Kamis, Juli 10, 2025
spot_img
BerandaMediaPeredaran Uang Makin Seret, Apa Pelumasnya?

Peredaran Uang Makin Seret, Apa Pelumasnya?

Kondisi peredaran uang Indonesia pada periode April-Mei 2025 menunjukkan tekanan likuiditas yang signifikan dengan pertumbuhan Money Supply 2 (M2) yang melambat menjadi 5,2% year-on-year, mencerminkan tantangan ekonomi yang memerlukan intervensi kebijakan moneter yang tepat sasaran. Bank Indonesia telah merespons dengan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% dan mengimplementasikan serangkaian kebijakan liquidity injection senilai USD 4,9 miliar, khususnya untuk sektor perumahan. Analisis menunjukkan bahwa perlambatan peredaran uang ini berpotensi menciptakan efek deflasi dan melemahkan daya beli masyarakat, sementara kenaikan bunga simpanan dan perlambatan kredit dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Solusi komprehensif diperlukan melalui koordinasi kebijakan fiskal-moneter, penguatan sektor perbankan, dan stimulus targeted untuk sektor-sektor strategis guna memulihkan momentum ekonomi Indonesia.

Kondisi Peredaran Uang Indonesia April-Mei 2025

Data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan M2 Indonesia pada April 2025 mengalami perlambatan signifikan menjadi 5,2% year-on-year, turun dari 6,1% pada Maret 2025. Nilai absolut M2 mencapai Rp9.390 triliun, berkurang Rp46,7 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Perlambatan ini merupakan yang terendah sepanjang tahun 2025 dan mencerminkan kondisi likuiditas perekonomian yang semakin ketat. Komponen utama yang berkontribusi pada perlambatan ini adalah penurunan pertumbuhan uang beredar sempit (M1) dari 7,1% menjadi 6%, serta melambatnya pertumbuhan uang kuasi menjadi hanya 2,4%.

Kondisi ini diperkuat oleh data yang menunjukkan bahwa uang kartal di luar bank umum dan BPR hanya tumbuh 8,7% atau sebesar Rp1.025,3 triliun, merupakan pertumbuhan terendah sejak Februari 2025. Sebelumnya pada Maret, pertumbuhan komponen ini mencapai double digit 14,2%. Tabungan rupiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu juga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 6,5% menjadi hanya 5%, menandakan berkurangnya likuiditas masyarakat untuk kebutuhan transaksi sehari-hari.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan pada April 2025 mengalami perlambatan pertumbuhan menjadi 4,4% dari 4,7% pada bulan sebelumnya. Perlambatan ini disebabkan oleh kontraksi simpanan nasabah perorangan dan melambatnya pertumbuhan simpanan nasabah korporasi. Khususnya untuk deposito nasabah perorangan, terjadi kontraksi hingga 2,8%, lebih dalam dibandingkan kontraksi 1,3% pada Maret. Tabungan perorangan juga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 6,3% menjadi 4,5%.

Kondisi DPK yang melemah ini berdampak langsung pada penyaluran kredit perbankan. Outstanding kredit perbankan mencapai Rp7.866,5 triliun dengan pertumbuhan melambat menjadi 8,5% dari 8,7% pada Maret. Kredit korporasi tumbuh melambat dari 13,1% menjadi 12,6%, sementara kredit perorangan stagnan di level 4%. Meskipun demikian, kredit investasi menunjukkan tren positif dengan pertumbuhan 15,3%, lebih tinggi dari 12,6% pada bulan sebelumnya, terutama didorong oleh sektor pertambangan dan penggalian yang tumbuh 51,4% serta sektor pengangkutan dan komunikasi 25,7%.

Paradoks terjadi pada April 2025 dimana suku bunga simpanan perbankan justru meningkat di tengah tren penurunan bunga pasar. Suku bunga simpanan tenor 1 bulan naik dari 4,78% menjadi 4,84%. Sementara itu, suku bunga kredit eksisting tetap stabil di 9,19%, namun untuk kredit baru mengalami kenaikan signifikan 21 basis poin menjadi 9,63%. Kondisi ini menunjukkan tekanan pada margin perbankan yang harus menaikkan bunga simpanan untuk menarik dana namun berusaha mempertahankan kompetitivitas kredit.

Merespons kondisi ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% pada Januari 2025, menandai pergeseran kebijakan dari fokus pengendalian inflasi menuju stimulasi pertumbuhan ekonomi. Proyeksi dari United Overseas Bank menunjukkan kemungkinan dua penurunan suku bunga tambahan hingga pertengahan 2025, berpotensi menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,25% pada akhir tahun, meskipun risiko defisit fiskal yang diproyeksikan mencapai 2,9% dari PDB dapat mempengaruhi trajectory ini.

Dampak Negatif dari Pelambatan Monetari

Perlambatan peredaran uang yang berkelanjutan menciptakan risiko deflasi yang dapat memicu siklus ekonomi yang merugikan. Ketika jumlah uang beredar menurun, daya beli masyarakat tertekan, yang pada gilirannya mengurangi permintaan agregat. Kondisi ini dapat menciptakan ekspektasi deflasi dimana konsumen menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih lanjut, sehingga memperdalam kontraksi ekonomi. Data menunjukkan inflasi Indonesia pada 2024 hanya 1,57%, yang meskipun rendah, dalam konteks perlambatan M2 dapat mengarah pada territory deflasi yang berbahaya.

Penurunan daya beli ini juga tercermin dari kontraksi deposito perorangan sebesar 2,8% dan perlambatan pertumbuhan tabungan perorangan. Masyarakat cenderung mengurangi konsumsi dan investasi, yang berdampak pada sektor riil. Sektor retail, FMCG, dan jasa konsumen akan mengalami tekanan penjualan, yang pada akhirnya dapat memicu PHK dan peningkatan pengangguran. Efek multiplier dari penurunan konsumsi ini dapat menyebar ke seluruh rantai ekonomi, menciptakan kontraksi yang lebih luas.

Disisi yang lain, pelambatan pertumbuhan kredit dari 8,7% menjadi 8,5% menunjukkan tren yang mengkhawatirkan bagi pembiayaan sektor riil. Kredit merupakan “pelumas” perekonomian yang memfasilitasi investasi dan ekspansi bisnis. Ketika akses kredit terbatas, perusahaan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usaha, melakukan investasi produktif, atau bahkan memenuhi kebutuhan modal kerja. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan mengurangi daya saing industri nasional.

Khususnya untuk UKM yang sangat bergantung pada kredit perbankan, kontraksi ini dapat berdampak fatal. UKM seringkali tidak memiliki akses ke sumber pendanaan alternatif seperti obligasi atau equity financing. Ketika kredit bank menjadi lebih sulit diakses atau lebih mahal, banyak UKM yang terpaksa mengurangi operasi atau bahkan tutup usaha. Mengingat UKM menyerap sekitar 97% tenaga kerja di Indonesia, dampaknya terhadap employment sangat signifikan.

Kenaikan suku bunga simpanan di tengah stagnasi suku bunga kredit menciptakan tekanan margin pada sektor perbankan. Net Interest Margin (NIM) bank dapat terkompresi, yang berdampak pada profitabilitas dan kemampuan bank untuk menyalurkan kredit lebih lanjut. Bank-bank akan menjadi lebih selektif dalam penyaluran kredit, memperketat kriteria approval, dan menaikkan spread untuk mengkompensasi risiko. Kondisi ini menciptakan siklus negatif dimana akses kredit semakin terbatas.

Stabilitas sistem finansial juga dapat terancam jika kondisi ini berlanjut. Bank dengan exposure tinggi pada sektor yang sensitif terhadap siklus ekonomi dapat mengalami peningkatan NPL. Sektor property dan konstruksi, meskipun mendapat stimulus khusus dari BI, tetap rentan terhadap perlambatan ekonomi. Jika NPL meningkat, bank akan semakin konservatif dalam penyaluran kredit, memperburuk kondisi likuiditas ekonomi.

Kebijakan Bank Indonesia

1. Strategi Liquidity Injection dan Stimulus Sektoral

Bank Indonesia telah mengimplementasikan strategi comprehensive untuk mengatasi tekanan likuiditas melalui injection sebesar USD 4,9 miliar yang secara khusus menargetkan sektor perumahan. Kebijakan ini bertujuan mengekspansi pinjaman properti dari 23,2 triliun menjadi 80 triliun rupiah, sejalan dengan target Presiden Prabowo Subianto untuk membangun 3 juta rumah affordable annually. Strategi ini menunjukkan pendekatan targeted stimulus yang dapat menciptakan multiplier effect melalui peningkatan employment di sektor konstruksi dan konsumsi masyarakat.

Kebijakan penurunan reserve requirement untuk housing loans dan peningkatan loan-to-deposit ratio (LDR) dari 87,5% memberikan ruang manuver yang lebih besar bagi perbankan untuk menyalurkan kredit. Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada appetite risk bank dan kondisi fundamental ekonomi. Bank masih akan mempertimbangkan faktor kredit risiko dalam keputusan penyaluran, sehingga stimulus ini perlu dikombinasikan dengan guarantee scheme atau risk-sharing mechanism untuk memaksimalkan impact.

2. Koordinasi dengan Kebijakan Fiskal

Proyeksi defisit fiskal 2,9% dari PDB menunjukkan adanya ruang fiskal yang terbatas namun masih dapat dimanfaatkan untuk stimulus. Koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi crucial untuk memaksimalkan efektivitas stimulus. Pemerintah dapat menggunakan infrastructure spending dan social spending untuk menciptakan multiplier effect yang lebih besar dari monetary stimulus Bank Indonesia.

Kebijakan tax incentive untuk investasi dan konsumsi dapat melengkapi monetary easing Bank Indonesia. Program seperti tax holiday untuk sektor prioritas, accelerated depreciation untuk capital investment, dan consumer incentive untuk durables dapat membantu meningkatkan velocity of money dan mengatasi liquidity trap. Timing dan magnitude koordinasi ini akan menentukan keberhasilan upaya reflasi ekonomi Indonesia.

3. Fleksibilitas Pengelolaan Likuiditas Perbankan

Bank Indonesia telah meningkatkan rasio pendanaan luar negeri menjadi 35% dari modal efektif dan menurunkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial sebesar 100 basis poin menjadi 4% untuk bank konvensional dan 2,5% untuk bank syariah. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas lebih besar bagi perbankan dalam pengelolaan likuiditas dan diversifikasi sumber pendanaan. Akses ke funding luar negeri dapat mengurangi tekanan pada domestic deposit base dan memberikan ruang untuk ekspansi kredit.

Namun, peningkatan exposure terhadap foreign currency funding juga mengandung risiko currency mismatch dan volatilitas yang lebih tinggi. Bank Indonesia perlu mempertimbangkan hedging requirement dan stress testing untuk memastikan bahwa peningkatan fleksibilitas ini tidak mengorbankan stabilitas sistem finansial. Monitoring terhadap capital flow dan exchange rate volatility menjadi semakin penting dalam konteks kebijakan ini.

Solusi dan Rekomendasi

1. Penguatan Stimulus Moneter Terpadu

Bank Indonesia perlu mempertimbangkan additional monetary easing yang lebih agresif mengingat tingkat inflasi yang rendah memberikan ruang kebijakan yang memadai. Penurunan suku bunga acuan tambahan sebesar 50-75 basis poin dapat memberikan signal yang kuat kepada pasar tentang komitmen BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan proyeksi analis yang memperkirakan penurunan lebih lanjut menjadi 5,25% pada akhir 2025.

