Berbekal data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan pemberitaan media massa, gambaran ketenagakerjaan di Jawa Timur pada awal 2024 menunjukkan dinamika yang kompleks. Publikasi BPS Provinsi Jawa Timur Februari 2024 dan tabel‐tabel statistik yang menyertai data dari kabupaten seperti Surabaya, Pasuruan, Tulungagung, Gresik, serta Pamekasan, menyingkapkan bahwa di wilayah ini tingkat pengangguran terbuka (TPT) berkisar antara 1,6 persen hingga 6,5 persen, dengan perbedaan yang mencerminkan karakteristik lokal.
Sebagai contoh, Surabaya mencatat TPT sebesar 4,91 persen, sedangkan Kabupaten Gresik mencapai 6,45 persen, sementara Kabupaten Tulungagung menunjukkan kinerja yang lebih baik dengan TPT sekitar 4,12 persen. Data pendukung juga mengungkapkan bahwa persentase tenaga kerja formal di Jawa Timur berada di angka sekitar 38,5 persen, sebuah indikator yang memperlihatkan bahwa mayoritas pekerja masih terserap dalam sektor informal.
Secara nasional, angka ketenagakerjaan juga mengalami pergeseran yang menarik. Berdasarkan rilis BPS, pada Agustus 2024, jumlah angkatan kerja mencapai 152,11 juta jiwa, dengan 144,64 juta di antaranya terikat dalam kegiatan ekonomi sehingga menyisakan 7,47 juta pengangguran. Jika dibandingkan dengan Agustus 2023, di mana pengangguran tercatat sekitar 7,86 juta, terjadi penurunan net sebesar 390 ribu jiwa atau kira‑kira 5 persen.
Namun, di balik data makro tersebut tersimpan realitas gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian meresahkan. Laporan media massa mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terjadi sekitar 77.965 kasus PHK, naik sekitar 20,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Walaupun penyerapan kerja baru telah mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja—sehingga secara agregat angka pengangguran justru mengalami penurunan—fenomena PHK menimbulkan lapisan “pengangguran baru” yang tersembunyi. Jika tren kenaikan PHK ini berlanjut, misalnya meningkat sebesar 20 persen di tahun 2025, maka jumlah PHK diproyeksikan mencapai sekitar 93.600 kasus.
Angka inilah yang dapat dianggap sebagai “pengangguran baru” akibat goncangan struktural dalam pasar kerja, walaupun penyerapan kerja dalam skala nasional mampu menekan tingkat pengangguran secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, terdapat dua sisi yang perlu diuraikan. Di satu sisi, pertumbuhan angkatan kerja nasional yang mencapai peningkatan sekitar 2,9–3,0 persen per tahun telah diimbangi oleh penyerapan kerja yang bahkan lebih tinggi (naik sekitar 3,4 persen secara relatif), sehingga secara statistik terjadi penurunan netto pengangguran.
Di sisi lain, jumlah ribuan pekerja yang mengalami PHK secara individual menandakan adanya dinamika negatif di lapangan, yang meskipun terserap dalam perhitungan makro, tetap menyisakan luka sosial dan ekonomi yang harus diatasi.
Untuk meredam dampak negatif dari fenomena ini, beberapa langkah strategis disarankan, antara lain:
• Diversifikasi Sektor Ekonomi: Pengurangan ketergantungan pada sektor-sektor tertentu, misalnya manufaktur atau jasa yang rentan terhadap otomatisasi dapat membantu menyebarkan risiko dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor teknologi, energi terbarukan, dan ekonomi digital.
• Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan Vokasional: Menyediakan pelatihan keterampilan yang relevan dengan tuntutan industri masa depan akan memampukan tenaga kerja untuk beradaptasi. Program-program pelatihan berbasis kompetensi, dengan target peningkatan produktivitas minimal 10–15 persen, dapat mempercepat transisi pekerja dari sektor yang terdampak PHK ke sektor yang sedang berkembang.
• Perlindungan Sosial yang Inklusif: Membangun jaring pengaman bagi pekerja yang terdampak PHK—melalui asuransi pengangguran, program pelatihan ulang, dan bantuan sosial—akan memperkecil dampak sosial dari peristiwa PHK.
• Sinergi Kebijakan Antar Lembaga: Transparansi dan sinkronisasi data antar kementerian dan BPS harus ditingkatkan guna merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang tepat sasaran. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor dan mengoptimalkan penyerapan kerja di tingkat daerah, khususnya di Jawa Timur.
Secara keseluruhan, meskipun data makro menunjukkan penurunan pengangguran secara agregat, gelombang PHK yang mencapai hampir 78 ribu kasus pada 2024 dan proyeksinya yang berpotensi naik hingga hampir 94 ribu kasus pada 2025 mengingatkan bahwa transformasi struktural di pasar kerja belum usai. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, diharapkan sistem ketenagakerjaan Indonesia—termasuk di wilayah strategis seperti Jawa Timur—dapat menghadapi tantangan ini dan menciptakan masa depan yang lebih berkeadilan dan produktif.