Di balik rutinitas belanja harian masyarakat, seperti: membeli telur untuk lauk, atau menyeduh segelas susu. Ada cerita yang lebih besar, yang bisa ditangkap jika kita mau melihat dari sudut pandang data. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi terpenting dalam peta pangan nasional, menyimpan banyak kisah menarik soal dua sumber protein utama ini: telur dan susu.
Dalam pemetaan yang diolah oleh Enciety DataMining (EDM) berdasarkan data BPS 2019, tampak bahwa pengeluaran masyarakat per kapita untuk telur dan susu di Jawa Timur memiliki pola geografis yang unik. Dengan pendekatan hierarchical clustering, kabupaten/kota dikelompokkan menjadi tiga klaster berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap makanan. Hasilnya cukup menarik—wilayah seperti Pacitan, Ponorogo, dan Tulungagung termasuk dalam kelompok dengan pengeluaran tertinggi, mendekati 7% dari total belanja makanan. Sementara beberapa daerah lain, seperti Lumajang dan Jember, masih berada di bawah 5%.
Lantas, apa makna dari pola ini?
Produksi Tinggi, Konsumsi Belum Merata
Jawa Timur adalah “lumbung telur” nasional. Pada tahun 2022, produksi telur ayam ras di provinsi ini mencapai 1,31 juta ton, menyumbang hampir 30% dari produksi nasional. Bahkan, pada Januari 2021 saja, surplus produksi telur mencapai lebih dari 110 ribu ton dibanding kebutuhan. Peternak di daerah seperti Blitar menikmati hasil yang luar biasa—dengan omzet yang bisa mencapai Rp23–24 miliar per tahun.
Tak hanya telur, produksi susu segar di Jawa Timur juga tak kalah signifikan. Dengan lebih dari 108 juta liter per tahun, provinsi ini memimpin secara nasional. Keberadaan koperasi seperti KAN Jabung dan KUD Tani Wilis telah memperkuat posisi peternak kecil dan menjamin rantai pasok yang stabil.
Namun, ironi muncul ketika kita melihat angka konsumsi. Rata-rata konsumsi susu masyarakat Jawa Timur hanya sekitar 9 liter per kapita per tahun—sangat rendah, ini hanya setara satu hingga dua sendok makan susu per hari.
Di Mana Peran Data?
Angka-angka ini, jika hanya berdiri sendiri, mudah diabaikan. Tapi ketika dipetakan dan dianalisis secara visual seperti yang dilakukan oleh Enciety DataMining, mereka mulai membentuk pola, membuka pertanyaan, dan mendorong diskusi. Misalnya:
Mengapa konsumsi susu rendah meski produksi tinggi?
Apakah distribusi belum merata, atau daya beli masih menjadi kendala?
Bagaimana peran budaya makan dan edukasi gizi dalam memengaruhi keputusan konsumen?
Dengan menelusuri klaster pengeluaran masyarakat, kita bisa mulai memetakan di mana intervensi kebijakan perlu difokuskan—apakah dalam bentuk edukasi gizi, program subsidi pangan bergizi, atau dukungan infrastruktur distribusi ke daerah yang pengeluarannya masih rendah.
Lebih dari Sekadar Statistik
Dampaknya jelas:
Secara ekonomi, produksi besar telur dan susu membantu penghidupan ribuan peternak dan pelaku UMKM olahan pangan.
Secara sosial, ini menyumbang pada ketahanan pangan masyarakat.
Namun secara gizi, masih ada pekerjaan rumah: memastikan bahwa hasil produksi yang melimpah bisa benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat luas, terutama anak-anak dan keluarga prasejahtera.
Di sinilah peran platform analisis seperti Enciety DataMining jadi penting. Bukan hanya menyajikan data, tapi mengolahnya menjadi insight yang bisa dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan, pelaku usaha, koperasi, bahkan aktivis gizi masyarakat.
Karena pada akhirnya, ketika data disampaikan dengan cara yang tepat, ia bisa mengubah cara kita memahami realitas—dan mendorong perubahan yang nyata, satu sendok susu dan sebutir telur sekaligus.