Dalam beberapa tahun terakhir, sektor perkebunan tembakau dan cengkeh telah menunjukkan dinamika yang menarik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta liputan media massa dan media sosial menyiratkan bahwa permintaan atas kedua komoditas ini mengalami perkembangan yang signifikan, terutama sejak tahun 2022 dan diproyeksikan berlanjut hingga 2024.
Di sisi lain, industri rokok, yang sangat bergantung pada bahan baku tembakau dan cengkeh, harus beradaptasi dengan kenaikan harga cukai yang semakin tinggi, memaksa pelaku industri untuk menata strategi pasar yang inovatif.
Pertumbuhan Permintaan Komoditas Tembakau dan Cengkeh (2022–2024)
Data statistik BPS dari berbagai provinsi, seperti Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Madiun, menunjukkan bahwa produksi tembakau dan cengkeh telah mencapai angka yang cukup signifikan. Misalnya, pada tahun 2023 produksi tembakau tercatat mencapai kisaran 220–237 ribu ton, sedangkan produksi cengkeh di beberapa wilayah mencapai hingga 2.789 ribu ton (misalnya di
wilayah Sumatra Barat).
Dengan mempertimbangkan tren permintaan domestik dan ekspor, pertumbuhan permintaan komoditas ini diproyeksikan naik secara moderat, sekitar 3–5 persen per tahun, mengingat pergeseran pola konsumsi dan dukungan terhadap diversifikasi produk di pasar global.
Perkembangan Industri Rokok di Tengah Kenaikan Tarif Cukai
Industri rokok, yang sangat bergantung pada pasokan tembakau dan cengkeh, tengah menghadapi tantangan serius sejak diberlakukannya kenaikan tarif cukai secara bertahap pada tahun 2022 hingga 2024. Liputan media seperti Kompas dan portal pajak mengungkapkan bahwa tarif cukai rokok naik rata-rata 10 persen setiap tahun, sehingga harga jual eceran rokok pun ikut mengalami peningkatan.
Kenaikan ini, meskipun bertujuan mengendalikan konsumsi terutama di kalangan remaja, memberikan dampak ganda. Di satu sisi, memaksa produsen untuk berinovasi dan meluncurkan varian produk yang lebih terjangkau. Di sisi lain, menekan margin keuntungan perusahaan rokok besar yang telah lama mendominasi pasar.