Fenomena viral marketing di Indonesia menjadi hal yang niscaya. Di Indonesia, TikTok telah menjadi platform vital untuk marketing dengan lebih dari 22 juta pengguna. Penelitian menunjukkan bahwa kredibilitas sumber merupakan dimensi electronic word of mouth (eWOM) yang paling signifikan dalam mempengaruhi keputusan pembelian konsumen (kontribusi 57,2%), diikuti oleh volume konten (46,5%) dan intensitas interaksi (37,8%).
Pasar influencer advertising di Asia Tenggara diproyeksikan mencapai nilai USD 693,70 juta pada 2024, dengan tingkat pertumbuhan tahunan 12,80% antara 2023-2027. Lebih dari 75% brand global mengalokasikan anggaran marketing mereka untuk influencer marketing.
Fenomena “jika tidak viral di media sosial, produk tidak akan laku” telah menciptakan paradoks dalam ekonomi digital Indonesia. Ada beberapa kasus konkrit yang bisa dijadikan contoh. Pertama, produk parfum Saff n Co. Penelitian terhadap parfum lokal Saff n Co menunjukkan bagaimana eWOM di TikTok dapat memperkuat persepsi konsumen terhadap produk melalui konten viral dan interaktif, terlepas dari kualitas produk sebenarnya. TikTok menciptakan ekosistem digital yang melibatkan pembentukan kepercayaan, validasi sosial, dan pengaruh identitas kelompok.
Kedua, kasus konkrit marketplace Shopee. Studi terhadap mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jambi menunjukkan bahwa viral marketing dan online customer review memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli konsumen di marketplace Shopee dengan kontribusi sebesar 53,2%. Setiap peningkatan dalam viral marketing diikuti dengan peningkatan minat beli, terlepas dari kualitas produk yang sebenarnya.
Dominasi viral marketing menciptakan dampak sistemik dan beberapa distorsi ekonomi. Pertama, misalokasi sumber daya. Perusahaan mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk marketing viral daripada pengembangan produk. Kedua, informasi asimetris. Konsumen membuat keputusan berdasarkan persepsi viral daripada informasi produk yang akurat. Ketiga, bias konfirmasi. Algoritma media sosial memperkuat filter bubble effect, dimana pengguna hanya menerima informasi yang sesuai preferensi mereka.
Ada beberapa studi kasus dan contoh konkret terkait konten viral dapat mengubah persepsi masyarakat. Pertama, kampanye No Buy Challenge 2025. Fenomena viral “No Buy Challenge 2025” di media sosial Indonesia menunjukkan bagaimana tren dapat menyebar tanpa evaluasi kritis terhadap dampaknya. Tagar #NoBuyChallenge telah digunakan hampir 50 juta kali di TikTok, mencerminkan bagaimana algoritma dapat memperkuat perilaku kolektif tanpa pertimbangan rasional.
Kedua, kasus kesenjangan sosial di media sosial. Tagar #kesenjangansosial menjadi viral di berbagai platform dengan puluhan ribu konten, menunjukkan bagaimana media sosial dapat mengemas isu serius menjadi konten entertainment. Hal ini mencerminkan bagaimana kompleksitas masalah sosial dapat disederhanakan menjadi konten viral yang mudah dikonsumsi namun tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Kasus-kasus konkret yang telah dianalisis menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya teoritis, tetapi sudah termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan digital masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tindakan preventif dan korektif perlu segera diimplementasikan sebelum dampaknya menjadi lebih luas dan merugikan. Dominasi viral marketing telah menciptakan ekonomi dimana persepsi sering kali lebih penting daripada kualitas.