Berdasarkan data terkini hingga Mei 2025, Indonesia menghadapi situasi ketenagakerjaan yang mengkhawatirkan dengan lonjakan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 26.455 orang dan pengangguran sebesar 7,28 juta orang. Tren peningkatan PHK yang signifikan sejak awal tahun, terutama di provinsi-provinsi industri utama, menunjukkan adanya tekanan serius pada pasar tenaga kerja. Fenomena pengangguran sarjana yang meningkat mencapai 13,89% dari total penganggur juga mengindikasikan kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Analisis ini mengkaji perkembangan terbaru, distribusi sektoral dan regional, serta implikasi sosial-ekonomi dari situasi ketenagakerjaan Indonesia.
Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Per 20 Mei 2025, tercatat sebanyak 26.455 pekerja telah di-PHK di seluruh Indonesia. Angka ini menunjukkan peningkatan lebih dari 10% dibandingkan laporan PHK per 23 April 2025 yang mencatat 24.036 orang. Jika dirata-ratakan sejak awal tahun 2025, terdapat sekitar 188 pekerja yang kehilangan pekerjaan setiap hari.
Tren peningkatan PHK ini tampaknya lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data historis dari LPEM UI, sepanjang Januari hingga Oktober 2023, tercatat sebanyak 237.080 tenaga kerja terkena PHK. Peningkatan PHK yang signifikan pada Mei 2025 ini perlu dicermati karena mengindikasikan adanya tekanan pada pasar tenaga kerja yang mungkin disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi makro dan perubahan struktural dalam perekonomian.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mengkonfirmasi bahwa angka PHK tahun 2025 ini mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Mei 2024, jumlah PHK tidak mencapai 5.000 orang. Peningkatan signifikan ini menunjukkan adanya perubahan kondisi ketenagakerjaan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
Distribusi PHK di Indonesia menunjukkan konsentrasi yang tinggi di beberapa provinsi. Berdasarkan data Kemnaker per 20 Mei 2025, tiga provinsi dengan jumlah PHK tertinggi adalah:
1. Jawa Tengah: 10.695 orang (40,4% dari total PHK nasional)
2. DKI Jakarta: 6.279 orang (23,7% dari total PHK nasional)
3. Riau: 3.570 orang (13,5% dari total PHK nasional)
Ketiga provinsi ini menyumbang 77,6% dari total PHK nasional, menunjukkan adanya konsentrasi masalah ketenagakerjaan di wilayah-wilayah yang secara historis merupakan pusat ekonomi dan industri. Jawa Tengah yang mencatat PHK tertinggi kemungkinan disebabkan oleh tingginya konsentrasi industri manufaktur di wilayah tersebut, sementara DKI Jakarta dengan karakteristiknya sebagai pusat ekonomi dan bisnis nasional juga mengalami tekanan serupa. Riau, yang ekonominya ditopang oleh sektor minyak, perkebunan, dan manufaktur, juga menunjukkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi.
Potret Pengangguran di Indonesia 2025
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Meskipun jumlah pengangguran meningkat sebanyak 83.000 orang atau sekitar 1,11% dibandingkan Februari 2024, namun persentase TPT justru menurun sebesar 0,06 persen poin dari 4,82% pada Februari 2024.
Fenomena peningkatan jumlah pengangguran absolut namun penurunan persentase TPT ini dapat dijelaskan melalui pertumbuhan angkatan kerja yang lebih cepat. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja per Februari 2025 mencapai 153,05 juta orang, meningkat sebanyak 3,67 juta orang dibandingkan dengan Februari 2024. Dengan demikian, meskipun jumlah pengangguran absolut meningkat, persentasenya terhadap total angkatan kerja justru menurun.
TPT sebesar 4,76% pada Februari 2025 tercatat sebagai rasio terendah sejak pandemi COVID-19. Namun demikian, jika melihat angka absolute, 7,28 juta penganggur tetap merupakan jumlah yang besar dan memerlukan perhatian serius dalam kebijakan ketenagakerjaan.
Terdapat perbedaan menarik dalam tren pengangguran berdasarkan gender. TPT pada perempuan mengalami penurunan sebesar 0,19 persen poin, dari 4,6% pada Februari 2024 menjadi 4,41% pada Februari 2025. Sebaliknya, TPT pada laki-laki justru meningkat sedikit sebesar 0,02 persen poin, dari 4,96% pada Februari 2024 menjadi 4,98% pada Februari 2025.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, TPT di perkotaan per Februari 2025 tercatat 5,73%, turun dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 5,89%. Sedangkan di pedesaan, TPT juga mengalami penurunan dari 3,37% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Perbedaan TPT antara perkotaan dan pedesaan ini menunjukkan karakteristik pasar tenaga kerja yang berbeda, dengan daerah perkotaan yang cenderung memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi karena ekspektasi kerja dan upah yang juga lebih tinggi.
Tingkat Pendidikan
Analisis terhadap distribusi pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan pola yang menarik dan juga mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS Februari 2025, pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan SMA yang menyumbang 28,01% dari total pengangguran, diikuti oleh tamatan SMK sebesar 22,37%, lulusan SD atau lebih rendah sebesar 17,09%, tamatan SMP sebesar 16,20%, tamatan Diploma IV hingga S3 sebesar 13,89%, dan lulusan Diploma I-III sebesar 2,44%.
