Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 yang diproyeksikan mencapai 4,80 persen menunjukkan tantangan struktural yang berkelanjutan dalam mencapai target nasional sebesar 5,2 persen. Meski terdapat sedikit peningkatan dari realisasi kuartal I-2025 yang tercatat 4,87 persen, angka ini masih berada di bawah ambang batas 5 persen yang menjadi indikator kesehatan ekonomi yang diharapkan. Proyeksi Bank Mandiri yang memperkirakan pertumbuhan 4,92 persen untuk kuartal II-2025 juga mengonfirmasi tren pertumbuhan yang masih lemah, meskipun didukung oleh pembukaan blokir anggaran pemerintah dan faktor musiman Lebaran. Kondisi ini mencerminkan melemahnya mesin pertumbuhan struktural Indonesia yang ditandai dengan penurunan daya beli masyarakat, menyusutnya kelas menengah, dan lemahnya produktivitas sektoral yang berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dengan proyeksi yang konsisten berada di bawah target nasional. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) telah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 hanya akan mencapai 4,9 hingga 5 persen, yang secara signifikan berada di bawah target pemerintah sebesar 5,2 persen. Angka pertumbuhan 4,80 persen pada kuartal II-2025 ini menegaskan bahwa ekonomi Indonesia masih berjuang untuk keluar dari zona pertumbuhan rendah yang telah berlangsung sejak beberapa kuartal terakhir.
Data realisasi kuartal I-2025 yang mencapai 4,87 persen telah menunjukkan sinyal peringatan, dimana angka tersebut merupakan yang terlemah sejak 2022. Meskipun terdapat sedikit peningkatan proyeksi untuk kuartal II-2025, momentum ini belum cukup kuat untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional ke level yang diharapkan. Bank Mandiri dalam proyeksinya memperkirakan pertumbuhan 4,92 persen untuk kuartal II-2025, yang meskipun menunjukkan perbaikan marginal, masih mencerminkan tantangan struktural yang mendalam dalam perekonomian Indonesia.
Ketika dibandingkan dengan periode sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Pada triwulan IV 2024, ekonomi masih mampu tumbuh 5 persen, namun dampak faktor musiman seperti libur akhir tahun semakin mengecil. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber-sumber pertumbuhan tradisional yang selama ini menjadi andalan ekonomi domestik, seperti konsumsi rumah tangga pada periode tertentu, tidak lagi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Penurunan ini juga kontras dengan periode pra-pandemi dimana Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen secara konsisten. Bahkan ketika mengalami resesi pada masa pandemi COVID-19, Indonesia mampu pulih dengan relatif cepat, namun kini menghadapi tantangan yang berbeda dalam mempertahankan momentum pertumbuhan. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi saat ini bukan hanya bersifat siklical namun juga struktural yang memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa faktor kunci telah berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang masih berada di bawah target nasional pada kuartal II-2025. Faktor utama yang memberikan dukungan positif adalah belanja pemerintah, dimana Kementerian Keuangan telah membuka blokir anggaran pemerintah yang sebelumnya diblokir pada kuartal I-2025. Pembukaan blokir ini diharapkan dapat mendorong akselerasi spending dan belanja pemerintah yang akan memberikan stimulus terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi konsumsi rumah tangga, pertumbuhannya diperkirakan akan tetap stabil dengan dukungan dari faktor musiman periode Lebaran pada kuartal II-2025. Namun, stabilitas ini juga diiringi dengan proses normalisasi setelah Lebaran yang dapat mengurangi dampak positif dari konsumsi masyarakat. Adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter maupun fiskal juga memberikan optimisme bahwa pemerintah masih memiliki instrumen untuk menopang pertumbuhan ekonomi, meskipun efektivitasnya masih perlu dibuktikan dalam implementasi.
Laporan LPEM FEB UI mengidentifikasi beberapa tantangan struktural yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk penurunan daya beli masyarakat dan menyusutnya kelas menengah. Kondisi ini tercermin dari perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih memilih berlibur ke destinasi dekat selama libur akhir tahun, yang mencerminkan berkurangnya alokasi pengeluaran untuk kebutuhan tersier. Penurunan daya beli ini merupakan indikator yang mengkhawatirkan karena konsumsi rumah tangga selama ini menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Lemahnya produktivitas sektoral secara berkelanjutan juga menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi yang optimal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun aktivitas ekonomi terus berlangsung, efisiensi dan nilai tambah yang dihasilkan dari setiap sektor ekonomi belum mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini memerlukan investasi jangka panjang dalam teknologi, infrastruktur, dan pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan produktivitas nasional.
