Rencana Amerika Serikat untuk menggandakan tarif impor baja dari 25% menjadi 50% pada tahun 2025 menciptakan gelombang baru ketidakpastian dalam perdagangan global dan berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap Indonesia sebagai salah satu produsen baja dunia. Kebijakan yang diumumkan oleh Presiden Trump ini merupakan kelanjutan dari strategi proteksionis yang telah dimulai pada masa pemerintahan sebelumnya, dengan tujuan melindungi industri baja domestik Amerika Serikat namun menciptakan kompleksitas baru dalam rantai pasok global. Indonesia, dengan ekspor baja ke Amerika Serikat senilai USD 126,27 juta pada tahun 2023, menghadapi tantangan serius yang memerlukan respons strategis dari pemerintah dan industri. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) telah mengidentifikasi potensi risiko membanjirnya produk baja asing ke pasar domestik akibat pengalihan ekspor dari negara-negara lain yang terdampak tarif Amerika Serikat, sehingga memerlukan langkah antisipasi yang komprehensif untuk melindungi industri dalam negeri.
Kebijakan tarif baja Amerika Serikat telah mengalami evolusi yang signifikan sejak implementasi awal pada tahun 2018. Pada 1 Maret 2018, Presiden Trump pertama kali menerapkan tarif 25% terhadap impor baja tertentu dengan menggunakan Section 232 dari Trade Expansion Act 1962, yang kemudian diperluas hingga mencakup investigasi terhadap impor mobil dan suku cadang mobil. Kebijakan ini menciptakan ketegangan antara dua industri utama Amerika Serikat yaitu produsen baja dan produsen otomotif, serta menghasilkan respons bipartisan dari Kongres dengan 159 anggota Kongres menandatangani surat penolakan terhadap tarif mobil yang diusulkan.
Penggunaan Section 232 memberikan dasar hukum yang kuat bagi implementasi tarif dengan alasan keamanan nasional, mencakup tidak hanya bahan baku namun juga berbagai produk turunan seperti wastafel baja, kompor gas, kumparan kondensor udara, tapal kuda, wajan aluminium, dan engsel pintu baja. Mekanisme ini memungkinkan pemerintah Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan proteksionis dengan justifikasi keamanan nasional, meskipun dampak ekonominya meluas ke berbagai sektor industri.
Pada tahun 2025, Presiden Trump mengumumkan rencana penggandaan tarif dari 25% menjadi 50% yang akan diterapkan pada minggu berikutnya setelah pengumuman. Kebijakan ini disampaikan dalam kampanye di Pittsburgh, Pennsylvania, dengan menekankan bahwa tarif 50% akan menjamin masa depan industri baja Amerika Serikat dan bahwa “dengan tarif 50%, tidak ada yang bisa melewati pagar tersebut”. Implementasi tarif baru ini juga disertai dengan pengumuman alokasi dana sebesar USD 14 miliar untuk memperkuat manufaktur baja di wilayah tersebut melalui kemitraan antara U.S. Steel dan Nippon Steel Jepang.
Kebijakan tarif baja dan aluminium ini tidak terpengaruh oleh gugatan hukum yang sedang berlangsung terkait validitas tarif global Trump, memberikan kepastian hukum bagi implementasinya. Menurut data dari Census Bureau yang diakses melalui sistem web U.S. International Trade Commission, total nilai impor untuk 289 kategori produk pada tahun 2024 mencapai USD 147,3 miliar, dengan hampir dua pertiga berasal dari aluminium dan sepertiga dari baja.
Posisi Indonesia dalam Perdagangan Baja Global
Indonesia memiliki posisi sebagai eksportir baja yang signifikan ke Amerika Serikat, dengan nilai ekspor besi dan baja mencapai USD 126,27 juta pada tahun 2023 menurut database COMTRADE Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komposisi ekspor didominasi oleh produk setengah jadi dari besi atau baja non-alloy senilai USD 101,99 juta, diikuti oleh produk flat-rolled dari besi atau baja non-alloy yang dilapisi senilai USD 13,85 juta, dan kawat dari baja alloy lainnya senilai USD 6,69 juta.
Struktur ekspor ini menunjukkan bahwa Indonesia berkonsentrasi pada produk baja dengan nilai tambah menengah, yang memposisikan negara sebagai pemasok penting dalam rantai pasok global industri baja Amerika Serikat. Produk-produk seperti baja tahan karat flat-roll dengan lebar di bawah 600mm senilai USD 1,26 juta dan produk flat-rolled dari besi atau baja non-alloy dengan lebar kurang dari 600mm senilai USD 168,26 ribu menunjukkan diversifikasi produk yang dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi volatilitas tarif.
