Di tengah dinamika transformasi digital, sistem paylater telah muncul sebagai solusi cerdas yang tidak hanya mempermudah proses belanja di dunia maya, tetapi juga menjadi alat strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Fitur ini kini telah diadopsi oleh raksasa e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada, serta platform media sosial yang bertransformasi menjadi ruang jual beli, contohnya TikTok Shop. Keberadaan sistem ini, yang memungkinkan konsumen untuk membeli produk dan membayarnya kemudian, menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi digital sekaligus membuka ruang bagi inovasi di sektor keuangan.
Perkembangan Layanan Paylater di Ranah Digital makin moncer tiap tahunnya. Berdasarkan laporan terkini, penggunaan paylater di Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Data dari berbagai sumber mengindikasikan bahwa pengguna paylater tumbuh rata-rata sebesar 144,35 persen per tahun. Pada tahun 2023, tercatat hingga 79,92 juta kontrak paylater, mencerminkan antusiasme masyarakat yang semakin tinggi untuk menggunakan metode pembayaran yang fleksibel ini.
Platform e-commerce telah mengintegrasikan fitur ini sejak beberapa tahun terakhir. Misalnya, Shopee meluncurkan layanan paylater pada 2019, sementara Tokopedia dan Lazada terus mengembangkan inovasi pembayaran digital untuk menjangkau konsumen yang semakin melek teknologi. Di sisi lain, platform media sosial seperti TikTok juga mulai mengambil peran dalam ekosistem social commerce, sehingga memperluas akses dan kemudahan bagi konsumen dalam bertransaksi secara daring.
Perkembangan transaksi e-commerce pun turut menunjukkan dinamika yang menarik. Data dari Kontan mengungkapkan bahwa nilai transaksi e-commerce di Indonesia mengalami fluktuasi. Tercatat 2023, nilai transaksi menyentuh Rp 453,75 triliun, angka ini menggambarkan jika pada tahun 2023 terjadi penurunan 4,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2024, nilai transaksi e-commerce mencapai Rp 487,01 triliun atau mengalami peningkatan 7,3 persen secara tahunan.
Sebagai referensi, lonjakan nilai transaksi terjadi secara signifikan pada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada 2021 dengan kenaikan sebesar 50,7 persen, yang didorong oleh perubahan perilaku konsumen pasca pandemi. Meskipun tahun 2023 menunjukkan sedikit penurunan, peningkatan kembali di 2024 mengindikasikan bahwa sektor e-commerce masih memiliki potensi pertumbuhan yang cerah.
Prediksi dan Analisis Menjelang Lebaran 2025
Menjelang momen perayaan Lebaran, sejumlah prediksi optimis muncul mengenai peningkatan penggunaan layanan paylater. Menurut data dari Kompas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa penyaluran kredit melalui Buy Now, Pay Later (BNPL) mencapai Rp 26,69 triliun per Januari 2025 dengan pertumbuhan tahunan sekitar 44,19 persen yang membagi antara BNPL oleh perusahaan pembiayaan (41,9 persen) dan BNPL perbankan (44,65 persen).
Di samping itu, platform seperti LinkAja memperkirakan transaksi BNPL akan tumbuh lebih tinggi menjelang Lebaran, seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan kemudahan digitalisasi transaksi.
Prediksi ini semakin diperkuat oleh tren global dan domestik yang menunjukkan bahwa konsumsi digital meningkat signifikan saat momen perayaan. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) memproyeksikan kenaikan transaksi online sekitar 15 persen sampai 20 persen selama Lebaran 2025. Dengan pertumbuhan ini, layanan paylater tidak hanya akan mengoptimalkan kemampuan pembelian konsumen, tetapi juga meningkatkan perputaran ekonomi digital secara keseluruhan.
Manfaat dan Kerugian Penggunaan Sistem Paylater
Dalam penggunaan Paylater, banyak kebaikan yang dirasakan. Diantaranya, yang pertama adalah peningkatan daya beli. Dengan metode pembayaran ditunda, konsumen dapat segera memperoleh barang-barang yang dibutuhkan atau diinginkan, tanpa harus mengeluarkan dana secara langsung. Ini terutama berguna saat momen spesial seperti Lebaran, ketika kebutuhan belanja melonjak.
Kedua, fleksibilitas finansial. Layanan paylater memungkinkan konsumen untuk mengatur cicilan sesuai kemampuan, memberikan kelonggaran dalam pengelolaan kas dan memanfaatkan promo atau diskon besar dari platform e-commerce.
Ketiga, dorongan inovasi digital. Peningkatan penggunaan paylater mendorong pelaku industri untuk berinovasi, mulai dari peningkatan teknologi verifikasi data hingga penerapan sistem edukasi keuangan untuk mengurangi risiko gagal bayar.
Namun, perlu dicermati, dalam setiap sistem pasti terselip celah kerugian yang mungkin akan timbul. Diantaranya, yang pertama adalah risiko terlilit hutang. Kemudahan akses dan pembayaran yang ditunda dapat memicu perilaku impulsif, sehingga banyak konsumen berpotensi terjebak dalam siklus hutang yang sulit dikendalikan. Kedua, beban bunga dan denda. Keterlambatan pembayaran dapat menyebabkan akumulasi bunga dan denda, yang pada akhirnya membebani kondisi keuangan individu.
Ketiga, dampak negatif pada riwayat kredit. Gagal bayar atau keterlambatan pembayaran dapat merusak riwayat kredit, menyulitkan akses ke fasilitas kredit lainnya di masa depan. Keempat, adalah risiko psikologis. Beban utang yang terus menumpuk kerap menimbulkan stres dan kecemasan, yang berpengaruh pada produktivitas dan kesejahteraan mental pengguna.
Sistem paylater telah membuktikan diri sebagai inovasi penting dalam ekosistem digital, yang tidak hanya memberikan kemudahan dan fleksibilitas dalam bertransaksi, tetapi juga berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat di tengah era digital. Data menunjukkan bahwa meski terdapat tantangan, seperti potensi terjebak dalam utang dan dampak bunga yang tinggi, penggunaan paylater tetap menunjukkan tren pertumbuhan yang mengesankan, terutama menjelang Lebaran 2025. Dengan dukungan regulasi dan edukasi keuangan yang tepat, layanan ini dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital, asalkan konsumen mampu menggunakan fasilitas ini dengan bijak dan bertanggung jawab.