Selain tantangan domestik, ekonomi Indonesia juga menghadapi tekanan eksternal yang signifikan. Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor terhadap 90 negara dan kawasan telah memicu eskalasi perang dagang serta meningkatkan risiko tindakan balasan. Situasi ini dapat mempengaruhi arus perdagangan internasional dan investasi asing yang masuk ke Indonesia, yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketidakpastian geopolitik global dan volatilitas pasar keuangan internasional juga turut memberikan tekanan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Sebagai ekonomi yang terintegrasi dengan pasar global, Indonesia tidak dapat terlepas dari dinamika ekonomi internasional yang dapat mempengaruhi aliran modal, harga komoditas, dan permintaan ekspor.
Pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen pada kuartal II-2025 akan memberikan dampak yang tidak merata terhadap berbagai sektor ekonomi Indonesia. Sektor pertambangan menjadi salah satu yang paling terpukul, sebagaimana tercermin dari data kuartal I-2025 yang menunjukkan kontraksi sebesar -0,9 persen. Sektor ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan permintaan internasional, sehingga pertumbuhan ekonomi yang lemah akan semakin memperburuk kondisi sektor pertambangan.
Sektor manufaktur juga diperkirakan akan mengalami tekanan signifikan ketika pertumbuhan ekonomi berada di bawah ambang 5 persen. Industri manufaktur yang bergantung pada permintaan domestik akan terdampak oleh penurunan daya beli masyarakat dan menyusutnya kelas menengah. Selain itu, sektor ini juga menghadapi tantangan dari sisi pasokan akibat kebijakan proteksionis global yang dapat mengganggu rantai pasokan internasional.
Sektor jasa, yang merupakan kontributor terbesar terhadap PDB Indonesia, akan mengalami perlambatan pertumbuhan yang signifikan. Sub-sektor seperti transportasi, akomodasi, dan pariwisata akan terdampak oleh berkurangnya aktivitas ekonomi dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih konservatif. Penurunan alokasi pengeluaran untuk kebutuhan tersier akan secara langsung mempengaruhi sektor-sektor jasa yang bersifat non-esensial.
Sektor perdagangan, baik eceran maupun grosir, juga akan menghadapi tantangan dari sisi permintaan yang melemah. Meskipun faktor musiman Lebaran dapat memberikan dorongan temporer, efek normalisasi setelah periode tersebut dapat menyebabkan penurunan aktivitas perdagangan yang lebih signifikan. Hal ini akan berdampak pada tingkat employment dan pendapatan di sektor perdagangan yang menyerap banyak tenaga kerja.
Sektor konstruksi dan properti akan mengalami tekanan ganda dari perlambatan ekonomi dan kebijakan fiskal yang ketat. Meskipun pembukaan blokir anggaran pemerintah dapat memberikan stimulus untuk proyek-proyek infrastruktur, dampaknya mungkin tidak akan langsung terasa pada kuartal II-2025. Sektor properti residential akan terdampak oleh penurunan daya beli masyarakat dan akses kredit yang masih terbatas.
Investasi swasta di sektor konstruksi dan properti juga diperkirakan akan mengalami penurunan karena ketidakpastian ekonomi dan ekspektasi pertumbuhan yang rendah. Hal ini akan berdampak pada rantai pasokan industri bahan bangunan dan jasa-jasa terkait konstruksi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi employment dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi 4,80 persen pada kuartal II-2025 membawa implikasi yang luas terhadap kondisi ekonomi makro Indonesia. Dari sisi employment, pertumbuhan yang masih berada di bawah potensi ekonomi nasional akan membatasi penciptaan lapangan kerja baru dan dapat meningkatkan tingkat pengangguran. Kondisi ini akan semakin memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang terbatas.
Tingkat inflasi juga dapat terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi yang lemah, meskipun dalam arah yang kompleks. Di satu sisi, permintaan yang lemah dapat mengurangi tekanan inflasi, namun di sisi lain, kebijakan stimulus fiskal dan moneter yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dapat menciptakan tekanan inflasi jangka menengah. Bank Indonesia perlu mempertimbangkan trade-off ini dalam menentukan kebijakan suku bunga yang optimal.