Fenomena yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tren peningkatan pengangguran lulusan perguruan tinggi yang terus meningkat secara konsisten dalam empat tahun terakhir. Per Februari 2025, pengangguran tamatan Diploma IV hingga S3 menyumbang 13,89% dari total pengangguran di Indonesia, meningkat signifikan dari 9,43% pada Februari 2023 dan 12,21% pada Februari 2024. Angka tersebut setara dengan 1,01 juta lulusan sarjana yang menganggur.
Tingkat pengangguran lulusan universitas per Februari 2025 mencapai 6,23%, level tertinggi sejak 2021. Fenomena ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, yang menunjukkan perlunya evaluasi terhadap sistem pendidikan tinggi dan hubungannya dengan dunia industri.
Kajian dari LPEM UI menunjukkan bahwa tren peningkatan pengangguran lulusan perguruan tinggi ini perlu diwaspadai karena mencerminkan pola yang terlihat pada krisis ekonomi masa lalu. Pada krisis ekonomi 1998, tingkat pengangguran lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masing-masing sebesar 10,95% dan 11,00%, sementara tingkat pengangguran untuk individu yang tidak memiliki pendidikan formal atau hanya berpendidikan dasar jauh lebih rendah, yaitu 1,04% dan 2,70%.
Pola yang sama muncul selama krisis 2008, dengan tingkat pengangguran untuk kelompok terdidik mencapai 11%-12%, sementara tingkat pengangguran untuk kelompok yang kurang terdidik tetap di bawah 6%. Kemiripan pola pengangguran saat ini dengan periode-periode krisis sebelumnya mengindikasikan adanya kerentanan ekonomi yang perlu diwaspadai.
Sektor-Sektor yang Paling Terdampak PHK
Menurut data Kemnaker, sektor-sektor ekonomi yang paling banyak melakukan PHK adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta sektor jasa. Meskipun tidak ada perincian spesifik tentang proporsi PHK di masing-masing sektor, pola ini konsisten dengan tren global di mana sektor industri pengolahan sering menghadapi tekanan akibat otomatisasi, perubahan pola konsumsi, dan persaingan global.
Sektor industri pengolahan yang menjadi salah satu kontributor terbesar PHK kemungkinan menghadapi tantangan struktural seperti kenaikan biaya produksi, persaingan dari negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih rendah, dan disrupsi rantai pasok global. Sementara sektor perdagangan besar dan eceran mungkin menghadapi tekanan akibat perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin beralih ke platform digital, yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja konvensional.
Sektor jasa yang juga mencatatkan tingginya angka PHK kemungkinan dipengaruhi oleh transformasi digital yang mempercepat otomatisasi berbagai fungsi layanan, serta perubahan perilaku konsumen pasca-pandemi yang mempercepat adopsi solusi digital dalam berbagai aspek kehidupan.
Laporan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan penurunan dalam Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, khususnya bagi tamatan universitas. Meskipun masih berada pada level optimistis (104,6 per April 2025), indeks ini telah mengalami penurunan selama empat bulan berturut-turut dengan total penurunan mencapai 28,4 poin. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja tamatan perguruan tinggi juga turun sebesar 0,9 poin pada April 2025, mencapai level terendah sejak September 2021.
Penurunan indeks-indeks ini mengindikasikan melemahnya kepercayaan terhadap ketersediaan lapangan kerja, terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Hal ini konsisten dengan data pengangguran yang menunjukkan peningkatan jumlah penganggur dengan latar belakang pendidikan tinggi, dan dapat menjadi sinyal awal terjadinya tekanan lebih lanjut pada pasar tenaga kerja di bulan-bulan mendatang.
Di tengah tingginya angka PHK, data BPS juga mencatat bahwa rata-rata upah buruh per Februari 2025 mencapai 3,09 juta rupiah. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 3,04 juta rupiah. Peningkatan upah nominal ini perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks inflasi untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan daya beli riil para pekerja.
Dapat ditarik kesimpulan, jika situasi ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan beberapa tanda yang mengkhawatirkan, khususnya terkait dengan peningkatan PHK dan pengangguran lulusan perguruan tinggi. Meskipun TPT secara keseluruhan mengalami penurunan, jumlah absolut pengangguran meningkat, dan terdapat tren peningkatan PHK yang perlu mendapat perhatian serius.
Beberapa upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi tantangan ketenagakerjaan ini meliputi:
1. Program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) yang ditargetkan untuk pekerja di sektor-sektor yang paling terdampak PHK, khususnya industri pengolahan, perdagangan, dan jasa.
2. Reformasi kurikulum pendidikan tinggi untuk lebih selaras dengan kebutuhan industri, memperkuat komponen praktik dan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja.
3. Insentif bagi perusahaan untuk mempertahankan atau menambah tenaga kerja, terutama di sektor-sektor prioritas dan daerah-daerah dengan angka PHK tinggi seperti Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau.
4. Penguatan program jaminan sosial dan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK, termasuk asuransi pengangguran dan program bantuan pencarian kerja.
5. Kebijakan ekonomi makro yang mendukung penciptaan lapangan kerja berkelanjutan, termasuk stimulus untuk sektor-sektor padat karya dan industri dengan nilai tambah tinggi.
Dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, Indonesia dapat mengatasi tantangan ketenagakerjaan saat ini dan membangun pasar tenaga kerja yang lebih tangguh dan inklusif di masa depan. Keterlibatan aktif dari pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil akan sangat penting untuk merumuskan dan mengimplementasikan solusi yang efektif bagi masalah PHK dan pengangguran di Indonesia.