Di sudut-sudut kota Surabaya yang pernah menyimpan riuh derap langkah para pengunjung, kini terdengar bisikan sepi. Mal-mal legendaris seperti Jembatan Merah Plaza (JMP) dan City Of Tomorrow Mall (Cito) mulai mengukir sejarah pilu. Penurunan okupansi dan perubahan perilaku konsumen telah membuat gedung-gedung megah ini menyaksikan surutnya era kejayaannya.
Beberapa data mengungkap bahwa sebelum pandemi, mal skala menengah di Surabaya mencatat rata-rata kunjungan sekitar 30.000 orang per bulan. Namun, sejak pandemi Covid-19 dan pergeseran paradigma belanja ke ranah digital, angka tersebut merosot drastis hingga mencapai 1.500 pengunjung per bulan. Penurunan tajam ini tidak hanya terjadi pada JMP 2 yang akhirnya menghentikan operasionalnya karena beban biaya sewa yang tidak sebanding dengan pendapatan, tetapi juga pada mal seperti Cito yang kini menyisakan keluh kesah para penjaga stan karena sepi pengunjung.
Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakangi fenomena ini, diantaranya adalah pandemi covid-19. Momen pandemi ini sangat membatasi mobilitas dan mengubah pola konsumsi secara signifikan. Faktor kedua adalah transformasi digital dan e-commerce. Konsumen kini memilih kenyamanan berbelanja dari rumah, dengan biaya lebih efisien dan tanpa harus menghadapi kerepotan parkir atau kemacetan.
Faktor ketiga yakni tingginya beban operasional. Biaya sewa dan operasional yang tinggi membuat pengelola mal semakin rentan terhadap fluktuasi ekonomi, terutama di masa transisi pasca-pandemi. Faktor keempat, adalah perubahan preferensi konsumen. Selain berbelanja, mal dulu menjadi pusat aktivitas sosial dan rekreasi. Kini, keinginan akan pengalaman yang unik dan personal mulai tergeser oleh layanan daring yang menawarkan efisiensi dan kemudahan.
Di ranah yang lebih luas, data dari wilayah lain di Jawa Timur dan Indonesia juga menunjukkan tren serupa. Misalnya, di Wilayah Jember terdapat laporan terkait penutupan sementara pusat perbelanjaan sebagai respons terhadap berbagai kebijakan dan kondisi ekonomi yang menekan aktivitas konsumen.
Penutupan dan penurunan okupansi mal membawa dampak yang tidak hanya terbatas pada sisi ekonomi, namun juga menyentuh aspek sosial dan budaya urban. Pertama, aspek ekonomi dan tenaga kerja. Dengan ratusan bahkan ribuan karyawan yang menggantungkan hidup di pusat perbelanjaan, penurunan kunjungan berimbas pada ancaman pemutusan hubungan kerja. Sebuah artikel mencatat bahwa hingga 180 ribu pekerja di Surabaya bisa terdampak jika penutupan mal terus berlanjut.
Dari sisi aspek rantai pasokan dan usaha kecil. Banyak tenant dan UMKM yang beroperasi di dalam mal harus menghadapi penurunan pendapatan, mengakibatkan berkurangnya daya beli dan menurunnya aktivitas ekonomi di sekitarnya. Tidak hanya itu saja transformasi ruang kota. Mal yang dulunya menjadi ikon kehidupan sosial kini harus merombak wajahnya. Perubahan fungsi dan adaptasi terhadap era digital menjadi kebutuhan mendesak agar ruang-ruang komersial ini tak sepenuhnya terlupakan. Aspek budaya dan identitas kota. Mal seringkali menjadi simbol kebersamaan dan dinamika perkotaan. Penurunan okupansi mengikis nilai-nilai historis dan sentimental yang selama ini melekat pada ruang publik tersebut.
Untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa rekomendasi dan strategi adaptasi yang dapat dilakukan oleh para pengusaha mal perlu mengadopsi strategi inovatif yang tidak hanya mengandalkan konsep tradisional, melainkan juga menatap masa depan digital:
1. Rejuvenasi dan Revitalisasi: Mengadaptasi konsep mal yang lebih modern dan mengintegrasikan pengalaman belanja yang interaktif. Contohnya, mengadopsi konsep “mall sebagai destinasi hiburan” yang menggabungkan ruang komersial, kuliner, dan ruang publik terbuka. Studi kasus Super Mall Karawaci yang berhasil bertransformasi menjadi destinasi hiburan juga dapat dijadikan inspirasi.
2. Integrasi Omni-Channel: Membangun sinergi antara toko fisik dan platform daring agar pengalaman belanja semakin seamless. Kolaborasi dengan e-commerce, misalnya dengan menyediakan layanan “click and collect” atau virtual tour produk, dapat mengoptimalkan kehadiran fisik sekaligus digital.
3. Diversifikasi Tenant: Menggandeng tenant yang menawarkan produk dan layanan unik, mulai dari pengalaman kuliner, seni pertunjukan, hingga workshop kreatif. Diversifikasi ini dapat menarik segmen pasar baru yang mencari pengalaman berbeda yang tidak bisa didapatkan secara online.
4. Pemanfaatan Teknologi: Menggunakan data analytics untuk memahami pola kunjungan dan preferensi konsumen, sehingga strategi pemasaran dan tata letak mal dapat dioptimalkan. Inovasi seperti augmented reality (AR) dalam pemasaran produk juga patut dipertimbangkan.
5. Dukungan Pemerintah dan Regulasi: Perlu adanya kerjasama antara pengusaha dan pemerintah dalam menyusun regulasi yang mendukung revitalisasi pusat perbelanjaan, termasuk pemberian insentif bagi inovasi dan perbaikan infrastruktur penunjang.
Dapat ditarik benang merah, jika di tengah arus digital yang kian deras, mal-mall di Surabaya dan Indonesia harus bertransformasi agar tidak tergerus oleh waktu. Kejatuhan okupansi yang ditimbulkan pandemi dan persaingan e-commerce bukanlah akhir dari sebuah era, melainkan panggilan untuk berinovasi.
Dengan merangkul teknologi dan menyusun strategi berbasis riset pasar, pengusaha mal dapat menciptakan kembali magnetitas yang pernah mewarnai kehidupan perkotaan—sebuah simfoni modern yang menggabungkan kehangatan tradisi dengan efisiensi zaman digital.
Sumber Referensi: SUARASURABAYA.NET – Analisis penutupan JMP 2 dan dampaknya. DETIK.COM – Keluh kesah penjaga stan di Mal Cito Surabaya. DETIK.COM – Laporan tentang penutupan akhir JMP 2. JATIM.IDNTIMES.COM – Data terkait dampak penutupan mal terhadap ribuan pekerja. JATIMTIMES.COM – Laporan penutupan sementara mal di Jember.