Provinsi Jawa Timur sebagai wilayah dengan populasi terbesar di Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan. Dengan jumlah penduduk melebihi 40 juta jiwa, distribusi fasilitas kesehatan dan kapasitas rumah sakit menjadi faktor kritis dalam menentukan aksesibilitas layanan medis. Analisis ini mengintegrasikan data terbaru tentang infrastruktur kesehatan, beban penyakit menular, dan rekomendasi kebijakan untuk menciptakan sistem kesehatan yang berkelanjutan.
Dari sudut pandang distribusi rumah sakit di Jawa Timur, jumlah dan penyebaran geografis berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, Jawa Timur memiliki 360 rumah sakit yang tersebar di 38 kota dan kabupaten. Distribusi ini menunjukkan ketimpangan signifikan antara wilayah urban dan rural. Kota Surabaya mendominasi dengan 47 rumah sakit atau 13 persen dari total nasional, diikuti oleh Kabupaten Sidoarjo dengan 25 rumah sakit dan Kabupaten Malang dengan 24 rumah sakit. Sebaliknya, wilayah seperti Kota Pasuruan hanya memiliki 2 rumah sakit, sementara Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Bondowoso, dan Kota Probolinggo masing-masing memiliki 3 rumah sakit.
Pola distribusi ini mencerminkan pengaruh faktor ekonomi dan demografi. Surabaya sebagai pusat ekonomi menarik investasi swasta di sektor kesehatan, sedangkan wilayah rural bergantung pada rumah sakit pemerintah tipe C dan D yang kapasitasnya terbatas. Misalnya, RSU Pacitan (tipe C) dan RSU Wlingi (tipe D) menjadi andalan utama untuk layanan darurat di wilayah selatan Jawa Timur.
Jika ditinjau dari keterjangkauan layanan, rasio rumah sakit per 100.000 penduduk di Jawa Timur mencapai 0,9, lebih tinggi daripada rata-rata nasional dengan nilai 0,7. Namun, indikator ini menyesatkan karena konsentrasi fasilitas di area perkotaan. Kabupaten dengan akses terbatas seperti Sumenep yang ada 4 rumah sakit dan Bangkalan dengan 4 rumah sakit yang harus melayani populasi masing-masing sekitar 1,1 juta dan 1 juta jiwa. Akibatnya, waktu tempuh ke rumah sakit di wilayah Timur Madura bisa mencapai 2-3 jam, melebihi standar darurat medis World Health Organization (WHO) yang hanya mencapai 60 menit.
Analisis kebutuhan tempat tidur rumah sakit jika ditinjau dari rasio tempat tidur ideal dibsndingksn dengan realitas. Berdasarkan standar Kementerian Kesehatan, rasio ideal tempat tidur rumah sakit adalah 1:1.000 penduduk. Untuk populasi 40 juta jiwa, Jawa Timur membutuhkan 40.000 tempat tidur. Namun, data 2022 menunjukkan hanya tersedia 20.000 tempat tidur atau -50 persen dari kebutuhan ideal. Kesenjangan ini diperparah oleh distribusi yang timpang, 35 persen tempat tidur terkonsentrasi di Surabaya, Malang, dan Sidoarjo.
Dampak terhadap layanan kesehatan dari defisit tempat tidur, menyebabkan rata-rata tingkat hunian rumah sakit (BOR) di Jawa Timur mencapai 85-90 persen, jauh di atas ambang batas aman WHO yang hanya 60-70 persen. Kondisi ini memicu banyak masalah, diantaranya penundaan operasi elektif. Pasien di Kabupaten Tulungagung menunggu 3-6 bulan untuk prosedur non-darurat. Kedua, overcrowding ruang gawat darurat. RSU Dr. Soetomo Surabaya melaporkan 120 persen okupansi ruang IGD pada 2024. Ketiga, risiko infeksi nosokomial. Studi di RSU Banyuwangi menunjukkan peningkatan 22 persen infeksi akibat kepadatan pasien.
Sementara itu, data BPS 2023 mengungkapkan 9 penyakit menular dominan di Jawa Timur. Pertama, penyakit diare, ada 627.431 kasus, tertinggi di Surabaya, 73.665 kasus. Kedua, pneumonia, ada 103.802 kasus dengan insiden tertinggi di Sidoarjo dan Pasuruan. Ketiga, tuberkulosis (TB) yang tercatat ada 84.628 kasus (2023), meningkat menjadi 23.310 kasus pada Triwulan I 2025. Keempat, ada penyakit malaria. tercatat ada 63.179 kasus, terkonsentrasi di Banyuwangi ada 53.043 kasus.
Wabah diare di Surabaya terkait dengan sanitasi perkotaan-hanya 65 persen rumah tangga memiliki akses air bersih terstandar. Sementara itu, endemis malaria di Banyuwangi dipicu oleh ekosistem hutan dan perkebunan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles. Untuk TB, faktor risiko utama meliputi kepadatan penduduk mencapai 150 jiwa/ha di Surabaya Timur dan prevalensi merokok 35 persen populasi dewasa.
Rekomendasi pengembangan sistem kesehatan dan strategi peningkatan kapasitas rumah sakit. Pertama, ekspansi infrastruktur prioritas. Membangun 20 rumah sakit tipe C di 10 kabupaten defisit, diantaranya Pacitan, Trenggalek, dll, dengan alokasi anggaran Rp 5,2 triliun. Kedua, optimalisasi telemedicine mengadopsi model. hub-and-spoke untuk menghubungkan rumah sakit rujukan dengan puskesmas melalui platform digital. Peningkatan kapasitas SDM*: Pelatihan 1.200 tenaga spesialis penyakit dalam dan 800 perawat gawat darurat hingga tahun 2026.
Pengendalian Penyakit Menular dalam dilakukan. Contohnya, penyakit diare. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah program penyediaan air bersih skala komunitas dengan teknologi, reverse osmosis di 15 kabupaten endemis.
tuberkulosis (TB), Implementasi aplikasi E-TIBI untuk dapat melakukan screening mandiri dan deteksi dini 500.000 populasi risiko per tahun. Ketiga, malaria. Penggunaan insecticide-treated nets (ITNs) dan penyemprotan insektisida di 20.000 rumah, hal ini sudah pernah dilakukan di Banyuwangi.
Penguatan sistem surveilans. Integrasi data real-time melalui dashboard interaktif, seperti model Google Looker Studio untuk memantau ketersediaan tempat tidur, stok obat, dan tren penyakit. Sistem ini telah diujicobakan untuk pemantauan harga cabai dan dapat diadaptasi untuk bidang kesehatan.
Pembangunan 20.000 tempat tidur tambahan membutuhkan investasi Rp 40 triliun dengan asumsi Rp 2 miliar per tempat tidur. Dengan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun, Jawa Timur perlu menambah 480 tempat tidur/tahun hingga 2045. Sinergi antara pemerintah, swasta, dan organisasi internasional, misalnya Global Fund untuk TB menjadi kunci mencapai target ini.
Jawa Timur memerlukan pendekatan multidimensi untuk menutupi kesenjangan infrastruktur kesehatan dan mengatasi beban penyakit menular. Prioritas utama meliputi pemerataan distribusi rumah sakit, peningkatan kapasitas tempat tidur, dan program pencegahan penyakit berbasis data. Dengan implementasi kebijakan terintegrasi, provinsi ini dapat mencapai rasio tempat tidur 1:1.000 pada 2035 dan mengurangi angka kematian akibat diare dan TB sebesar 40 persen pada 2030.