Dalam alunan angin kebijakan proteksionis, Presiden Donald Trump kembali menuliskan bab baru dalam sejarah perdagangan dunia dengan membubuhkan tarif impor yang mencapai angka 32 persen. Di balik angka yang tampak menggelegar itu tersimpan sebuah mekanisme perhitungan “tarif resiprokal”—suatu formula yang dengan tegas menghitung defisit perdagangan bilateral dan setelah dibagi dua, menghasilkan tarif yang sekilas terkesan memberatkan, namun dirancang untuk menjembatani ketidakseimbangan dalam arus perdagangan global.
Kebijakan tarif impor 32 persen ini merupakan bagian integral dari upaya Trump untuk menegakkan kembali “America First”. Dengan mengacu pada data perdagangan bilateral, administrasi Trump menilai bahwa jika suatu negara menunjukkan defisit perdagangan yang besar—misalnya, suatu negara yang mencatat angka defisit mencapai 67 persen dibandingkan volume impornya (sebagaimana terlihat dalam salah satu tabel data yang memuat contoh untuk Taiwan, 64 persen yang kemudian dihitung ulang menjadi 32 persen), maka negara tersebut akan dikenai tarif resiprokal sesuai dengan perhitungan tersebut.
Dengan kata lain, tarif 32 persen bukanlah angka yang muncul secara sewenang-wenang, melainkan hasil dari proses analisis data perdagangan yang mendorong penerapan tarif sebagai alat untuk “menyeimbangkan” neraca antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya.
Menurut dokumen kebijakan yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR), mekanisme perhitungan tersebut melibatkan pembagian defisit perdagangan suatu negara (dalam dolar AS) dengan nilai total impor dari negara itu, kemudian dikalikan dengan faktor elastisitas dan konstanta yang dalam prakteknya, menghasilkan angka tarif yang jika defisit sangat tinggi.
Misalnya mencapai 64 persen, kemudian diatur agar tarif yang final adalah 32 persen. Mekanisme ini dimaksudkan untuk mendesak negara-negara yang dinilai “tidak setara” dalam bertransaksi agar melakukan penyesuaian agar perdagangan bilateral dapat lebih seimbang.
Kebijakan Tarif 32 persen yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump berdampak terhadap berbagai sektor perekonomian. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, keputusan untuk mengenakan tarif impor 32 persen membawa konsekuensi yang merambat ke berbagai sektor. Berikut adalah gambaran dampaknya:
Sektor Industri Manufaktur dan Rantai Pasok Global
Industri manufaktur, terutama yang bergantung pada bahan baku impor, menjadi salah satu korban utama. Misalnya, sektor otomotif yang mengandalkan suku cadang impor dari negara-negara terluas yang kini harus menanggung kenaikan biaya hingga 25–50 persen, dapat mengalami pelemahan daya saing. Hal ini memaksa perusahaan untuk mengkaji ulang rantai pasok global mereka agar lebih banyak mengandalkan produksi lokal.
Data menunjukkan bahwa pada beberapa sektor manufaktur, peningkatan harga komponen impor mencapai sekitar 30 persen, yang berdampak langsung pada margin keuntungan dan harga jual akhir produk.
Sektor Energi dan Infrastruktur
Sektor energi pun tak luput dari dampak. Dengan negara-negara pemasok energi terpilih kini menghadapi tarif yang cukup tinggi, misalnya tarif pada produk minyak dan gas dari Negara Kanada yang sebelumnya mendapatkan tarif lebih ringan (sekitar 10 persen) kini terancam harus menanggung kenaikan biaya impor apabila tidak ada perjanjian negosiasi ulang. Ini berpotensi meningkatkan harga energi di pasar domestik, di mana proyeksi kenaikan harga bahan bakar bisa mencapai 50 sen per galon, khususnya di wilayah yang sangat bergantung pada impor. Perubahan tarif ini secara tidak langsung menggerus daya beli konsumen dan mempengaruhi biaya produksi di sektor industri yang padat energi.
Sektor Ritel dan Konsumen
Bagi konsumen, tarif impor 32 persen akan diterjemahkan ke dalam kenaikan harga barang-barang konsumen, mulai dari elektronik, pakaian, hingga peralatan rumah tangga. Sebuah studi awal memperkirakan bahwa beban tarif ini bisa menambah beban ekonomi rata-rata rumah tangga Amerika Serikat sekitar 3–5 persen dalam belanja mereka. Dampak ini secara langsung menggerus nilai riil pendapatan dan menggeser pola konsumsi, sehingga produsen harus berpikir strategis untuk mempertahankan pasar konsumen mereka.
Dampak pada Sektor Pertanian dan Perdagangan Ekspor
Selain itu, sektor pertanian juga harus bergulat dengan ancaman balasan (retaliatory tariffs) dari mitra dagang, di mana negara-negara seperti China dan Uni Eropa telah menyatakan kesiapan untuk mengenakan tarif balasan. Hal ini berpotensi mengurangi akses pasar bagi produk pertanian Amerika, sehingga petani harus menghadapi penurunan ekspor yang diperkirakan mencapai 10–15 persen. Dengan demikian, ketidakseimbangan harga di pasar domestik dan internasional dapat menjerat ratusan ribu lapangan kerja di sektor pertanian dan distribusi.