Teknologi broadband global mengalami perkembangan signifikan dengan peluncuran internet 10G di China menggunakan teknologi 50G-PON yang canggih. China telah memposisikan diri sebagai pionir dalam revolusi kecepatan internet dengan memperkenalkan jaringan yang mampu mencapai 10 Gbps, memungkinkan pengunduhan file besar dalam hitungan detik. Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Swiss, dan Singapura juga mengembangkan jaringan berkecepatan tinggi, Indonesia masih dalam tahap pengembangan jaringan 5G. Perbedaan signifikan dalam adopsi teknologi ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pengembangan infrastruktur digitalnya agar tetap kompetitif di kancah global.Internet Broadband
China telah meluncurkan jaringan internet broadband 10G melalui kerjasama Huawei dan China Unicom di wilayah Xiong’an, Hebei. Teknologi ini menggunakan standar 50G-PON (Passive Optical Network) yang merupakan lompatan besar dalam teknologi internet kabel berbasis serat optik. Xiong’an, area urban yang terletak sekitar 70 mil barat daya Beijing, kini memiliki jaringan internet tercepat di dunia berkat inisiatif ambisius yang didukung pemerintah China sejak diumumkan pada 2017.
Penting untuk dipahami bahwa “10G” dalam konteks ini merujuk pada kecepatan 10 gigabit per detik melalui koneksi serat optik, bukan generasi kesepuluh jaringan seluler seperti 5G yang saat ini banyak dibicarakan. Teknologi 50G-PON yang diterapkan sebenarnya mampu mendukung kecepatan hingga 50 Gbps (50.000 Mbps), tetapi saat ini diimplementasikan pada kecepatan 10G untuk alasan komersial dan efisiensi biaya infrastruktur.
Dalam demonstrasi praktis, rumah tangga yang terhubung ke jaringan ini mencapai kecepatan tinggi dengan latensi sangat rendah, hanya sekitar tiga milidetik. Kecepatan internet sebesar ini memfasilitasi penggunaan teknologi inovatif seperti augmented reality/virtual reality (AR/VR), cloud gaming, infrastruktur kota pintar, dan pengembangan kendaraan otonom.
Menurut data yang dihimpun dari laporan TechRadar, China akan menjadi satu-satunya pasar komersial untuk teknologi 50G-PON pada tahun 2024 dan 2025, dengan prediksi menghasilkan pendapatan lebih dari satu miliar dolar. Keunggulan teknologi ini tidak hanya pada kecepatannya yang tinggi, tetapi juga pada fleksibilitas, kapabilitas, dan latensi yang jauh lebih baik dibandingkan teknologi sebelumnya. China juga memiliki rencana untuk meningkatkan kecepatan hingga 25G pada tahun 2030, membuktikan bahwa teknologi yang mereka gunakan saat ini memiliki kemampuan skalabilitas yang baik.
Sementara itu, di negara-negara maju lainnya juga telah mengembangkan jaringan broadband berkecepatan tinggi, meskipun belum mengadopsi teknologi 50G-PON seperti China. Di Amerika Serikat, beberapa penyedia layanan internet (ISP) menawarkan kecepatan residensial bervariasi, Google Fiber menyediakan hingga 8 Gbps di area tertentu, Frontier menawarkan 7 Gbps, AT&T mencapai 5 Gbps, dan Comcast serta Verizon Fios pada 2 Gbps.
Swiss sebagai salah satu negara Eropa terdepan dalam layanan internet telah menyediakan koneksi residensial hingga 25 Gbps melalui penyedia Init7 dengan harga sekitar USD 80 per bulan. Singapura, sebagai negara dengan infrastruktur kelas dunia, juga telah mengimplementasikan layanan internet residensial 10 Gbps.
Meskipun beberapa negara Barat sudah memiliki konektivitas 10 Gbps melalui teknologi PON, mayoritas masih menggunakan standar XGS-PON yang relatif lebih lama. Standar ini membutuhkan peralatan premium yang mahal, menyebabkan kesulitan dalam penerapan skala besar. Sebaliknya, teknologi 50G-PON yang digunakan China merupakan generasi yang lebih baru, dibuat pada 2021 dan lebih unggul dalam hal latensi serta kecepatan maksimal yang dapat dicapai.
