Bisnis senantiasa mengelola dan mengolah informasi pelanggan dalam upaya memahami dengan benar kebutuhan dan keinginan pelanggan. Di masa lalu, model bisnis memberikan ruang interaksi secara langsung dengan pelanggan. Meletakkan kepercayaan melalui interaksi tatap muka tersebut memberikan kesempatan bagi pelanggan untuk menyatakan kebutuhan dan keinginan secara langsung. Hingga bisnis mampu merespons dengan cepat dan tepat serta melakukan investasi untuk memenuhinya.
Model bisnis, di mana informasi pelanggan diperoleh secara langsung ini masih saja bisa terjadi dalam skala mikro. Bagaimana misalnya toko kelontong tradisional harus “kulakan” beberapa barang baru, karena pelanggan menyampaikan secara langsung kebutuhannya. Toko belum dilengkapi sarana informasi atau teknologi yang mendukungnya.
Hadirnya transformasi digital dan perubahan struktur demografi yang cepat turut merubah perilaku hubungan antara bisnis dengan pelanggan. Ukuran bisnis makin membesar. Pusat aduan dan kontak layanan makin kuat, sebagai jembatan penghubung yang selalu diperbaharui. Informasi tak langsung ini dikumpulkan melalui berbagai sistem pendukung bisnis.
Dalam risetnya, John S. McKean, yang dituangkan dalam buku populernya “Customer’s new voice” menyimpulkan ada tujuh faktor yang mendorong model bisnis berbasis informasi tak langsung. Perasan ketujuh faktor tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu internal business process (yang meliputi people, process, organizational structure, culture dan leadership) dan support system (dalam lingkup sumber pendukung yaitu information dan technology).
Informasi dan teknologi mendorong kuat bisnis harus mampu memetakan data landscape secara pas. Sebuah aktivitas rancangan dan perencanaan terkait data bisnis yang memuat tentang asset data bisnis, pemilihan penyimpanan database, model pengumpulan data, proses pengolahan dan analisis serta aplikasi yang membangun sistem data dan informasi bisnis perusahaan dengan baik.
Dalam kasus di bisnis retail, melalui aplikasi big-data dan geospatial sektor FMCG berupaya merancang, memantau dan melakukan evaluasi perubahan dalam rangka membangun kesadaran merek, serapan pasar dan menjaga keseimbangan stok.
Ditemui dalam kasus lain pada model bisnis berbasis jaringan, dengan kekuatan inbound marketing-nya, menguatkan bisnis melalui informasi tak langsung dengan real-time analysis dashboard. Aplikasi sales yang terintegrasi antar agen dan distributor utama menjadi salah satu sumber kekuatan, sebagai rujukan pengambilan keputusan.
Kecepatan analisis pada bisnis jaringan akan sangat mempengaruhi prediksi dan kesiapan bagian produksi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Model bisnis ini sangat tergantung dengan informasi tak langsung yang harus dikumpulkan dengan benar.
Selain faktor internal, kondisi global ekonomi dan faktor eksternal turut mempengaruhi perubahan kapabilitas dan kompetensi pelanggan dalam hal pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Hal ini tentunya akan merubah prioritas, yang berdampak pada bisnis secara keseluruhan.
Angka statistik juga selalu memberikan indikator makro yang menuntun untuk bersiyap hadapi segala cuaca. Termasuk ketepatan dalam memaknai optimisme yang tergambar dalam publikasi berita resmi statistik BPS. Ekonomi Indonesia pada tahun 2022 tumbuh sebesar 5,31 persen, salah satunya dipicu oleh sektor transportasi dan pergudangan.
Perkembangan pariwisata yang mengalami kenaikan 447,08 persen pada Desember 2022 dibandingkan dengan bulan Desember 2021, diikuti pergerakan dalam statistic transportasi nasional. Pada saat yang sama, inflasi Februari 2023 masih dibayang-bayangi kenaikan pada telur ayam ras, beras, rokok kretek dengan filter, bensin, solar dan tepung terigu. Hal serupa terjadi pada inflasi di sektor konstruksi, yang lebih disebabkan pada kenaikan harga komoditas solar, semen, aspal, pasir dan lantai.
Berangsurnya masa pandemi COVID-19 di satu sisi meningkatkan mobilitas, yang diharapkan mampu memutar laju ekonomi dan bisnis. Namun di sisi lain daya pemulihan sektor bisnis masih harus didorong dengan kemampuan analisis data yang tepat, sehingga efisiensi berjalan pada titik optimal dan produktifitas terjaga, bahkan meningkat.
Hal itu pula yang membuat pelanggan selalu punya kebutuhan dan keinginan yang berubah. Pelanggan juga dibatasi kemampuan dan kompetensi pemenuhan kebutuhan dan keinginan tersebut. Dorongan ini menuntut bisnis makin cerdas, antisipatif dan inovatif memahami perubahan. Makin lincah, gesit, cekatan.
Informasi pelanggan tak langsung juga mendorong proses riset dan analisis top-down (teori ke praktis) hendaknya selalu dipadu melalui teknis analisis bottom-up (studi kasus ke model), sehingga memenuhi ketepatan prediksi dan mengurangi resiko. Bisnis harus terus berpacu, melalui riset yang benar. Semangat.
ditulis oleh: Unung Istopo Hartanto, peneliti senior di Enciety Business Consult