Pertumbuhan ekonomi yang lemah akan berdampak negatif terhadap penerimaan pajak pemerintah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi neraca fiskal. Penurunan aktivitas ekonomi akan mengurangi basis pajak dari berbagai sektor, sementara di sisi lain pemerintah perlu meningkatkan pengeluaran untuk stimulus ekonomi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan defisit fiskal yang perlu dikelola dengan hati-hati untuk menjaga sustainability fiskal jangka panjang.
Kondisi ini juga dapat mempengaruhi rating kredit Indonesia dan akses terhadap pasar keuangan internasional. Meskipun Indonesia masih memiliki ruang fiskal yang memadai, pertumbuhan ekonomi yang konsisten di bawah target dapat menimbulkan kekhawatiran investor terhadap kemampuan Indonesia dalam mengelola utang dan mempertahankan pertumbuhan jangka panjang.
Sektor perbankan akan menghadapi tekanan dari perlambatan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai saluran transmisi. Permintaan kredit yang melemah dapat mengurangi pertumbuhan aset dan pendapatan bunga bank, sementara di sisi lain risiko kredit dapat meningkat akibat penurunan kemampuan bayar debitur. Kondisi ini memerlukan kehati-hatian yang lebih tinggi dalam manajemen risiko dan dapat mempengaruhi intermediasi keuangan.
Pasar modal Indonesia juga akan terpengaruh oleh sentimen negatif akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah. Valuasi saham perusahaan-perusahaan yang terdaftar dapat mengalami tekanan, terutama bagi perusahaan yang beroperasi di sektor-sektor yang sensitif terhadap siklus ekonomi. Hal ini dapat mempengaruhi akses perusahaan terhadap pendanaan melalui pasar modal dan investasi jangka panjang.
Gap antara realisasi pertumbuhan ekonomi 4,80 persen pada kuartal II-2025 dengan target pemerintah sebesar 5,2 persen mencerminkan tantangan yang signifikan dalam pencapaian sasaran ekonomi nasional. Perbedaan sebesar 0,4 poin persentase ini bukan hanya angka statistik, namun mencerminkan hilangnya potensi ekonomi yang setara dengan triliunan rupiah dalam terms of output dan pendapatan nasional. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) telah menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada triwulan-triwulan berikutnya.
Proyeksi LPEM FEB UI yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 hanya akan mencapai 4,9 hingga 5 persen juga mengindikasikan bahwa pencapaian target pemerintah akan sangat menantang. Hal ini memerlukan akselerasi reformasi struktural dan implementasi kebijakan yang lebih agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi ekonomi nasional dan melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
Pembukaan blokir anggaran pemerintah yang menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan kuartal II-2025 menunjukkan bahwa instrumen fiskal masih dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan ini perlu dievaluasi secara komprehensif untuk memastikan bahwa spending pemerintah dapat memberikan multiplier effect yang optimal terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Kebijakan moneter juga perlu disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang masih lemah. Ruang pelonggaran kebijakan moneter yang disebutkan oleh Bank Mandiri dapat dimanfaatkan untuk memberikan stimulus terhadap investasi dan konsumsi. Namun, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan dampak terhadap stabilitas nilai tukar dan inflasi dalam menentukan tingkat suku bunga yang optimal.
Ada beberapa poin kesimpulan dan rekomendasi yang dapat dilakukan terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 yang mencapai 4,80 persen. Bahwa hal ini menunjukkan tantangan struktural yang memerlukan respons kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi. Meskipun terdapat sedikit peningkatan dari kuartal sebelumnya, angka ini masih berada di bawah target nasional dan mencerminkan melemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Sektor-sektor yang paling terdampak dari pertumbuhan di bawah 5 persen meliputi pertambangan, manufaktur, jasa, dan konstruksi, yang memerlukan intervensi khusus untuk memulihkan momentum pertumbuhan.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diimplementasikan mencakup akselerasi program stimulus fiskal melalui peningkatan belanja modal dan infrastruktur, reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas sektoral, dan penguatan daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial yang tepat sasaran. Kebijakan moneter juga perlu disesuaikan untuk memberikan dukungan terhadap investasi dan konsumsi dengan tetap menjaga stabilitas makro ekonomi.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu melakukan transformasi struktural ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada faktor-faktor eksternal dan memperkuat resiliensi ekonomi domestik. Hal ini mencakup diversifikasi ekonomi, peningkatan nilai tambah industri, dan pengembangan sektor-sektor baru yang dapat menjadi mesin pertumbuhan masa depan. Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.