Industri baja Indonesia memiliki kapasitas produksi yang terus berkembang dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah dan infrastruktur industri yang semakin matang. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan kebijakan P3DN (Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri) melalui sertifikasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sebagai bagian penting dari strategi penguatan industri nasional. Kebijakan TKDN bukan hanya sekadar angka di atas kertas, tetapi mendorong pemanfaatan produksi lokal dan menunjukkan kemampuan industri nasional untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi sesuai standar global.
Dengan pasar domestik yang besar dan daya beli masyarakat yang terus tumbuh, Indonesia menjadi target potensial bagi produk-produk dari luar negeri akibat pengalihan perdagangan dari dampak tarif Amerika Serikat. Kondisi ini menciptakan tantangan ganda dimana industri baja Indonesia tidak hanya menghadapi hambatan ekspor ke Amerika Serikat, tetapi juga potensi tekanan kompetitif di pasar domestik dari produk baja impor yang dialihkan dari negara-negara lain.
Dampak Sektoral terhadap Perekonomian Indonesia
Sektor konstruksi dan infrastruktur Indonesia akan mengalami dampak yang kompleks dari kebijakan tarif baja Amerika Serikat. Berdasarkan pengalaman industri konstruksi Amerika Serikat, tarif baja telah mengubah struktur biaya dalam sektor konstruksi dan menambah tekanan finansial pada industri yang berharap mendapatkan stabilitas lebih besar. Kenaikan biaya baja telah terlihat sejak Desember 2024, dan meskipun tarif dimaksudkan untuk mendorong produksi baja domestik yang lebih besar, Amerika Serikat saat ini tidak memproduksi cukup untuk memenuhi permintaan dan secara historis bergantung pada impor untuk mengisi kesenjangan.
Proyek-proyek pembangunan skala besar seperti apartemen bertingkat tinggi, gedung perkantoran, dan proyek pemerintah besar kemungkinan akan mengalami tekanan finansial terbesar karena ketergantungan mereka pada baja struktural. Di Indonesia, dampak ini dapat tercermin dalam bentuk peningkatan biaya proyek infrastruktur nasional jika industri baja domestik ikut menaikkan harga mengikuti tren global, atau sebaliknya, dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi produk baja Indonesia di pasar domestik jika harga tetap stabil.
Industri konstruksi Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan signifikan dengan berbagai proyek infrastruktur strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program infrastruktur nasional lainnya akan sangat sensitif terhadap perubahan harga baja. Peningkatan tarif Amerika Serikat dapat menciptakan peluang bagi industri baja Indonesia untuk fokus pada pasar domestik dan regional ASEAN, namun juga menimbulkan risiko jika terjadi dumping produk baja dari negara-negara lain yang terdampak tarif.
1. Sektor Manufaktur dan Otomotif
Sektor manufaktur Indonesia, khususnya industri otomotif, akan menghadapi dampak berlapis dari kebijakan tarif baja Amerika Serikat. Pengalaman pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tarif baja menciptakan konflik kepentingan antara produsen baja dan produsen otomotif, dimana industri otomotif menentang keras proposal tarif sementara industri baja memberikan dukungan kuat. Fenomena serupa dapat terjadi di Indonesia dimana industri otomotif yang bergantung pada baja sebagai bahan baku utama akan menghadapi tekanan biaya jika harga baja domestik ikut naik.
Industri manufaktur Indonesia yang terintegrasi dalam rantai pasok global akan mengalami dampak tidak langsung melalui perubahan dinamika perdagangan internasional. Sebagaimana dialami oleh perusahaan-perusahaan Vietnam yang secara strategis mengubah model bisnis mereka dalam menghadapi perang dagang Amerika Serikat-China, perusahaan manufaktur Indonesia juga perlu melakukan inovasi model bisnis untuk memanfaatkan peluang yang muncul dari ketidakpastian perdagangan global.
Volatilitas tarif, kekuatan pembelian konsumen, dan orientasi filosofi politik memiliki dampak signifikan terhadap inovasi model bisnis perusahaan dalam mencapai kinerja yang lebih tinggi di tengah lingkungan politik dan ekonomi internasional yang dinamis. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur Indonesia perlu mengembangkan strategi adaptif yang tidak hanya mengatasi turbulensi tarif Amerika Serikat tetapi juga memerlukan serangkaian hubungan penting dalam memajukan manajemen internasional yang ilmiah.
