Bank Indonesia mencatat pertumbuhan uang primer (M0) adjusted sebesar 14,5% year-on-year mencapai Rp1.939,1 triliun pada Mei 2025, menunjukkan akselerasi dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh 13,0%. Fenomena ini mencerminkan dinamika kompleks dalam pengendalian moneter nasional, dimana pertumbuhan tersebut didorong oleh ekspansi uang kartal yang diedarkan sebesar 10,1% dan peningkatan giro bank umum di Bank Indonesia adjusted sebesar 10,7%. Meskipun pertumbuhan persentase mengalami kenaikan, data menunjukkan anomali menarik dimana nilai absolut uang primer sebenarnya mengalami kontraksi dari Rp1.952,3 triliun pada April 2025, mengindikasikan adanya penyesuaian kebijakan moneter pasca momentum lebaran. Analisis lebih mendalam mengungkapkan disparitas signifikan antara pertumbuhan uang primer yang mencapai 14,5% dengan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) yang hanya 5,2%, menandakan konsentrasi likuiditas pada level primer yang belum sepenuhnya tertransmisi ke ekonomi riil.
Dinamika Kebijakan Moneter dan Konteks Makroekonomi
Pertumbuhan uang primer yang mencapai 14,5% pada Mei 2025 merupakan hasil dari strategi pengendalian moneter yang telah disesuaikan dengan pemberian insentif likuiditas makroprudensial. Bank Indonesia mengimplementasikan pendekatan “adjusted” yang mengisolasi dampak penurunan giro bank akibat pemberian insentif likuiditas, memberikan gambaran lebih akurat mengenai kondisi moneter sebenarnya. Kebijakan ini mencerminkan respons BI terhadap dinamika ekonomi yang kompleks, dimana institusi perbankan sentral berupaya menjaga stabilitas likuiditas sambil mendorong transmisi kebijakan moneter yang efektif.
Konteks makroekonomi menunjukkan pola yang menarik dimana penyaluran kredit pada April 2025 tumbuh 8,5% year-on-year, sedikit melambat dari 8,7% pada bulan sebelumnya. Perlambatan ini mengindikasikan adanya penyesuaian dalam sektor perbankan yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Sementara itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat mengalami kontraksi yang signifikan sebesar 21,0% year-on-year, menunjukkan perbaikan dalam manajemen fiskal pemerintah. Aktiva luar negeri bersih tumbuh 3,6% year-on-year, mencerminkan stabilitas cadangan devisa meskipun mengalami perlambatan dari pertumbuhan 6,0% pada Maret 2025.
Transmisi Moneter dan Anomali Struktural
Analisis mendalam terhadap data moneter mengungkapkan beberapa anomali struktural yang patut dicermati. Pertama, terdapat disparitas signifikan antara pertumbuhan uang primer (M0) adjusted sebesar 14,5% dengan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) yang hanya mencapai 5,2%. Kesenjangan ini mengindikasikan adanya hambatan dalam transmisi kebijakan moneter, dimana likuiditas yang tersedia di level primer belum sepenuhnya diserap dan disalurkan ke sektor riil ekonomi.
Anomali kedua terletak pada pola temporal dimana nilai absolut uang primer mengalami penurunan dari Rp1.952,3 triliun pada April menjadi Rp1.939,1 triliun pada Mei 2025, meskipun pertumbuhan year-on-year mengalami akselerasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa basis perbandingan tahun sebelumnya mengalami kontraksi yang lebih besar, atau terdapat penyesuaian siklus yang terkait dengan momentum lebaran. Pola ini mengindikasikan adanya faktor musiman yang kuat dalam dinamika uang primer, dimana periode pasca lebaran biasanya ditandai dengan normalisasi kebutuhan likuiditas.
Ketiga, komposisi pertumbuhan uang primer menunjukkan keseimbangan antara uang kartal (10,1%) dan giro bank umum di BI (10,7%). Keseimbangan ini mengindikasikan bahwa ekspansi moneter tidak hanya terkonsentrasi pada satu komponen, melainkan tersebar secara relatif merata antara kebutuhan tunai masyarakat dan cadangan bank umum.
