Dunia kerja menghadapi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, generasi muda yang semakin enggan menjadi pegawai dalam struktur kerja tradisional. Data terbaru menunjukkan bahwa 57% Generasi Z memiliki pekerjaan sampingan, sementara 46% berencana meninggalkan pekerjaan mereka dalam dua tahun. Lebih mengejutkan lagi, 83% Generasi Z mengidentifikasi diri sebagai job hopper. Hal ini merupakan fenomena yang mengindikasikan pergeseran fundamental dalam cara generasi muda memandang karier.
Di Indonesia, tren ini semakin nyata dengan 74% Generasi Z memprioritaskan work-life balance untuk menjaga kesehatan mental, dan 68% menginginkan lingkungan kerja yang aman dan mendukung. Fenomena ini bukan sekadar trend sesaat, melainkan transformasi struktural yang akan membentuk masa depan dunia kerja.
Fenomena generasi muda yang enggan menjadi pegawai bukanlah tanda kemalasan atau entitlement, melainkan respons rasional terhadap pasar kerja yang tidak memperlakukan mereka dengan baik. Mereka membuat keputusan strategis untuk menjauhi struktur kerja yang tidak lagi relevan dengan nilai dan kebutuhan mereka.
Pergeseran ini tidak dapat dihindari dan bersifat global. Generasi Z akan menyusun 18% dari tenaga kerja pada akhir 2025, dan mereka membawa perspektif yang berbeda tentang kerja, karier, dan kehidupan. Organisasi yang gagal beradaptasi akan kehilangan seluruh generasi talenta.
Yang dibutuhkan bukanlah upaya untuk mengubah generasi muda agar sesuai dengan sistem lama, melainkan *transformasi sistem agar sesuai dengan realitas baru. Ini mencakup redefinis konsep sukses, implementasi teknologi yang mendukung fleksibilitas, dan penciptaan lingkungan kerja yang memprioritaskan well-being dan pertumbuhan personal.
Masa depan dunia kerja akan dibentuk oleh mereka yang memahami dan mengakomodasi perubahan ini. Bukan lagi pertanyaan apakah perubahan ini akan terjadi, melainkan seberapa cepat organisasi dapat beradaptasi dengan realitas baru yang tak terhindarkan ini.
Akar Masalah Mengapa Generasi Muda Menolak Kerja Konvensional
Pertama, terjadi perubahan nilai dan ekspektasi kerja. Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2010-an, memiliki pandangan kerja yang berbeda secara fundamental dari generasi sebelumnya. Mereka tidak memimpikan kerja sebagai identitas utama, melainkan melihatnya sebagai kebutuhan finansial belaka. Berbeda dengan generasi Baby Boomer yang mengutamakan stabilitas jangka panjang, Generasi Z lebih menghargai fleksibilitas, tujuan hidup, dan kemandirian finansial.
Penelitian menunjukkan bahwa 68% Generasi Z tidak akan mengejar posisi manajemen jika bukan karena gaji atau gelar. Ini mengindikasikan penolakan terhadap struktur korporat tradisional yang dipandang sebagai “racun dalam cangkir emas”. Mereka lebih memilih “career lily pad” daripada “career ladder”, melompat ke peluang yang paling sesuai pada saat tertentu.
Kedua, dampak pandemi dan perubahan lingkungan kerja. Pandemi COVID-19 mempercepat perubahan ini dengan menciptakan “pandemic burnout” yang massif. 25% generasi muda mengatakan pandemi sangat menunda perkembangan karier mereka. Pendidikan terganggu, program magang dibatalkan, dan keterampilan sosial yang biasanya berkembang melalui pekerjaan paruh waktu tidak pernah terbentuk.
Situasi ini menciptakan generasi yang kurang terlatih, kurang terhubung, dan kurang percaya diri, namun paradoksnya juga lebih sadar akan hak-hak mereka sebagai pekerja. Mereka menolak budaya “selalu terhubung” yang mengharuskan mereka menjawab pesan pada pukul 22.00 dan mengecek email di akhir pekan.