2. Sektor Ekspor dan Perdagangan Internasional
Sektor ekspor Indonesia akan mengalami dampak langsung dan signifikan dari penggandaan tarif baja Amerika Serikat. Dengan nilai ekspor baja ke Amerika Serikat yang mencapai USD 126,27 juta pada tahun 2023, kenaikan tarif dari 25% menjadi 50% akan mengurangi daya saing produk baja Indonesia di pasar Amerika Serikat secara dramatis. Peningkatan tarif sebesar 25 poin persentase akan membuat produk baja Indonesia menjadi jauh lebih mahal di pasar Amerika Serikat, berpotensi mengurangi volume ekspor secara signifikan.
Dampak ini akan meluas ke seluruh rantai nilai ekspor baja Indonesia, mulai dari produsen bahan baku hingga eksportir produk jadi. Perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan pasar Amerika Serikat sebagai tujuan ekspor utama akan dipaksa untuk mencari alternatif pasar atau melakukan restrukturisasi bisnis. Kondisi ini dapat menciptakan efek domino pada sektor logistik, perbankan, dan jasa pendukung ekspor lainnya.
Namun, dampak tarif Amerika Serikat juga dapat menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di pasar-pasar alternatif. Pengalihan perdagangan dari Amerika Serikat dapat membuka peluang ekspansi ke pasar Eropa, Asia, dan Amerika Latin dimana produk baja Indonesia dapat memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik.
Respons Strategis Industri Baja Indonesia
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) telah mengambil posisi proaktif dalam merespons kebijakan tarif Amerika Serikat dengan mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah guna menjaga stabilitas industri dalam negeri. Chairman IISIA M. Akbar Djohan menekankan bahwa kebijakan tarif dari Amerika Serikat berpotensi mendorong negara-negara lain untuk mengalihkan ekspornya ke pasar baru, termasuk Indonesia, sehingga penting bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap pasar dalam negeri agar tidak kebanjiran produk baja impor.
IISIA mengusulkan strategi yang seimbang dalam merespons kondisi perdagangan internasional yang mulai masuk ke arah perang tarif dengan mempertimbangkan penggunaan kebijakan tarif sebagai langkah antisipasi. Asosiasi mendukung jika pemerintah memutuskan untuk menurunkan hingga menghapus tarif impor produk baja dari Amerika Serikat, namun dengan catatan penting bahwa produk baja Indonesia juga tidak dikenakan tarif tinggi saat masuk ke pasar Amerika Serikat, mencerminkan prinsip hubungan dagang yang seimbang dan saling menguntungkan.
Untuk menjaga pasar domestik dari potensi serbuan baja impor akibat perang dagang global, IISIA mengusulkan perbaikan Tata Niaga Impor Baja untuk pengendalian impor secara efektif serta menjamin pasokan baja dalam negeri. Tata Niaga Impor Baja ini dimaksudkan untuk memastikan impor tidak berdampak negatif bagi industri baja nasional, dengan prinsip bahwa impor baja hanya dilakukan jika tidak dapat dipenuhi oleh produsen baja domestik.
IISIA mengusulkan pembentukan sentral logistik baja untuk tata kelola ekosistem rantai pasok baja nasional dengan tetap mempertimbangkan kemampuan industri baja nasional. Konsep sentral logistik ini merupakan inovasi dalam manajemen rantai pasok yang dapat meningkatkan efisiensi distribusi dan mengurangi ketergantungan pada impor. Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara menekankan bahwa dalam kondisi ketidakpastian perdagangan global, penting untuk memastikan bahwa impor benar-benar sesuai kebutuhan dan tidak mengganggu kelangsungan industri baja dalam negeri.
Strategi penguatan rantai pasok domestik juga mencakup peningkatan kerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk menjaga keberlanjutan ekosistem baja di tingkat regional. Pendekatan regional ini dapat memberikan stabilitas yang lebih besar dibandingkan ketergantungan pada pasar global yang volatile, sekaligus menciptakan sinergi dengan negara-negara tetangga yang memiliki kondisi ekonomi dan kebutuhan infrastruktur yang serupa.
Implementasi kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) menjadi komponen penting dalam strategi penguatan industri nasional, dimana konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan ini akan memberikan sinyal positif bagi para pelaku industri baja dalam negeri dan memperkuat kemandirian industri baja nasional. TKDN bukan hanya soal angka di atas kertas, tetapi mendorong pemanfaatan produksi lokal dan menunjukkan kemampuan industri nasional untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi sesuai standar global.
