Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) – pada tahun 2019, jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai kelas menengah mencapai 57,33 juta jiwa dan turun menjadi 47,85 juta jiwa pada Maret 2024. Secara kasat mata, ini berarti sekitar 9,5 juta orang telah keluar dari kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Penyusutan ini dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti dampak pandemi COVID-19, penurunan pekerjaan, serta kenaikan pajak.
Tidak ada definisi universal mengenai apa itu kelas menengah dan bagaimana cara mengukurnya. Indonesia umumnya menggunakan definisi Bank Dunia, yang dalam laporan tahun 2019 menyatakan bahwa kelas menengah di Indonesia terus tumbuh. Laporan tersebut membagi populasi menjadi beberapa kategori berdasarkan pengeluaran bulanan, yaitu kelas menengah miskin, rentan, calon kelas menengah, dan kelas menengah. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2019, kelas menengah didefinisikan sebagai individu yang memiliki pengeluaran antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Namun, data terbaru BPS tahun 2024 menggunakan rentang pengeluaran yang lebih tinggi, yaitu Rp2 juta hingga Rp9 juta per bulan. Pergeseran definisi ini berdampak pada hasil pengukuran, yang dapat memberikan kesan bahwa kelas menengah mengalami penyusutan, padahal sebenarnya sebagian besar dari mereka mungkin hanya berpindah kategori.
Meskipun angka kelas menengah tampak menyusut, data BPS juga menunjukkan bahwa kategori calon kelas menengah justru mengalami peningkatan sekitar 8,65 juta jiwa. Dengan kata lain, total gabungan populasi kelas menengah dan calon kelas menengah tetap relatif stabil selama lima tahun terakhir, hanya distribusinya yang mengalami pergeseran. Ini bisa disebabkan oleh perubahan batas atas dan bawah kategori tersebut dalam definisi terbaru BPS.
Jika kelas menengah benar-benar menyusut, kita seharusnya melihat penurunan konsumsi pada barang dan jasa non-esensial seperti hiburan dan perjalanan. Pada tahun lalu, BPS menyatakan ada 1,02 miliar perjalanan wisata yang dilakukan oleh orang Indonesia di dalam negeri.
Dikutip dari www.tempo.co “Pelaksana tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan angka tersebut merupakan jumlah wisatawan dalam negeri terbesar dalam enam tahun terakhir. “Bahkan sudah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi, di mana tahun 2019 hanya ada 722 juta perjalanan,” kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta pada Senin, 3 Februari 2025.
Amalia mengatakan perjalanan wisatawan domestik pada 2024 juga mengalami peningkatan sebesar 21,61 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2023, BPS mencatat sekitar 838,7 juta perjalanan wisata dalam negeri sepanjang tahun.
Pada Desember 2024, BPS mencatat jumlah perjalanan wisata domestik mencapai 101,1 juta. Angka itu meningkat 25,4 persen dari bulan November 2024 yang sebesar 80,54 juta perjalanan. Amalia mengatakan peningkatan jumlah perjalanan di Desember 2024 ikut terpengaruh periode libur akhir tahun, Natal, dan Tahun Baru.
Amalia menyampaikan Provinsi Jawa Timur menjadi tujuan utama para wisatawan domestik pada Desember 2024. Menurut BPS, sekitar seperlima dari total 101,1 juta perjalanan terjadi untuk menuju wilayah Jawa Timur.”
Data diatas sedikit banyak menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tetap kuat. Penjualan tiket bioskop mengalami lonjakan signifikan, dengan rekor jumlah penonton dan investasi besar dari jaringan bioskop untuk ekspansi. Bahkan, dalam press releasenya, Cinema XXI tengah membuka 16 lokasi bioskop baru dengan 70 tambahan layar sehingga bioskop yang beroperasi mencapai 256 bioskop dengan total 1.350 layar yang tersebar di 65 kota/kabupaten.
Indonesia telah mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil sejak pandemi, dengan laju sekitar 5% per tahun. Jika kelas menengah benar-benar menyusut, muncul pertanyaan: ke mana keuntungan dari pertumbuhan ekonomi ini mengalir? Ada beberapa kemungkinan, seperti ketimpangan pendapatan yang meningkat, di mana pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kelompok elit tertentu. Bisa juga terjadi investasi yang tidak menciptakan lapangan kerja atau peningkatan pendapatan yang luas, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada masyarakat umum. Perubahan dalam pola konsumsi dan pengeluaran juga dapat menyebabkan pergeseran kategori dalam pengukuran kelas menengah.
Namun, berdasarkan indikator konsumsi, lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa kelas menengah tidak benar-benar menyusut, melainkan mengalami pergeseran kategori akibat perubahan definisi dan metodologi pengukuran. Definisi yang berubah dan pergeseran dalam distribusi populasi bisa menjadi faktor utama di balik angka yang terlihat. Selain itu, indikator konsumsi menunjukkan bahwa daya beli kelas menengah tetap kuat, yang tidak sejalan dengan klaim bahwa kelas menengah menyusut secara signifikan. Dengan demikian, sebelum menarik kesimpulan tentang tren kelas menengah di Indonesia, penting untuk mempertimbangkan metode pengukuran dan berbagai faktor ekonomi yang mempengaruhinya.