Gelombang kebangkrutan yang melanda sektor manufaktur Indonesia sejak 2023 hingga awal 2025 telah menciptakan krisis ketenagakerjaan yang mendalam, dengan lebih dari 15.000 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam tiga bulan pertama 2025. Fenomena ini mencerminkan tantangan struktural yang kompleks, mulai dari tekanan persaingan global, ketidakmampuan adaptasi teknologi, hingga dampak jangka panjang pandemi COVID-19. Meskipun data menunjukkan bahwa industri manufaktur secara keseluruhan masih mampu menyerap tenaga kerja baru lebih banyak daripada yang di-PHK, konsentrasi penutupan pabrik besar dalam periode singkat menunjukkan adanya kerentanan sistemik yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pelaku industri.
Gambaran Umum Krisis Manufaktur Indonesia
Industri manufaktur Indonesia mengalami tekanan signifikan yang tercermin dalam data Purchasing Manager’s Index (PMI) yang menunjukkan kontraksi berkelanjutan. PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 48,9, turun dari 49,3 pada periode sebelumnya, mengindikasikan penurunan output dan pesanan baru yang lebih tajam. Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur domestik telah berada di bawah ambang batas ekspansi dalam periode yang cukup panjang.
Sektor manufaktur, yang secara historis menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia dengan menyerap 19,29% tenaga kerja Indonesia pada 2023 (sekitar 19,96 juta pekerja pada 2024), kini menghadapi tantangan multidimensional. Gelombang penutupan pabrik yang dimulai sejak akhir 2023 dan mencapai puncaknya di awal 2025 menandai periode kritis bagi keberlanjutan sektor ini. Ironisnya, meskipun terjadi PHK massal di beberapa perusahaan besar, data menunjukkan bahwa industri manufaktur secara keseluruhan masih mampu menyerap 1.082.998 tenaga kerja baru pada 2024, jauh melebihi angka PHK total sebesar 48.345 orang di semua sektor ekonomi.
Dinamika Serapan Tenaga Kerja vs PHK
Rasio penambahan tenaga kerja baru terhadap PHK di sektor manufaktur menunjukkan tren positif yang berkelanjutan, meningkat dari 1:5 pada 2022, menjadi 1:7 pada 2023, dan mencapai 1:20 pada 2024. Data ini mengindikasikan bahwa meskipun terjadi penutupan beberapa pabrik besar, ekosistem manufaktur Indonesia secara keseluruhan masih menunjukkan dinamisme dengan bermunculannya industri-industri baru. Namun, konsentrasi PHK dalam jumlah besar pada periode singkat menciptakan dampak sosial-ekonomi yang signifikan di daerah-daerah tertentu, terutama di kawasan industri Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kasus-Kasus Spesifik Kebangkrutan Perusahaan
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu produsen tekstil terbesar Indonesia, resmi menghentikan seluruh aktivitas operasionalnya pada 1 Maret 2025 setelah dinyatakan pailit. Penutupan ini mengakibatkan PHK terhadap 10.669 pekerja, menjadikannya kasus PHK terbesar dalam gelombang krisis manufaktur ini. Sritex, yang telah beroperasi selama puluhan tahun sebagai tulang punggung industri tekstil nasional, tidak mampu bertahan menghadapi tekanan finansial yang berkelanjutan.
Kepailitan Sritex tidak hanya berdampak pada perusahaan induk, tetapi juga merambat ke anak-anak perusahaannya, termasuk PT Bitratex Semarang, PT Primayudha Boyolali, dan PT Sinar Pantja Jaya Semarang. Fenomena ini menunjukkan efek domino yang dapat terjadi ketika perusahaan besar dalam satu grup usaha mengalami kegagalan finansial. Kementerian Ketenagakerjaan telah menyatakan komitmennya untuk memastikan para korban PHK Sritex mendapatkan pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan jaminan hari tua (JHT) sesuai ketentuan.
Sektor Elektronik dan Komponen: Penarikan Investasi Asing
PT Yamaha Music Product Asia, anak perusahaan Yamaha Corporation asal Jepang, memutuskan untuk menghentikan operasi kedua pabriknya di Pulogadung dan Bekasi pada Maret 2025. Penutupan ini mengakibatkan PHK terhadap lebih dari 1.100 pekerja, dengan rencana memindahkan kegiatan operasional kembali ke China dan Jepang. Keputusan ini mencerminkan tren penarikan investasi asing dari Indonesia oleh perusahaan multinasional yang mencari efisiensi operasional di negara asal atau lokasi dengan biaya produksi lebih kompetitif.
PT Sanken Indonesia, produsen komponen listrik asal Jepang, juga mengikuti jejak serupa dengan melakukan PHK terhadap 459 karyawan menjelang penutupan resmi pada Juni 2025. Perusahaan ini telah mengalami kerugian sejak 2019 dan akhirnya menerima instruksi dari perusahaan induk untuk menghentikan produksi barang-barang elektronik seperti power supply, transformator, dan adaptor laptop. Pola ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan asing cenderung lebih cepat mengambil keputusan penutupan ketika menghadapi ketidakprofitabilan jangka panjang.