Ketiga, krisis ekonomi dan ketidakamanan finansial. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama keengganan generasi muda bekerja. Sepertiga generasi muda harus menolak tawaran kerja karena biaya transportasi atau perumahan yang tinggi. Banyak pekerjaan entry-level yang membayar upah minimum namun memiliki biaya tersembunyi seperti transportasi, makanan, dan seragam yang bisa menghabiskan seperempat dari penghasilan.
Di Asia Tenggara, tingkat pengangguran pemuda mencapai 13,1%, dengan pemuda 5,2 kali lebih mungkin menganggur dibandingkan orang dewasa. Di Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda dengan 22,5% pemuda tidak dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan.
Bangkitnya Ekonomi Gig dan Side Hustle
Adanya revolusi entrepreneurship generasi muda. Alih-alih bergantung pada pekerjaan tradisional, generasi muda beralih ke ekonomi gig dan side hustle. 70% Generasi Z menganggap freelance sebagai pilihan karier full-time yang viable, sementara 41% melihatnya sebagai cara meningkatkan pendapatan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Fenomena ini didukung oleh teknologi digital yang memungkinkan mereka memasarkan bakat dan penawaran mereka melalui internet. Mereka tidak lagi terikat pada struktur hierarkis tradisional, melainkan menciptakan “communities of mutual interest and passion”.
Indonesia dapat dikatakan sebagai laboratorium entrepreneurship generasi muda. Di Indonesia, sekitar 20% pemuda yang bekerja adalah entrepreneur, dengan 94% beroperasi sendirian. Meski skala bisnis mereka relatif kecil, mereka menunjukkan semangat entrepreneurial yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa pemuda 1,6 kali lebih mungkin ingin memulai bisnis dibandingkan orang dewasa.
Namun tantangannya adalah sustainabilitas bisnis. 73% bisnis yang dijalankan pemuda di bawah 24 tahun adalah bisnis satu orang, dan mereka kurang mungkin menjalankan bisnis yang bertahan lebih dari tiga setengah tahun.
Fenomena Quiet Quitting dan Career Minimalism
Generasi Z mengembangkan konsep “career minimalism”, melihat pekerjaan sebagai sarana stabilitas finansial sambil menyimpan passion dan ambisi untuk waktu di luar jam kerja. Setidaknya 50% tenaga kerja AS melakukan quiet quitting, yakni melakukan minimum yang diperlukan dan secara psikologis terlepas dari pekerjaan mereka.
Di Indonesia, penelitian terhadap 600 responden Generasi Milenial dan Z menunjukkan bahwa job satisfaction berpengaruh negatif terhadap perilaku quiet quitting. Faktor-faktor seperti empowering leadership dan budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, sementara *beban kerja berlebihan memiliki efek negatif.
Adanya burnout sebagai pandemi yang tersembunyi. Artinya, ada 52% Generasi Z mengalami burnout, jauh lebih tinggi dari generasi sebelumnya. 56% orang berusia 18-24 tahun mengalami burnout di tempat kerja, 19% lebih tinggi dari Milenial. Survei Deloitte menunjukkan bahwa hampir 50% pekerja Generasi Z melaporkan merasa stres atau cemas sepanjang waktu karena tuntutan workplace.
Fenomena baru yang muncul adalah “quiet cracking”, rasa ketidakpuasan berkelanjutan di tempat kerja yang mengakibatkan disengagement dan penurunan performa. 54% responden melaporkan mengalami quiet cracking, yang berpotensi berujung pada quiet quitting.
Scar Effects, Luka Permanen dalam Karier
Pengangguran pemuda memiliki “scar effects” dampak jangka panjang pada prospek pasar tenaga kerja masa depan. Di Inggris, satu bulan tambahan pengangguran antara usia 18-20 menurunkan pendapatan secara permanen sekitar 1,2% per tahun. Di Amerika Serikat, **mereka yang memasuki pasar tenaga kerja saat resesi mengalami penurunan pendapatan, pekerjaan, dan upah yang berlangsung setidaknya 10 tahun.
