Pertanian rempah-rempah Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik baik di pasar domestik maupun internasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber terpercaya, berikut analisis komprehensifnya.
Permintaan dan penggunaan komoditas rempah-rempah untuk pasar domestik masih sangat besar. Tercatat, untuk rempah-rempah seperti jahe, kunyit, dan cengkeh mengalami peningkatan permintaan domestik sebesar 139,47% (yoy) pada Januari-November 2023. Tren ini didorong oleh kesadaran kesehatan pasca-COVID-19 dan penggunaan rempah dalam industri jamu, makanan, serta kosmetik lokal.
Menilik pasar ekspor (2023-2025), jika ditinjau dari kinerja ekspor 2023, untuk volume, tercatat ada 148,22 ribu ton atau naik 29,77% yoy, dengan nilai USD 564,12 juta atau turun 4,16% yoy, yang diakibatkan penurunan harga global.
Untuk komoditas unggulan, tercatat ada komoditas lada, vanila, kayu manis, cengkeh, pala. Sedangkan untuk komoditas cengkeh, tercatat tumbuh 61,03%. Lalu untuk komoditas adas, ketumbar, jinten, angkanya naik 81,55%, sedangkan untuk komoditas jahe angkanya naik 139,47%.
Tercatat ada beberapa prospek dan tantangan yang perlu diketahui. Pertama adalah kesehatan global, peningkatan permintaan rempah untuk imunitas seperti komoditas jahe, kunyit dan bahan farmasi menjadi peluang tersendiri. Kedua, diversifikasi produk. Pengembangan rempah olahan seperti sirup jamu dan ekstrak yang bernilai tambah tinggi. Hal ini menjadi peluang bagi para pelaku usaha untuk mengembangkan usaha untuk olahan produk rempah-rempah.
Ketiga, perjanjian dagang. Pembukaan akses melalui Indonesia Spice Up the World (ISUTW) dan FTA dengan Uni Eropa/Arab Saudi menjadi peluang tersendiri bagi para pelaku usaha penggerak komoditas rempah-rempah.
Perlu diketahui, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh para petani rempah-rempah Indonesia. Diantaranya yang paling dirasa adalah perubahan iklim. Ancaman terhadap produktivitas pala dan lada di Maluku dan Sumatera menjadi salah satu yang terdampak pada perubahan iklim. Kedua, standar internasional. Persyaratan keamanan pangan (kontaminan) dan sertifikasi organik masih menjadi kendala tersendiri dari para pebisnis rempah-rempah. Ketiga, fluktuasi harga. Penurunan harga agregat rempah global sebesar 4,16% yang terjadi pada 2023 menjadi contoh kongkret permasalahan yang dihadapi oleh petani rempah-rempah.
Sementara itu, ada beberapa tantangan utama yang dihadapi petani rempah-rempah di Indonesia. Diantaranya, serangan hama dan penyakit yang merusak tanaman, seperti pada lada yang rentan terhadap kutu daun, tungau, dan busuk pangkal batang akibat jamur Phytophthora. Kedua, perubahan iklim dan cuaca ekstrem, seperti kekeringan atau curah hujan berlebih, yang mengganggu siklus pertumbuhan rempah.
Ketiga, keterbatasan teknologi dan pengetahuan pascapanen, termasuk kurangnya bibit unggul, teknologi pengolahan, dan pemahaman petani tentang penanganan hasil panen sehingga kualitas produk menurun dan sulit memenuhi standar ekspor. Keempat, rantai pasok yang panjang dan ketergantungan pada tengkulak, menyebabkan petani sulit mendapatkan harga yang adil dan industri pengolah kesulitan menjamin kualitas serta traceability produk.
Kelima, penggunaan pestisida dan pupuk kimia berlebihan, menyebabkan residu melebihi batas yang disyaratkan pasar ekspor, sehingga menghambat akses pasar internasional. Keenam, terbatasnya lahan budidaya dan rendahnya minat masyarakat dalam menanam rempah, yang membatasi peningkatan produksi. Upaya mengatasi tantangan ini perlu fokus pada peningkatan teknologi pertanian dan pascapanen, pelatihan petani, perbaikan rantai pasok, serta dukungan kebijakan untuk stabilitas harga dan akses pasar.
Selain itu, petani rempah-rempah di Indonesia mengatasi fluktuasi harga dengan beberapa strategi berikut. Pertama, diversifikasi produk. Petani mengolah rempah menjadi produk olahan bernilai tambah, seperti bubuk cabai atau minuman jahe instan, untuk memperluas pasar dan mengurangi ketergantungan pada harga komoditas segar yang fluktuatif.
Kedua, manajemen persediaan yang efisien. Mengelola stok dengan metode seperti just-in-time inventory dan analisis permintaan untuk menghindari kelebihan pasokan saat harga turun. Ketiga, negosiasi dan kemitraan. Petani dan kelompok tani (gapoktan) membangun kemitraan dengan lembaga distribusi atau pasar langsung (misalnya Toko Tani Indonesia) untuk memperpendek rantai pasok dan mendapatkan harga yang lebih adil.
Keempat, pelatihan dan edukasi. Pemerintah dan organisasi memberikan penyuluhan tentang strategi pengelolaan keuangan, penetapan harga fleksibel, serta teknik produksi dan pemasaran untuk meningkatkan daya saing petani.
Kelima, penggunaan sebagian hasil panen sebagai bibit. Saat harga rendah, sebagian hasil panen disimpan untuk benih musim tanam berikutnya, mengurangi tekanan jual saat harga anjlok. Keenam, dukungan kebijakan pemerintah. Beberapa daerah menerapkan kebijakan pembelian hasil panen di atas titik impas untuk melindungi petani dari kerugian saat harga jatuh.
Strategi-strategi ini diharapkan dapat membantu petani rempah mempertahankan pendapatan dan keberlanjutan usaha meski harga pasar tidak stabil
Lantas, untuk dapat makin berkembang, ada beberapa rekomendasi strategis yang dapat dilakukan oleh para penggiat rempah-rempah di Indonesia. Pertama, pengembangan teknologi pascapanen. Modernisasi pengolahan untuk mengurangi kontaminasi dan meningkatkan kualitas. Kedua, promosi digital, optimalisasi media sosial untuk branding rempah premium, contohnya, kampanye (hastag/tanda pagar) #RempahNusantara.
Kedua, Kolaborasi Petani-Eksportir menjadi salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan para pegiat sektor rempah-rempah Indonesia. Ketiga, skema kemitraan melalui program-program pemberdayaan petani di tingkat paling bawah untuk stabilisasi pasokan. Dengan strategi ini, Indonesia berpotensi meningkatkan pangsa pasar rempah global dari 2,7% pada Tahun 2024 menuju target USD 25,6 miliar pada 2029.