Implikasi Geopolitik dan Ekonomi Global
Eskalasi ketegangan bilateral antara dua ekonomi terbesar dunia telah memasuki fase kritis dengan keputusan Amerika Serikat untuk menerapkan tarif tambahan pada impor China. Sebagai respons terhadap langkah-langkah proteksionis ini, China kemudian mengumumkan pembatasan perdagangan balasan, mengakibatkan ekonomi global memasuki fase ketidakpastian baru. Dinamika perang dagang ini menciptakan peluang dan tantangan bagi negara-negara seperti Indonesia yang tidak terlibat langsung namun terdampak melalui efek pengalihan perdagangan.
Pengalaman Vietnam dalam menghadapi perang dagang Amerika Serikat-China memberikan pembelajaran berharga bagi Indonesia tentang bagaimana perusahaan-perusahaan dapat secara strategis mengubah inovasi model bisnis mereka untuk memanfaatkan peluang menuju kinerja perusahaan yang lebih tinggi[6]. Regulasi dan pengawasan, isu geopolitik dan peperangan, volatilitas tarif, kekuatan pembelian konsumen, dan orientasi filosofi politik memiliki dampak signifikan terhadap inovasi model bisnis perusahaan dalam mencapai kinerja yang lebih tinggi di tengah lingkungan politik dan ekonomi internasional saat ini.
Kondisi geopolitik yang dinamis ini menuntut Indonesia untuk mengembangkan strategi yang tidak hanya reaktif terhadap perubahan kebijakan perdagangan Amerika Serikat dan China, tetapi juga proaktif dalam memposisikan diri sebagai alternatif yang stabil dan dapat diandalkan dalam rantai pasok global. Hal ini mencakup peningkatan kualitas produk, standardisasi internasional, dan diplomasi ekonomi yang efektif.
Kebijakan tarif Amerika Serikat yang semakin proteksionis menciptakan peluang bagi Indonesia untuk menarik pengalihan investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional yang mencari lokasi produksi alternatif. Fenomena “China Plus One” atau diversifikasi rantai pasok dari China dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia jika dapat menawarkan stabilitas politik, infrastruktur yang memadai, dan kebijakan yang mendukung investasi asing.
Pengalihan rantai pasok global juga dapat menciptakan peluang bagi industri baja Indonesia untuk menjadi pemasok bagi perusahaan-perusahaan yang sebelumnya bergantung pada China atau Amerika Serikat. Namun, hal ini juga menimbulkan risiko persaingan yang lebih ketat dengan negara-negara lain yang juga berusaha menarik pengalihan investasi dan rantai pasok.
Untuk memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu mengembangkan strategi yang komprehensif dalam menarik investasi di sektor baja dan industri terkait, termasuk penyediaan insentif yang kompetitif, infrastruktur yang memadai, dan kepastian hukum yang kuat. Kerjasama regional ASEAN juga dapat menjadi platform untuk menciptakan rantai pasok regional yang lebih resilient terhadap gejolak perdagangan global.
Strategi diversifikasi pasar ekspor menjadi prioritas utama bagi Indonesia dalam menghadapi peningkatan tarif baja Amerika Serikat. Pemerintah dan pelaku industri perlu mengidentifikasi dan mengembangkan pasar-pasar alternatif yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi dan hambatan perdagangan yang lebih rendah. Pasar Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin dapat menjadi target ekspansi yang strategis.
Pengembangan pasar ekspor alternatif memerlukan investasi dalam riset pasar, promosi produk, dan pembangunan jaringan distribusi yang efektif. Pemerintah dapat memfasilitasi melalui program misi dagang, pameran internasional, dan diplomasi ekonomi yang aktif. Selain itu, standardisasi produk sesuai dengan persyaratan pasar tujuan dan sertifikasi kualitas internasional menjadi kunci untuk menembus pasar-pasar baru.
Kemitraan strategis dengan perusahaan lokal di negara-negara target dapat mempercepat penetrasi pasar dan mengurangi risiko investasi. Model joint venture, licensing, atau strategic alliance dapat menjadi pilihan untuk masuk ke pasar-pasar yang memiliki karakteristik khusus atau hambatan regulasi yang signifikan.
Peningkatan daya saing industri baja domestik memerlukan investasi yang signifikan dalam teknologi, inovasi, dan peningkatan efisiensi produksi. Implementasi teknologi Industry 4.0, otomatisasi, dan digitalisasi proses produksi dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi. Investasi dalam penelitian dan pengembangan juga penting untuk menghasilkan produk-produk baja dengan nilai tambah tinggi yang dapat bersaing di pasar global.
Program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia perlu diperkuat untuk memastikan ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan adaptif terhadap perubahan teknologi. Kerjasama dengan institusi pendidikan dan lembaga penelitian dapat menciptakan ekosistem inovasi yang mendukung pengembangan industri baja nasional.