Industri Spesialis: Dampak pada Sektor Niche
PT Danbi International, produsen bulu mata palsu yang berlokasi di Garut, menghentikan operasinya pada 19 Februari 2025 dan melakukan PHK terhadap 2.079 pekerja setelah dinyatakan pailit. Kasus ini menunjukkan bahwa krisis manufaktur tidak hanya menimpa industri besar dan konvensional, tetapi juga merambat ke sektor-sektor spesialis dan niche market. Perusahaan yang bergerak di industri kosmetik dan fashion accessories ini kemungkinan menghadapi tantangan dari perubahan tren konsumen dan persaingan dengan produk impor yang lebih murah.
Gelombang Kebangkrutan Industri Tekstil
Sektor tekstil mengalami tekanan khusus dengan tujuh pabrik yang bangkrut pada September 2024, termasuk PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex). Gelombang kebangkrutan ini mencerminkan tantangan struktural yang dihadapi industri tekstil Indonesia, yang tidak hanya bersumber dari faktor internal perusahaan tetapi juga dari perubahan lanskap perdagangan global dan preferensi konsumen. Hingga awal Juni 2024, tercatat lima pabrik tekstil besar telah tutup dan melakukan PHK besar-besaran.
Analisis Penyebab Kebangkrutan
Persaingan dengan Produk Impor
Salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis manufaktur adalah derasnya produk impor yang murah, terutama dari China dan negara-negara Asia lainnya. Produk-produk impor ini umumnya ditawarkan dengan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan produk domestik, sehingga menggerus pangsa pasar perusahaan lokal. Dalam industri tekstil, misalnya, produk impor yang murah telah membuat produk lokal kehilangan daya saing di pasar domestik maupun ekspor.
Fenomena ini diperparah oleh ketidakmampuan banyak perusahaan domestik untuk melakukan efisiensi biaya produksi tanpa mengorbankan kualitas. Perbedaan struktur biaya, mulai dari upah tenaga kerja, biaya energi, hingga biaya bahan baku, menjadi tantangan struktural yang sulit diatasi dalam jangka pendek. Kondisi ini memaksa perusahaan domestik untuk bersaing tidak hanya dalam hal kualitas tetapi juga harga, yang seringkali menjadi pertarungan yang tidak seimbang.
Keterlambatan Modernisasi Teknologi
Menurut Kementerian Perindustrian, tidak adanya pemutakhiran desain dan teknologi dari perusahaan induk serta ketidakmampuan perusahaan untuk bersaing menjadi alasan utama penutupan sejumlah pabrik. Banyak perusahaan manufaktur Indonesia, terutama yang berusia puluhan tahun, masih menggunakan teknologi dan proses produksi yang relatif ketinggalan zaman dibandingkan dengan standar industri global.
Keterlambatan adopsi teknologi otomasi, digitalisasi proses produksi, dan implementasi Industry 4.0 membuat perusahaan-perusahaan ini kehilangan efisiensi operasional. Sementara itu, kompetitor di negara lain telah mengadopsi teknologi terbaru yang memungkinkan mereka memproduksi barang dengan kualitas lebih baik, waktu produksi lebih cepat, dan biaya lebih rendah. Gap teknologi ini semakin lebar seiring berjalannya waktu dan akhirnya menjadi faktor determinan dalam keberlanjutan operasional perusahaan.
Dampak Jangka Panjang Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 yang dimulai pada 2020 telah meninggalkan dampak jangka panjang yang masih dirasakan hingga 2024-2025. Banyak perusahaan yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, yang menyebabkan mereka terpaksa menutup operasi sementara dan kehilangan pendapatan signifikan. Periode penutupan ini tidak hanya menguras cadangan keuangan perusahaan tetapi juga mengganggu rantai pasok dan hubungan dengan pelanggan.
Perubahan pola konsumsi pasca-pandemi juga memberikan tekanan tambahan. Konsumen lebih banyak beralih ke platform digital dan mengubah preferensi pembelian mereka, yang mempengaruhi penjualan langsung dari pabrik-pabrik tradisional. Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini mengalami penurunan pesanan yang berkelanjutan, yang pada akhirnya mengarah pada kesulitan finansial dan kebangkrutan.
Penurunan Permintaan Pasar
Data PMI menunjukkan bahwa penurunan output dan pesanan baru menjadi karakteristik utama kontraksi manufaktur Indonesia. Penurunan permintaan ini bersifat multifaktor, mencakup melemahnya daya beli konsumen domestik, perubahan preferensi konsumen, dan intensifikasi persaingan dari produk impor. Dalam konteks global, perlambatan ekonomi di beberapa negara tujuan ekspor juga berkontribusi pada penurunan permintaan untuk produk manufaktur Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada pasar ekspor mengalami tekanan khusus karena penurunan permintaan global dan meningkatnya proteksionisme perdagangan di beberapa negara. Kondisi ini memaksa perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksi, yang pada gilirannya meningkatkan biaya per unit dan mengurangi profitabilitas.