Pendekatan berbeda terlihat di berbagai negara, sementara beberapa fokus pada area terbatas dengan kecepatan sangat tinggi, negara lain seperti China mengambil pendekatan nasional yang lebih terintegrasi. China memahami bahwa peningkatan infrastruktur internet bukan hanya tentang mengunduh film lebih cepat, tetapi juga merupakan landasan untuk pengembangan teknologi masa depan seperti AI, kota pintar, dan berbagai aplikasi yang membutuhkan transfer data masif dengan latensi minimal.
Indonesia saat ini masih dalam tahap pengembangan jaringan 5G untuk komunikasi seluler, sementara infrastruktur broadband rumah tangga masih bervariasi. Berbeda dengan teknologi 50G-PON di China, Indonesia menghadapi tantangan geografis yang signifikan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menyulitkan perluasan infrastruktur internet berkecepatan tinggi secara merata.
Penetrasi internet di Indonesia terus meningkat, namun masih terdapat kesenjangan digital yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Kecepatan rata-rata internet broadband di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara maju dan tetangga regional seperti Singapura. Infrastruktur yang ada sebagian besar masih menggunakan teknologi yang lebih lama dan belum mendukung kecepatan ultra-tinggi seperti 10 Gbps.
Pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait telah menyusun roadmap pengembangan jaringan broadband nasional, namun implementasinya menghadapi berbagai tantangan termasuk pendanaan, regulasi, dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Fokus saat ini masih pada perluasan cakupan jaringan daripada peningkatan kecepatan ekstrem, mengingat masih banyak daerah yang belum terjangkau layanan internet dasar.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini terdapat kesenjangan teknologi yang signifikan antara infrastruktur broadband China dan Indonesia. China telah mengimplementasikan teknologi 50G-PON yang mampu memberikan kecepatan hingga 10 Gbps saat ini dengan potensi peningkatan hingga 50 Gbps di masa depan, sementara Indonesia masih berfokus pada pengembangan jaringan 5G seluler dengan infrastruktur broadband rumah tangga yang relatif terbatas kecepatannya.
Kesenjangan ini tercipta karena beberapa faktor. Pertama, investasi yang signifikan oleh pemerintah China dalam infrastruktur digital sebagai bagian dari strategi nasional mereka untuk dominasi teknologi. Kedua, tantangan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membuat perluasan jaringan serat optik menjadi lebih mahal dan kompleks. Ketiga, perbedaan dalam prioritas pembangunan, dimana Indonesia masih harus menyeimbangkan antara perluasan cakupan dasar dengan peningkatan kecepatan.
Konsekuensi dari kesenjangan ini dapat sangat luas. Negara dengan infrastruktur internet yang lebih maju seperti China akan memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan teknologi masa depan seperti AI, AR/VR, kendaraan otonom, dan kota pintar. Misalnya, dataset pelatihan AI sebesar 100 GB dapat diunduh dalam 1,5 menit dengan kecepatan 10 Gbps, dibandingkan dengan 44,4 menit pada kecepatan 300 Mbps, memberikan keunggulan signifikan dalam pengembangan AI.
Keterlambatan dalam mengadopsi teknologi internet terdepan juga dapat memperlebar kesenjangan ekonomi dan teknologi dengan negara-negara maju. Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia mungkin menghadapi hambatan dalam mengembangkan ekosistem startup teknologi dan menarik investasi asing di sektor digital.
Berdasarkan analisis kesenjangan teknologi yang ada, berikut adalah rekomendasi strategis yang dapat dipertimbangkan Indonesia untuk mengembangkan jaringan internet broadband agar dapat bersaing dengan China dan negara-negara maju lainnya.
1. Perencanaan Jangka Panjang dan Roadmap Teknologi
Indonesia perlu mengembangkan roadmap teknologi broadband yang komprehensif dengan target jangka pendek, menengah, dan panjang yang jelas. Roadmap ini harus mempertimbangkan tidak hanya kebutuhan saat ini tetapi juga antisipasi kebutuhan masa depan, termasuk peningkatan konsumsi data yang diperkirakan akan berlipat tiga dalam beberapa tahun ke depan. Perencanaan harus bersifat future-proof, dengan mengantisipasi teknologi seperti 50G-PON yang memberikan ruang untuk peningkatan kapasitas di masa depan.