Konsolidasi industri melalui merger dan akuisisi dapat menciptakan ekonomi skala yang lebih efisien dan meningkatkan daya saing di pasar global. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan akses pembiayaan dapat mempercepat proses konsolidasi dan modernisasi industri.
Pemerintah Indonesia perlu mengimplementasikan kebijakan perdagangan yang strategis dan responsif terhadap dinamika global. Perbaikan Tata Niaga Impor Baja sebagaimana diusulkan IISIA dapat menjadi instrumen untuk melindungi industri domestik dari dumping dan praktik perdagangan yang tidak fair. Kebijakan ini harus dirancang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan industri domestik dan kebutuhan pasokan baja untuk pembangunan infrastruktur nasional.
Penetapan tarif retaliasi yang selektif terhadap negara-negara yang menerapkan tarif tinggi pada produk Indonesia dapat menjadi instrumen diplomasi perdagangan yang efektif. Namun, pendekatan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari eskalasi perang dagang yang dapat merugikan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Penguatan kerjasama perdagangan regional melalui ASEAN dan perjanjian perdagangan bebas bilateral dapat menciptakan pasar yang lebih stabil dan predictable bagi produk baja Indonesia. Harmonisasi standar, mutual recognition agreement, dan fasilitasi perdagangan dapat mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi perdagangan regional.
Pembentukan sentral logistik baja sebagaimana diusulkan IISIA dapat menjadi game-changer dalam pengelolaan rantai pasok nasional. Sentral logistik ini dapat mengintegrasikan pasokan bahan baku, produksi, dan distribusi secara efisien, mengurangi biaya logistik, dan meningkatkan responsivitas terhadap perubahan permintaan pasar. Investasi dalam infrastruktur logistik, sistem informasi terintegrasi, dan standardisasi proses dapat mendukung implementasi konsep ini.
Pengembangan klaster industri baja yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal dapat menciptakan sinergi dan efisiensi yang lebih besar. Klaster industri dapat mencakup produsen bahan baku, pengolah, fabrikator, dan jasa pendukung yang saling terkait dan mendukung. Pemerintah dapat memfasilitasi pembentukan klaster melalui penyediaan infrastruktur, insentif investasi, dan regulasi yang mendukung.
Kemitraan strategis dengan sektor pertambangan dapat memastikan pasokan bahan baku yang stabil dan kompetitif. Integrasi vertikal dari hulu ke hilir dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku. Investasi dalam eksplorasi dan pengembangan sumber daya mineral domestik dapat mendukung kemandirian industri baja nasional.
Rencana penggandaan tarif baja Amerika Serikat dari 25% menjadi 50% menciptakan tantangan dan peluang yang kompleks bagi Indonesia sebagai salah satu produsen baja global. Dampak langsung berupa penurunan daya saing ekspor baja Indonesia ke pasar Amerika Serikat senilai USD 126,27 juta pada tahun 2023 memerlukan respons strategis yang komprehensif dari pemerintah dan industri. Sektor-sektor ekonomi yang terdampak meliputi konstruksi dan infrastruktur, manufaktur dan otomotif, serta ekspor dan perdagangan internasional, yang masing-masing menghadapi dinamika perubahan yang berbeda namun saling terkait.
Respons strategis yang diusulkan oleh IISIA mencakup penguatan perlindungan pasar domestik melalui perbaikan Tata Niaga Impor Baja, pembentukan sentral logistik baja, dan penguatan kerjasama regional ASEAN. Strategi ini perlu dilengkapi dengan diversifikasi pasar ekspor, peningkatan daya saing industri domestik melalui inovasi teknologi dan pengembangan SDM, serta implementasi kebijakan perdagangan yang strategis dan responsif. Pengembangan rantai pasok terintegrasi dan kemitraan strategis dengan sektor hulu dapat menciptakan fondasi yang kuat untuk kemandirian industri baja nasional.
Dalam konteks geopolitik global yang semakin dinamis, Indonesia memiliki peluang untuk memposisikan diri sebagai alternatif yang stabil dalam rantai pasok global dan menarik pengalihan investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional. Keberhasilan dalam memanfaatkan peluang ini memerlukan koordinasi yang erat antara pemerintah, industri, dan stakeholder terkait dalam mengimplementasikan strategi yang holistik dan adaptif terhadap perubahan dinamika perdagangan internasional. Komitmen terhadap peningkatan kualitas produk, standardisasi internasional, dan diplomasi ekonomi yang efektif akan menentukan kemampuan Indonesia untuk tidak hanya bertahan dari gejolak perdagangan global, tetapi juga berkembang sebagai kekuatan ekonomi yang semakin penting di kawasan.