UU No. 6/2023 dalam UU Cipta Kerja mengubah ketentuan alih daya dengan signifikan. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan diubah, yang isinya adalah perusahaan hanya boleh menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui kontrak alih daya tertulis, dan pemerintah akan menentukan jenis pekerjaan apa saja yang dibolehkan untuk dialihdayakan.
Pasal 65 UU lama yang didalamnya terkandung pembatasan jenis pekerjaan outsourcing telah dihapus. Artinya, secara formal outsourcing masih diperbolehkan namun lingkupnya dipersempit melalui peraturan pemerintah.
Perusahaan outsourcing diwajibkan berbentuk badan hukum berizin dan memenuhi standar pemerintah, sementara tanggung jawab pemberian hak seperti gaji, jaminan sosial, THR, dsb. sepenuhnya berada pada perusahaan outsourcing. Perubahan ini menempatkan kerangka hukum baru, bukannya melarang sama sekali, pemerintah memilih mengatur lebih ketat tugas-tugas apa yang boleh dialihdayakan.
Dampak pada Perusahaan Besar
- Manufaktur & Industri Berat. Sektor padat karya seperti manufaktur sangat mengandalkan fleksibilitas tenaga kerja. Perubahan aturan diperkirakan meningkatkan beban upah dan tunjangan (BPJS, THR, pesangon) karena pekerja outsourcing harus diangkat menjadi karyawan tetap. Pengusaha besar was-was bahwa peningkatan beban operasional ini dapat menurunkan daya saing produk dan investor, terutama di industri padat karya. Misalnya di tambang dan migas, banyak operator alat berat dan teknisi yang selama ini berstatus outsourcing. Jika mereka diinternalisasi, biaya produksi melonjak dan perusahaan harus menyesuaikan struktur modalnya.
- Jasa Penunjang (Keamanan, Kebersihan, Katering, Transportasi). Sektor ini kerap menggunakan outsourcer untuk mengisi fungsi non-inti. Menurut Apindo, investor asing misalnya terbiasa mengalihdayakan tenaga keamanan dan kebersihan agar bisa fokus pada bisnis utama. Penghapusan outsourcing berisiko menutup perusahaan-perusahaan penyedia jasa kecil tersebut. Akibatnya, perusahaan besar harus merekrut sendiri pekerja di bidang ini dengan biaya lebih tinggi. Hal ini mengganggu kepraktisan operasional: pekerja outsourcing sejatinya dilindungi hukum (upah minimum, BPJS, THR) namun tanpa ikatan permanen, sehingga perusahaan fokus pada inti usaha tanpa kewajiban administratif berlebih.
- Logistik & Transportasi. Banyak perusahaan logistik mempekerjakan tenaga pengemudi dan gudang melalui pihak ketiga. Pembatasan outsourcing akan memaksa perusahaan logistik menanggung beban tenaga kerja langsung (gaji dan tunjangan) yang sebelumnya dihemat, serta menurunkan fleksibilitas penyesuaian jumlah karyawan setiap musim. Meski belum banyak kajian khusus, praktisi mengingatkan bahwa sektor ini perlu memetakan ulang kebutuhan staf agar operasional tetap efisien.
- Jasa Keuangan & Teknologi. Perbankan, fintech, dan perusahaan IT sering menggunakan outsourcing untuk layanan customer service, help desk, dan pemeliharaan TI. Kebijakan baru akan memaksa mereka mengalihdayakan lebih banyak fungsi ke karyawan tetap atau vendor berizin, dengan potensi kenaikan biaya SDM dan penataan ulang kontrak kerja. Sementara skala dampaknya lebih kecil dibanding industri manufaktur, perbankan dan fintech harus menyiapkan sistem HR yang lebih formal (misalnya program pelatihan internal) untuk menghindari risiko kepatuhan.
Dampak pada UMKM
UMKM umumnya mengandalkan outsourcing untuk fungsi pendukung (administrasi, pemasaran, kebersihan, dll.) guna menekan biaya. Dengan aturan baru, UMKM harus mempekerjakan lebih banyak staf tetap atau berizin, sehingga beban biaya (gaji, asuransi BPJS, THR) meningkat. Hal ini dapat menekan margin keuntungan UMKM dan memperlambat arus kas usaha kecil. Banyak pelaku UMKM kini bekerja di sektor informal; misalnya BPS mencatat sekitar 59,4% tenaga kerja di Indonesia berstatus informal (Februari 2025).
Jika outsourcing dihentikan tanpa mekanisme kompensasi, pekerja UMKM yang sebelumnya berstatus kontrak bisa semakin tertutup aksesnya ke lapangan kerja formal dan bergeser ke pekerjaan informal yang tidak terlindungi. Para praktisi menyarankan UMKM untuk segera mengevaluasi struktur biaya dan kolaborasi bisnis: misalnya membentuk koperasi atau aliansi usaha agar tetap efisien secara kolektif, serta memanfaatkan skema PKWT yang sah untuk beberapa posisi demi fleksibilitas jangka pendek.