Minggu sore, saya berkesempatan ngobrol panjang dengan seorang driver ojol (ojek online). Masih muda, keluarga kecil dan baru satu tahun menjalani profesi sebagai driver. Biasa mangkal di area Waru Sidoarjo. Sebelumnya, dia menjadi teknisi di sebuah sekolah dasar swasta di Surabaya. Tiga tahun bekerja di sana, kemudian resign.
Dia memulai kisahnya dengan cerita bahwa kadang keputusan untuk resign itu tidak masuk akal. Masih muda, jadi lebih sering mengambil sikap tanpa pertimbangan panjang.
“Mengapa sampeyan berani ambil risiko sebagai ojek, padahal ini spion kanan nggak ada?” saya bertanya agak detail, sambil kulihat rangka dashboard kanan sepeda motornya juga pecah penuh selotip.
“Iya, tadi pagi insiden. Tiba-tiba mobil logistik belok ke kiri dan menabrak sepeda motor saya,” jelasnya iba. Dia menambahkan pilihan ini juga ikhtiar untuk cari pekerjaan.
Insiden sepeda motornya pagi itu membuatnya menceritakan pengalaman, saat kejadian seorang kecelakaan satpam di sebuah sekolah swasta di Surabaya saat dalam perjalanan ke Sidoarjo.
Respons terkait kurang cepat dan korban tak segera mendapatkan pertolongan. Kondisi korban dengan luka yang cukup dalam dan makin melemah membuat para driver yang ada di-sekitar lokasi berinisiatif membawa ke RS terdekat. Korban pun akhirnya mendapatkan perawatan dengan baik. Meski, para driver yang menolong ini enggan menjadi saksi.
Kejadian itu membuatnya membandingkan kecepatan respons layanan publik satu kota dengan kota lainnya. Bahkan tiba-tiba ia teringat satu momen saat pelanggannya tidak puas karena layanan sebuah hotel. Dengan menyebutkan nama hotelnya, dan mengatakan pada saya agar tidak menggunakan hotel tersebut. Alasannya, menurut pelanggannya, kecewa karena harga yang ada di aplikasi online tidak sesuai dengan harga layanan yang harus dibayarkan. Harganya terpaut jauh.
Sebagai peneliti, rasa kepo juga saya dan memilih ojek online ini sebagai sumber “data”, karena banyak sekali pengalaman dan cerita saat bersinggungan dengan layanan. Episode perjalanannya bukan hanya seperti potongan gambar, tapi sebuah rangkaian video, yang menggambarkan bagaimana respons pelanggan atau customer dalam menceritakan hal baik dan buruk saat menggunakan produk atau layanan.
Cerita-cerita mereka dengan sisipan “bumbu”-nya merupakan fakta yang terus hadir, tentang kecepatan merekomendasikan atau sebaliknya. Cerita itu bergulir, baik dalam peran sebagai promoter maupun detractor. Terus mengalir dalam bingkai kekuatan word-of-mouth.
Aku akhiri obrolan ini dengan satu pertanyaan agar semua tak sekadar seperti curhatan. “Terakhir ya, mas, bukannya di ruas jalan ini, harus berkompetisi dengan opang (ojek pangkalan), ya. Ada garis batas yang jelas. Tapi mengapa sampeyan memilih mendekat, nggak takut diusir,” saya bertanya sambil bersiap jalan lagi.
Dia menjelaskan sambil tersenyum, menurutnya opang yang di sini, karena faktor usia, banyak yang memilih mengantarkan pelanggan jalur rute pendek. Sehingga mereka sering mengalihkan dan merekomendasikan ke ojol untuk ambil pelanggan yang datang kepada mereka, karena jaraknya jauh dan ongkosnya belum sesuai.
Dalam konteks pemasaran dan bisnis, bagi perusahaan, sering kali lebih mudah menemukan skor loyalitas pelanggan, dari hasil pengukuran suara pelanggan, berupa angka atau indeks terhadap produk dan layanan yang diberikan perusahaan. Namun apa dorongan utama pelanggan memberikan skor itu harus lebih diperdalam dan diperkaya dengan pendekatan depth interview.
Hasil riset juga menyatakan bahwa pelanggan sering kali lebih mudah menceritakan pengalaman yang mengecewakan daripada yang menyenangkan. Hal ini masih saja relevan dengan tulisan artikel HBR, tiga-belas tahun lalu, tentang customer experience: Stop Trying to Delight Your Customer yang merupakan hasil studi dari 75 ribu pelanggan yang berinteraksi dengan kontak layanan.
Pelanggan ingin hal yang mudah dan cepat, termasuk kecepatan memberikan solusi. Dan, yang paling harus kita ingat, dalam kompetisi selalu ada kolaborasi. Karena memenuhi kebutuhan pelanggan adalah kunci. Salam.
ditulis oleh: Unung Istopo Hartanto, peneliti senior enciety Business Consult