2. Kolaborasi Publik-Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur
Mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan, pemerintah perlu memfasilitasi kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Model kemitraan pemerintah-swasta (PPP) dapat dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur backbone nasional. Insentif fiskal dan regulasi yang mendukung dapat mendorong investasi swasta dalam pengembangan jaringan serat optik terutama di area yang secara ekonomi kurang menarik.
3. Pendekatan Regional dan Bertahap
Mengingat tantangan geografis Indonesia, pendekatan regional yang bertahap dapat lebih efektif daripada upaya nasional sekaligus. Indonesia dapat mengidentifikasi “zona prioritas digital” di berbagai pulau utama yang akan menjadi pusat teknologi dengan infrastruktur internet ultra-cepat. Dari zona ini, jaringan dapat diperluas secara bertahap ke daerah sekitarnya, menciptakan efek multiplier ekonomi dan teknologi.
4. Pengembangan Kapasitas Lokal dan Transfer Teknologi
Indonesia perlu berinvestasi dalam pengembangan talenta lokal di bidang teknologi jaringan dan mendorong transfer teknologi melalui kerjasama internasional. Program pelatihan teknis yang berfokus pada teknologi PON generasi terbaru akan membangun kapasitas lokal untuk implementasi, pemeliharaan, dan peningkatan infrastruktur di masa depan.
5. Regulasi yang Mendukung dan Kompetisi Sehat
Kerangka regulasi yang kondusif diperlukan untuk mendorong kompetisi sehat antar penyedia layanan internet, yang pada gilirannya akan mendorong inovasi dan penurunan harga. Regulasi juga harus mendukung sharing infrastruktur untuk mengoptimalkan investasi dan mempercepat perluasan jaringan.
6. Fokus pada Aplikasi dan Use Case Strategis
Indonesia dapat mengidentifikasi dan memprioritaskan use case strategis yang memerlukan konektivitas ultra-cepat, seperti klaster industri 4.0, pusat penelitian AI, atau zona ekonomi digital khusus. Pendekatan ini akan memaksimalkan dampak ekonomi dari investasi broadband dan menciptakan demonstrasi nyata dari manfaat teknologi canggih.
Peluncuran jaringan internet broadband 10G oleh China menggunakan teknologi 50G-PON menandai langkah signifikan dalam evolusi infrastruktur digital global. Dengan kecepatan hingga 10 Gbps dan potensial peningkatan hingga 50 Gbps, teknologi ini memposisikan China sebagai pemimpin dalam revolusi internet generasi berikutnya, membuka jalan bagi aplikasi canggih seperti AI real-time, kota pintar, AR/VR, dan kendaraan otonom.
Sementara itu, Indonesia masih dalam tahap pengembangan jaringan 5G dan infrastruktur broadband dasar, menciptakan kesenjangan teknologi yang signifikan. Tantangan geografis, prioritas pembangunan yang berbeda, dan keterbatasan investasi menjadi faktor-faktor yang berkontribusi pada kesenjangan ini. Namun, dengan pendekatan strategis yang tepat, Indonesia memiliki peluang untuk mempercepat pengembangan infrastrukturnya.
Rekomendasi yang diusulkan meliputi perencanaan jangka panjang, kolaborasi publik-swasta, pendekatan regional bertahap, pengembangan kapasitas lokal, regulasi yang mendukung, dan fokus pada use case strategis. Implementasi rekomendasi ini akan membantu Indonesia dalam mengejar ketertinggalan teknologi dan memposisikan diri secara lebih kompetitif di era digital.
Kesenjangan digital tidak hanya tentang kecepatan mengunduh konten, tetapi juga tentang kemampuan negara untuk berinovasi, bersaing, dan menciptakan nilai ekonomi di masa depan. Indonesia perlu bertindak strategis dan terencana untuk memastikan bahwa negara tidak tertinggal dalam revolusi internet broadband yang sedang berlangsung di seluruh dunia.