebih bernilai tambah dan sustainable. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh global dalam mengelola transisi ini, dengan memanfaatkan demographic dividend dan kekayaan sumber daya untuk menciptakan model pembangunan yang inclusive dan sustainable di era AI.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments