Berdasarkan perkembangan terkini, situasi perdagangan antara Amerika Serikat dan Uni Eropa berada pada titik kritis yang dapat memicu perang dagang berskala besar. Administrasi Presiden Donald Trump telah mengumumkan penerapan tarif dasar 10% terhadap hampir semua impor, dengan tarif khusus negara yang lebih tinggi untuk mitra dagang tertentu. Uni Eropa memperkirakan tarif impor AS saat ini berdampak pada produk ekspor senilai €380 miliar (sekitar Rp6.584 triliun), atau sekitar 70% dari total nilai ekspor UE ke AS.
Sebagai respons, Uni Eropa mengancam akan mengenakan tarif retaliasi terhadap berbagai impor AS dengan nilai total 100 miliar euro, termasuk tarif khusus untuk pesawat Boeing. Situasi ini mencerminkan pola yang serupa dengan perang dagang AS-China yang dimulai pada 2018, dimana kedua belah pihak saling membalas dengan pengenaan tarif yang semakin meningkat.
Perbandingan dengan Perang Dagang AS-China
Perang dagang AS-China yang dimulai pada 2018 memberikan pelajaran penting tentang dampak konflik tarif global. Konflik tersebut dipicu oleh defisit perdagangan AS, tuduhan manipulasi mata uang China, dan pencurian hak kekayaan intelektual. Dampak langsung dari perang dagang AS-China menunjukkan jika penurunan PDB AS sebesar 0,1-0,2% dan China 0,3-0,6%. Lalu, penurunan nilai ekspor China ke AS sebesar 25%, dengan kerugian USD 35 miliar pada paruh pertama 2019. Konsumen AS menanggung beban terberat melalui kenaikan harga barang.
Potensi Eskalasi USA-Uni Eropa
Konflik tarif potensial antara AS dan Uni Eropa memiliki karakteristik yang berbeda namun berpotensi sama merugikannya. Uni Eropa sebagai ekonomi terintegrasi dengan 27 negara anggota memiliki kemampuan koordinasi yang kuat dalam memberikan respons terhadap kebijakan perdagangan AS. Boeing, sebagai salah satu eksportir utama AS ke UE dengan nilai USD 35,3 miliar pada 2023, menjadi target utama retaliasi UE.
Dampak terhadap Ekonomi Indonesia
Indonesia berada dalam posisi yang rentan terhadap eskalasi perang dagang AS-Uni Eropa karena beberapa faktor, diantaranya Indonesia berada di peringkat 15 dari 20 negara dengan surplus perdagangan terhadap AS. Kedua, AS telah mengenakan tarif 32% pada impor dari Indonesia pada April 2025, meskipun sementara ditangguhkan selama 90 hari. Ketiga, total ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 27,9 miliar pada 2023, menjadikan AS sebagai tujuan ekspor terbesar kedua setelah China.
Perang tarif AS-Uni Eropa akan menciptakan ketidakpastian ekonomi global yang signifikan, mempengaruhi nilai tukar rupiah dan stabilitas pasar keuangan Indonesia. Bank Indonesia kemungkinan akan menghadapi tekanan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing, seperti yang terjadi selama perang dagang AS-China.
Rantai pasok global akan mengalami disrupsi yang berdampak pada sektor manufaktur dan digital Indonesia. Kenaikan biaya produksi dan logistik diperkirakan akan terjadi karena banyak komponen industri Indonesia yang masih bergantung pada impor dan ekspor antarnegara. Volatilitas harga komoditas yang semakin fluktuatif akan memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga barang dan gangguan pada rantai pasokan akan menyebabkan ketidakpastian di pasar global.
Ada beberapa sektor ekonomi Indonesia yang paling terdampak dengan adanya perang dagang yang dilakukan negara-negara super power ekonomi. Diantaranya sektor industri padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri tekstil merupakan salah satu sektor yang paling rentan terdampak. Sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi salah satu kontributor ekspor terbesar ke AS. Dengan tarif tambahan yang bisa mencapai 47%, produk tekstil Indonesia akan kehilangan daya saing dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh.
Kemudian industri alas kaki. Industri alas kaki Indonesia, terutama yang berbahan kulit, memiliki pasar kuat di AS. Kenaikan tarif akan membuat buyer AS beralih ke produsen dari negara lain yang mendapat preferensi tarif lebih rendah. Ekspor utama alas kaki Indonesia yang sebelumnya diarahkan ke Amerika Serikat dan Eropa akan menghadapi tekanan kompetitif yang signifikan.
Selain itu, sektor perikanan. industri perikanan, khususnya produk udang, menjadi fokus dampak tarif karena menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan berisiko terdampak langsung. Sektor ini sangat bergantung pada akses pasar ekspor yang kompetitif.
Sementara itu, ada industri elektronik dan otomotif. Untuk sub sektor elektronik ringan, produk komponen elektronik kecil, kabel, dan perangkat rumah tangga buatan Indonesia akan menghadapi kesulitan bersaing di pasar AS. Tarif tinggi membuat buyer AS mempertimbangkan ulang pembelian dari Indonesia.
Komponen otomotif, beberapa suku cadang dan aksesoris kendaraan asal Indonesia yang diekspor ke AS akan terdampak. Industri ini menghadapi tantangan karena persyaratan konten lokal (TKDN) sebesar 40% untuk kendaraan roda empat.
Lalu, disektor pertambangan dan komoditas, seperti nikel dan tembaga. Indonesia sebagai pengekspor nikel terbesar dunia yang menguasai 37,2% perdagangan global akan menghadapi dampak tidak langsung. Meskipun Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel kadar rendah untuk mendorong industri hilir, volatilitas pasar global akan mempengaruhi harga komoditas.
Untuk komoditas kelapa sawit. Minyak kelapa sawit, sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia, akan menghadapi tekanan dari kedua sisi. Uni Eropa telah menerapkan kebijakan pembatasan ekspor kelapa sawit melalui RED II, sementara AS berpotensi mengenakan tarif tambahan.
Strategi Mitigasi dan Peluang
Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi strategi diversifikasi pasar sebagai respons utama. Uni Eropa dan Australia menjadi alternatif tujuan ekspor utama untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Selain itu, strategi mitigasi yang dapat dilakukan mendorong Indonesia mempercepat finalisasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Perjanjian ini diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke UE hingga 50%. Kemudian, memberikan pembebasan tarif bagi 80% produk ekspor Indonesia, lantas yang terakhir adalah membuka akses pasar untuk komoditas seperti tekstil, ikan, alas kaki, dan CPO.
Peningkatan kerja sama regional juga menjadi salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Uni Eropa telah mengindikasikan keinginan untuk memperkuat hubungan perdagangan dengan Indonesia dan negara Asia lainnya sebagai respons terhadap tarif AS. Ini membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar di Eropa.
Potensi perang tarif AS-Uni Eropa akan menciptakan dampak signifikan bagi ekonomi Indonesia, terutama pada sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan perikanan. Meskipun menghadapi tantangan besar, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan diversifikasi pasar ekspor dan percepatan perjanjian perdagangan bilateral seperti IEU-CEPA.