Generasi muda yang menganggur menghadapi konsekuensi psikologis yang serius, termasuk kemungkinan lebih besar merasa malu, ditolak, tersesat, cemas, tidak aman, tertekan, terisolasi, dan tidak dicintai. Mereka kurang percaya diri tentang masa depan, lebih mungkin menggunakan narkoba, dan merasa hidup tidak memiliki arah. Beberapa bahkan melaporkan memiliki pikiran bunuh diri.
Dalam sudut pandang implikasinya pada ekonomi makro. Pengangguran pemuda yang tinggi memiliki implikasi ekonomi negatif yang sangat besar. Pemuda yang menganggur tidak dapat berkontribusi secara efektif pada pembangunan ekonomi nasional, terutama pada tahap penting kehidupan ekonomi ketika kecenderungan mereka untuk mengonsumsi paling besar.
Gallup memperkirakan bahwa disengagement di AS mengakibatkan kerugian produktivitas sekitar USD 2 triliun. Ketika kebijakan yang ditargetkan untuk meningkatkan pekerjaan pemuda dapat memiliki efek pengganda bagi ekonomi melalui peningkatan permintaan konsumen dan penambahan pendapatan pajak.
Kesenjangan Keterampilan dan Transformasi Digital
Terdapat mismatch keterampilan di era digital. Asia Tenggara menghadapi kekurangan hampir 9 juta profesional TIK pada 2030. Di beberapa tempat, lebih dari 75% pemberi kerja mengatakan lulusan baru tidak siap kerja. Thailand membutuhkan pertumbuhan 37% di sektor layanan digital antara 2010-2020, namun tenaga kerja digitalnya hanya tumbuh 26% dalam periode yang sama.
Di Indonesia, 90% dari 135 juta tenaga kerja tidak pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. Dari 7 juta pengangguran Indonesia, 91% tidak pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. 60% karyawan Indonesia menganggap keterampilan digital sebagai area fokus utama untuk upskilling.
Penelitian ASEAN Foundation dan Google.org terhadap 1.080 pemuda yang kurang terlayani di wilayah ini menunjukkan bahwa 47,8% kekurangan keterampilan dalam mengoperasikan software kerja dasar. 72,2% memiliki tingkat keterampilan digital lanjutan yang tidak ada atau rendah.
Sistem pendidikan memberikan reward pada kredensial daripada kompetensi. Pasar tenaga kerja menuntut adaptabilitas, namun sering menghadapi kualifikasi yang kaku. Ditambah dengan kebangkitan kerja remote yang mengubah konsep “mobilitas” itu sendiri.
Solusi dan Adaptasi
Transformasi model manajemen menjadi salah satu jawaban dari permasalahan ini. Organisasi yang berhasil mempertahankan dan menarik talenta muda merancang ulang apa artinya menawarkan pekerjaan yang baik dengan mendorong budaya terbuka dan mendengarkan. Memprioritaskan work-life balance dan kesehatan mental serta menciptakan sistem fleksibel dan jalur pertumbuhan yang jelas. Menetapkan nilai organisasi yang kuat seperti keberlanjutan, kesetaraan, dan inklusi.
Investasi dalam pengembangan keterampilan juga perlu dilakukan. Pemerintah dan organisasi perlu memperkuat skema perlindungan sosial yang menargetkan pemuda sebagai penerima manfaat. Kemudian memastikan akses inklusif untuk pemuda yang terdampak desproporsional selama pandemi. Mengintegrasikan pendidikan entrepreneurship dalam kurikulum pendidikan dan menyediakan program pelatihan keterampilan digital yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah melakukan redefinis konsep karier dan sukses. Artinya organisasi perlu memahami bahwa loyalitas dari karyawan muda tidak bisa dibeli dengan uang saja. Loyalitas harus diperoleh melalui kepercayaan, partisipasi, dan pengakuan yang tulus. Ini memerlukan perubahan fundamental dalam cara kita memandang hubungan kerja, dari transaksional menjadi transformasional.