Dampak Sektoral pada Perekonomian
1. Sektor Perbankan dan Intermediasi Keuangan
Sektor perbankan merasakan dampak langsung dari pertumbuhan uang primer melalui peningkatan giro bank umum di Bank Indonesia sebesar 10,7%. Peningkatan ini memberikan ruang yang lebih besar bagi bank untuk melakukan intermediasi keuangan, meskipun data menunjukkan bahwa penyaluran kredit hanya tumbuh 8,5%. Disparitas ini mengindikasikan bahwa bank cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, kemungkinan sebagai respons terhadap kondisi ekonomi yang masih menghadapi ketidakpastian.
Fenomena wanprestasi dalam sektor perbankan, sebagaimana tercermin dalam kasus PT Bank Rakyat Indonesia, menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi sektor ini. Pertumbuhan uang primer yang tinggi memberikan likuiditas tambahan, namun tidak serta merta mengurangi risiko kredit yang dihadapi perbankan. Bank harus tetap melakukan analisis kredit yang ketat dan memberikan dukungan kepada debitur untuk mengurangi risiko wanprestasi, terutama mengingat kondisi ekonomi yang tidak stabil dan fluktuasi harga yang masih terjadi.
2. Sektor Riil dan Konsumsi Masyarakat
Pertumbuhan uang kartal sebesar 10,1% mencerminkan peningkatan aktivitas ekonomi riil dan konsumsi masyarakat. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki akses likuiditas yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan transaksi sehari-hari. Namun, transmisi ke sektor riil masih menghadapi hambatan, sebagaimana tercermin dalam perbedaan pertumbuhan antara uang primer dan uang beredar dalam arti luas.
Sektor perdagangan dan jasa kemungkinan merasakan dampak positif dari peningkatan uang kartal, terutama dalam mendukung transaksi retail dan aktivitas ekonomi skala kecil dan menengah. Peningkatan likuiditas ini dapat mendorong konsumsi domestik, meskipun efektivitasnya bergantung pada kepercayaan konsumen dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
3. Sektor Investasi dan Pasar Modal
Meskipun tidak secara langsung, pertumbuhan uang primer dapat mempengaruhi sektor investasi melalui efek pada suku bunga dan ekspektasi inflasi. Likuiditas yang lebih tinggi cenderung memberikan tekanan ke bawah pada suku bunga, yang dapat mendorong aktivitas investasi. Namun, disparitas antara pertumbuhan M0 dan M2 mengindikasikan bahwa transmisi ini belum optimal, sehingga dampak pada sektor investasi mungkin masih terbatas.
Anomali dalam data uang primer mengindikasikan perlunya penyesuaian strategi kebijakan moneter Bank Indonesia. Disparitas antara pertumbuhan M0 dan M2 menunjukkan adanya hambatan dalam transmisi kebijakan moneter yang perlu diatasi melalui instrumen kebijakan yang lebih targeted. BI perlu mempertimbangkan langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas transmisi moneter, termasuk melalui penyesuaian instrumen makroprudensial dan koordinasi yang lebih erat dengan sektor perbankan.
Prospek ke depan menunjukkan perlunya monitoring yang ketat terhadap perkembangan uang primer dan transmisinya ke ekonomi riil. Pertumbuhan yang tinggi pada level primer harus diikuti dengan peningkatan yang proporsional dalam penyaluran kredit dan aktivitas ekonomi riil untuk memastikan bahwa kebijakan moneter mencapai tujuannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perlu digarisbawahi, jika pertumbuhan uang primer Bank Indonesia sebesar 14,5% pada Mei 2025 mencerminkan dinamika kebijakan moneter yang kompleks dengan berbagai anomali struktural yang memerlukan perhatian khusus. Disparitas antara pertumbuhan M0 dan M2, penurunan nilai absolut meskipun pertumbuhan persentase meningkat, dan tantangan transmisi ke sektor riil mengindikasikan perlunya penyesuaian strategi kebijakan moneter. Dampak sektoral menunjukkan bahwa meskipun sektor perbankan memiliki likuiditas yang lebih baik, transmisi ke sektor riil masih menghadapi hambatan yang signifikan. Ke depan, efektivitas kebijakan moneter akan bergantung pada kemampuan BI dalam mengatasi hambatan transmisi dan memastikan bahwa pertumbuhan uang primer dapat mendorong aktivitas ekonomi riil yang berkelanjutan.