Dalam semilir angin reformasi yang kian berhembus, langkah-langkah legislasi di tanah air kian menuai kontroversi. Menyusul disahkannya revisi UU TNI, muncul isu mengenai revisi UU Polri yang dinilai memberi kekuatan luar biasa kepada institusi kepolisian.
Di mata internasional, dinamika ini seakan-akan menandakan pergeseran visi dan misi Negara ke arah otoritarianisme. Hal ini disinyalir menjadi pemicu kekhawatiran investor asing yang kemudian menarik modalnya. Reaksi berantai ini tampak jelas pada pergerakan IHSG yang kian terpuruk, di mana penurunan lebih dari 5 persen dalam satu sesi perdagangan menjadi gambaran nyata dari sentimen negatif pasar.
Data yang tercatat dari berbagai sumber menunjukkan bahwa penurunan IHSG tak lepas dari kekhawatiran investor. Misalnya, pada suatu hari perdagangan, IHSG turun 5,02 persen sehingga memicu mekanisme trading halt sementara, sebuah sinyal peringatan bagi pasar modal kita.
Di sisi lain, laporan dari Metro TV menyebutkan bahwa kekhawatiran investor terhadap defisit APBN dan revisi UU TNI telah memaksa para investor untuk melakukan aksi jual besar-besaran, dengan nilai penjualan mencapai triliunan rupiah dalam beberapa sesi perdagangan.
Lebih jauh, pengamatan di kalangan investor mengungkapkan bahwa asumsi internasional tentang kembalinya praktik otoriter dan dominasi militer dalam jabatan sipil, yang seolah menyusul revisi UU Polri, menjadi faktor penentu dalam keputusan investasi.
Investor asing, yang selama ini mengarahkan modal ke pasar Indonesia, kini memilih untuk mengalihkan dananya ke pasar yang dianggap lebih stabil, sehingga menyebabkan IHSG anjlok secara signifikan. Data dari Kabar Bursa menunjukkan bahwa sentimen politik inilah yang memicu modal keluar secara signifikan, di mana IHSG terus merosot akibat aksi jual massal.
Perlu diketahui, ada beberapa tantangan yang muncul ketika revisi UU Polri disahkan:
Pertama,perluasan wewenang dan krisis demokrasi. RUU Polri yang memberikan kewenangan luas kepada Polri, hingga berpotensi menjadikan institusi tersebut sebagai “superbody” membuat masyarakat dan investor mempertanyakan komitmen negara terhadap prinsip demokrasi. Ketidakjelasan mekanisme pengawasan dan kontrol dalam RUU ini menimbulkan kekhawatiran bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi akan semakin merajalela.
Kedua, dampak pada iklim investasi. Dengan munculnya persepsi bahwa Indonesia sedang menapaki jalan otoriter, risiko politik dan ekonomi meningkat. Investor, terutama dari luar negeri, menilai bahwa kepastian hukum dan stabilitas politik adalah prasyarat utama untuk menanamkan modal. Data menunjukkan bahwa penurunan minat investasi asing berbanding lurus dengan penurunan indeks saham, misalnya IHSG yang turun lebih dari 5 persen dalam satu sesi perdagangan.
Ketiga, korelasi dengan defisit APBN. Revisi kebijakan yang memungkinkan perpanjangan usia pensiun dan keterlibatan militer di sektor sipil dinilai dapat menambah beban fiskal negara. Hal ini berpotensi mendorong defisit APBN ke ambang batas konstitusional, sebuah kekhawatiran yang semakin memperburuk persepsi risiko di mata investor.
Implikasi pada Sektor Perekonomian
Dinamika politik dan kebijakan yang ambigu ini berdampak langsung pada sektor perekonomian. Penurunan minat investasi menyebabkan aliran modal asing berkurang, yang berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan tekanan pada nilai tukar rupiah. Jika tren ini berlanjut, target investasi asing yang selama ini ditetapkan bisa jauh dari kenyataan.
Dalam konteks makro, kejatuhan IHSG yang tercermin dari penurunan lebih dari 5 persen dalam satu sesi perdagangan merupakan indikator bahwa pasar memandang kebijakan ini sebagai risiko yang terlalu tinggi.
Lebih dari 50 persen investor asing pun dilaporkan telah melakukan penarikan modal, sementara investor domestik pun cenderung mengurangi eksposur di pasar modal, sehingga menciptakan spiral penurunan yang sulit dihentikan.
Bayang-bayang otoritarianisme yang mulai menyelimuti diskursus politik Indonesia, akibat revisi UU TNI dan UU Polri, telah memberikan dampak nyata pada minat investasi—terutama dari investor asing. Dengan IHSG yang terpuruk dan aksi jual besar-besaran, kita dihadapkan pada tantangan besar dalam menegakkan kembali kepastian hukum, demokrasi, dan stabilitas ekonomi.
Pemerintah dan DPR perlu segera mengkoreksi kebijakan ini, memperbaiki mekanisme pengawasan, dan mengembalikan kepercayaan pasar melalui reformasi struktural yang lebih transparan dan partisipatif, agar Indonesia tetap menjadi magnet investasi di mata dunia.