Selain itu, BI dapat mengimplementasikan quantitative easing yang lebih masif melalui pembelian government bonds di secondary market untuk meningkatkan liquidity injection. Program ini dapat dikombinasikan dengan forward guidance yang clear tentang target inflasi dan pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan expectation management yang positif. Credit easing program juga dapat diperluas dengan menurunkan risk weight untuk kredit pada sektor prioritas seperti UKM, green financing, dan infrastructure.

2. Reformasi Struktural Sektor Perbankan

Pemerintah dan otoritas finansial perlu mengimplementasikan structural reform untuk meningkatkan efisiensi intermediasi perbankan. Hal ini termasuk consolidation industry perbankan untuk menciptakan economies of scale, digital transformation untuk mengurangi operational cost, dan product innovation untuk meningkatkan financial inclusion. Program fintech integration dan open banking dapat meningkatkan competition dan efisiensi dalam penyaluran kredit.

Risk-sharing mechanism melalui government guarantee scheme untuk UKM dan sektor prioritas dapat mengurangi reluctance bank dalam penyaluran kredit. Program seperti KUR yang diperluas dengan coverage dan tenor yang lebih attractive dapat membantu mengatasi credit crunch. Credit bureau enhancement dan alternative scoring model menggunakan big data dapat membantu bank dalam better risk assessment dan memperluas customer base.

3. Diversifikasi dan Stimulus Fiskal Targeted

Pemerintah perlu mengimplementasikan fiscal stimulus yang targeted dan well-coordinated dengan monetary policy. Infrastructure spending yang diprioritaskan pada proyek dengan high multiplier effect seperti transportation, telecommunication, dan energy dapat menciptakan employment dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Program social spending seperti cash transfer dan subsidy untuk low-income household dapat meningkatkan consumption dan aggregate demand.

Tax policy reform dapat memberikan incentive yang lebih strong untuk investment dan consumption. Program seperti investment tax credit, R&D tax incentive, dan export tax incentive dapat mendorong productive investment. Consumer incentive untuk automotive, property, dan durables dapat membantu mengatasi perlambatan consumption. Timing dan magnitude stimulus ini perlu carefully calibrated untuk menghindari overheating ketika ekonomi mulai recover.

4. Strengthening Financial Market Development

Pengembangan capital market yang lebih dalam dapat mengurangi over-dependence pada bank financing. Program seperti corporate bond market development, SME bond issuance facilitation, dan sukuk market expansion dapat memberikan alternative financing source. Institutional investor development seperti pension fund dan insurance company dapat menciptakan long-term funding source untuk infrastructure dan real sector investment.

Financial innovation melalui blockchain technology, crowdfunding platform, dan peer-to-peer lending dapat meningkatkan financial inclusion dan provide alternative channel untuk financing. Regulatory sandbox untuk fintech innovation dapat accelerate adoption sambil maintaining prudential oversight. Cross-border capital market integration dapat attracts foreign investment dan diversify funding source.

Kondisi peredaran uang Indonesia pada periode April-Mei 2025 menunjukkan tantangan likuiditas yang significant dengan perlambatan pertumbuhan M2 menjadi 5,2% dan tekanan pada Dana Pihak Ketiga perbankan. Respons Bank Indonesia melalui penurunan suku bunga acuan dan liquidity injection sebesar USD 4,9 miliar merupakan langkah yang tepat namun memerlukan penguatan dan koordinasi yang lebih comprehensive. Dampak negatif dari kondisi ini termasuk risiko deflasi, kontraksi kredit, dan tekanan pada profitabilitas perbankan yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Solusi yang diperlukan mencakup penguatan stimulus moneter melalui additional rate cuts dan quantitative easing, reformasi struktural sektor perbankan untuk meningkatkan efisiensi intermediasi, dan implementasi fiscal stimulus yang targeted dan well-coordinated. Pengembangan capital market dan financial innovation juga crucial untuk mengurangi over-dependence pada bank financing dan menciptakan alternative funding source. Keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada coordination yang effective antara kebijakan moneter, fiskal, dan structural reform, serta monitoring yang close terhadap global economic condition dan domestic market response.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments