Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia menghadapi situasi sulit akibat perlambatan ekonomi global dan persaingan produk impor. Ekspor TPT Indonesia turun berturut-turut, sekitar 1,49 juta ton senilai USD 3,60 miliar pada 2023, sedangkan impor terus melonjak (2,19 juta ton senilai USD 8,94 miliar pada 2024.
Pemanfaatan kapasitas produksi sangat rendah hanya sekitar 45–50% dari total terpasang dan jumlah tenaga kerja sektor ini menurun drastis, sekitar 957.122 orang pada 2024, turun 7,5% yoy. Di samping itu, penerapan teknologi baru seperti cetakan digital, robotika, otomatisasi masih rendah. Laporan ini membahas latar belakang industri tekstil nasional, dampak ekonomi makro, pengaruh teknologi, kompetisi impor, serta data kuantitatif, dan mengusulkan rekomendasi strategis untuk meningkatkan daya saing hingga tahun 2025.
Sejak era kolonial dan pascakemerdekaan, industri tekstil di Indonesia dibangun untuk substitusi impor dan sebagai komoditas ekspor andalan. Pada masa kejayaannya, tekstil merupakan salah satu unggulan nonmigas, menyumbang devisa besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Kompas, industri TPT pernah memberikan kontribusi ekspor tertinggi ketiga dan termasuk sektor padat karya yang menyerap pekerja berpendidikan rendah.
Pada 2018-2019, nilai ekspor tekstil Indonesia mencapai belasan miliar dolar AS, namun ambruk menjadi sekitar US$5,85 miliar pada 2020 karena pandemi. Pengiriman ke Amerika Serikat, sekitar 56% pangsa pasar dan Jepang sempat mendominasi ekspor nasional sebelum 2022. Pandemi Covid-19 menghantam keras industri ini. Utilisasi pabrik sempat anjlok hingga 30% pada 2020, yang berdampak luas pada penurunan produksi dan ekspor serta lonjakan PHK. Meskipun utilisasi sempat pulih ke sekitar 80% pada 2021, trend positif sulit dipertahankan.
Jelang 2023, berbagai tantangan struktural masih melingkupi industri TPT, mulai dari kebijakan perdagangan hingga persaingan global. Kondisi finansial perusahaan banyak yang tertekan, rata-rata utilisasi pabrik 2023 dilaporkan hanya sekitar 45% akibat banjir barang impor murah. Secara keseluruhan, mengutip berkas.dpr.go.id, ada 21 pabrik tekstil telah tutup pada 2022-2023 hal ini karena kesulitan bertahan.
Perlambatan ekonomi global secara langsung menekan permintaan ekspor TPT Indonesia. Menurut pengamatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), gejolak ekonomi dunia menyebabkan turunnya pesanan ekspor dan investasi industri tekstil. Turunnya daya beli konsumen di Amerika, Eropa, dan beberapa negara lainnya membuat kuantitas ekspor Indonesia merosot. Di dalam negeri pun daya beli lokal tertekan akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi.
Dikutip dari kompas.id, rendahnya permintaan ekspor global dan pasar domestik yang “tertekan karena dibanjiri produk impor” (terutama dari Tiongkok) membuat dua pabrik besar di Semarang melakukan PHK massal sekitar 5.300 pekerja pada awal 2024. Fenomena ini meluas, serikat pekerja mencatat sejak 2020 hingga 2024 sekitar 62.000 pekerja TPT di seluruh Jawa mengalami PHK. Secara makro, meski pertumbuhan ekonomi nasional masih di kisaran 5% pada 2022, neraca perdagangan TPT melemah.
Surplus perdagangan TPT yang pernah mencapai USD 3,71 miliar di 2022 kini berubah menjadi defisit karena ekspor stagnan sementara impor meningkat tajam. Inflasi global dan kenaikan biaya energi memicu kenaikan ongkos produksi, menambah beban biaya bagi industri. Di tengah situasi ini, tingginya bunga kredit juga membatasi belanja modal perusahaan. Secara keseluruhan, industri TPT masih tekan akibat perlambatan dunia dan kondisi domestik yang kurang mendukung.
Pengaruh Perkembangan Teknologi terhadap Operasional
Revolusi industri 4.0 membawa peluang transformasi besar pada sektor tekstil global. Teknologi cetak tekstil digital (digital printing) memungkinkan pencetakan langsung pada kain (direct-to-fabric) dengan limbah produksi lebih rendah daripada metode konvensional. Otomatisasi dan robotika kini dapat menjalankan tugas padat karya (pemotongan kain, penjahitan) dengan kecepatan tinggi, mengurangi kesalahan manual dan mempercepat siklus produksi.
Penerapan kecerdasan buatan (AI) dan analitik data industri juga mulai diperkenalkan untuk memprediksi permintaan pasar, mengoptimalkan rantai pasokan, dan meningkatkan kualitas produk. Namun demikian, adopsi teknologi di industri tekstil Indonesia masih relatif rendah. Laporan IFG Progress (2025) menyebut hanya sekitar 4–5% perusahaan TPT lokal yang mengalokasikan dana untuk riset dan pengembangan produk sepanjang 2023. Investasi mesin dan robotika masih minim, terutama pada perusahaan menengah dan kecil. Padahal data survei menunjukkan usaha kecil di industri ini hanya menyumbang sekitar 0,01% pangsa output global karena minimnya inovasi teknologi.
Kekurangan sumber daya manusia (SDM) terampil juga menjadi kendala, sehingga penerapan solusi otomasi sering tertunda. Secara umum, meski potensi teknologi sudah mulai tersedia, industri TPT perlu mendorong inovasi (misalnya pemanfaatan mesin cetak digital, peralatan jahit robotik) agar operasi menjadi lebih efisien dan kompetitif di era 2025.
Disamping itu, persaingan produk impor menjadi tekanan utama bagi industri TPT domestik. Data BPS menunjukkan volume impor TPT Indonesia terus meningkat, pada 2024 mencapai 2,19 juta ton senilai USD 8,94 miliar, angka tersebut naik 12% volume dan 7% nilai terhadap 2023. Pangsa terbesar diisi oleh Tiongkok, bahan baku maupun produk siap pakai, disusul negara Asia lain seperti Bangladesh dan Vietnam. Masuknya produk impor murah ini membuat banyak produsen lokal menjual di bawah harga pokok, merusak struktur harga domestik.
Ristadi Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa banjir barang impor, termasuk pakaian bekas dari Tiongkok sebelum dilarang pemerintah, menekan pasar dalam negeri. Penurunan utilisasi pabrik dan pemutusan hubungan kerja masal pada 2022–2024 sebagian besar diakibatkan oleh ketidakmampuan menghadapi gempuran barang impor murah.
Surplus perdagangan TPT sebelumnya justru menipu karena nilai ekspor tinggi tetapi volume sangat kecil. Ketika banyak impor murah masuk tanpa penghalang, defisit perdagangan menurut nilai ikut terjadi. Peningkatan impor TPT ilegal juga dilaporkan, misalnya upaya penyelundupan pakaian secara tidak terdaftar yang menambah tekanan. Secara keseluruhan, persaingan dengan produk impor, baik legal maupun ilegal, terutama dari Tiongkok dan pemasok Asia lainnya, menggerus daya saing industri tekstil dalam negeri.
Ekspor TPT, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat, ekspor tekstil Indonesia 2023 mencapai sekitar 1,49 juta ton atau turun 2,43% yoy senilai sekitar USD 3,60 miliar atau turun 14,78% yoy. Pada 2024 volume ekspor naik tipis ke 1,56 juta ton atau tumbuh 4,91% yoy, tetapi nilai ekspornya sekitar USD 3,59 miliar, tetap turun 0,85% yoy. Setelah itu, Q1 2025 tercatat ekspor kain rajut-ke-AS senilai USD 17,4 juta dan total ekspor TPT Februari 2025 sekitar USD 1,02 miliar.
Impor TPT, sesuai impor 2024 sebesar 2,19 juta ton USD 8,94 miliar. Selain itu, Februari 2025 impor TPT seluruhnya mencapai USD 606,8 juta atau turun 20,74% m/m, di mana penurunan terbesar (-36,6%) terjadi pada impor dari China. Komposisi impor mencakup benang, kain tenun, kain rajut, dan produk jadi (termasuk pakaian bekas).
Terkait kapasitas & Utilisasi. Rata-rata utilisasi kapasitas pabrik tekstil pada 2023 hanya sekitar 45–50%, jauh di bawah kondisi normal. Banyak perusahaan berproduksi di bawah setengah kapasitas karena permintaan rendah. Kondisi ini juga menyebabkan beberapa perusahaan menjual di bawah biaya pokok (HPP) demi menjaga kelangsungan usaha. Lalu, untuk tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja sektor tekstil terus menurun.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan jumlah pekerja tekstil 2024 tinggal 957.122 orang (turun 7,5% yoy). Penurunan terutama terjadi sejak pandemi, total PHK selama 2020–2024 diperkirakan mencapai puluhan ribu orang (misalnya dua pabrik semarang-PHK 5.300 orang pada awal 2024). Sebelumnya, pada 2019 industri ini masih menyerap sekitar 2,8 juta orang.
Sedangkan untuk investasi & lainnya, Kemenperin menyebut realisasi investasi asing di sektor TPT naik 70,2% pada awal 2024 (USD 194,3 juta), dan total investasi meningkat sekitar 31,1% dari Rp29,92 triliun (2023) ke Rp39,21 triliun (2024). Indeks Kepercayaan Industri Tekstil sempat kembali ke zona ekspansi pada awal 2024 setelah kontraksi berbulan-bulan, menandakan optimisme terbatas pada pemulihan.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, ada beberapa rekomendasi strategi dan solusi yang dapat dilakukan. Diantaranya, dari sisi pembuat kebijakan, pemerintah dan pelaku industri perlu sinergi menjalankan langkah strategis seperti perkuat kebijakan proteksi Impor. Pemerintah perlu melanjutkan pengaturan ketat impor TPT, misalnya melalui Peraturan Mendag yang baru (Permendag No. 36/2023 dan Permendag No. 8/2024) untuk membatasi barang impor kecuali bahan baku esensial.
Penegakan hukum terhadap impor ilegal juga harus digalakkan. Dalam hal ini KSPN menyarankan pembatasan impor kecuali bahan baku serta pemberantasan penyelundupan. Langkah ini ditujukan menyeimbangkan perdagangan agar pasar domestik tidak dikuasai barang murah impor.
Strategi berikutnya adalah tingkatkan inovasi dan teknologi produksi. Perusahaan TPT wajib mempercepat adopsi teknologi manufaktur modern (digital printing, robotika pengolahan kain, otomatisasi) untuk memangkas biaya dan meningkatkan fleksibilitas produksi. Insentif fiskal dan fasilitas riset (misalnya dana litbang dan klaster inovasi) perlu diperkuat karena saat ini hanya 4–5% perusahaan yang berinvestasi dalam R&D. Kerja sama hulu-hilir juga harus ditingkatkan agar produsen tekstil dapat lebih mudah mendapatkan bahan baku dalam negeri bermutu tinggi (mengurangi ketergantungan impor).
Diversifikasi Pasar Ekspor. Pelaku industri harus mengembangkan pangsa pasar baru di luar Amerika dan Eropa. Kawasan Timur Tengah dan Asia Timur Tengah menawarkan potensi besar (pertumbuhan tahunan sekitar 7%). Kemenperin perlu mengintensifkan promosi produk TPT di negara-negara berkembang, memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas, dan mendukung pameran internasional. Contohnya, ekspor Indonesia ke Timur Tengah yang saat ini baru sekitar 5,4% dari total TPT harus ditingkatkan melalui dukungan logistik dan fasilitasi ekspor.
Optimalisasi Insentif dan Fasilitas Industri. Maksimalkan pemanfaatan fasilitas fiskal seperti Kawasan Berikat (bonded zone) dan insentif lain untuk industri TPT. Direktur Bea Cukai mencatat bahwa fasilitas Kawasan Berikat memainkan peran penting dalam mendukung industri tekstil nasional. Insentif serupa (misalnya dipercepatnya proses izin dan keringanan pajak impor bahan baku) perlu diperluas agar biaya produksi lokal dapat ditekan.
Peningkatan Kualitas SDM dan Efisiensi Operasional: Sektor padat karya ini harus meningkatkan kualitas tenaga kerjanya melalui pelatihan teknis (pengetahuan mesin modern, pengelolaan proses digital) serta alih fungsi pekerja terampil. Serikat dan asosiasi industri dapat merancang program sertifikasi dan kursus ketrampilan industri 4.0. Perguruan tinggi vokasi dan pelatihan pemerintah juga sebaiknya menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan otomasi tekstil. Penggunaan pekerja magang dan kolaborasi dengan sekolah kejuruan bisa menjadi opsi.
Kolaborasi Industri dan research and development (R&D). Penting bagi perusahaan tekstil bekerja sama dalam klaster atau konsorsium, terutama untuk riset desain dan pengembangan produk bernilai tambah tinggi. Pemerintah (Kemenperin/BRIN) dan asosiasi seperti API dapat mendirikan pusat inovasi tekstil untuk memacu product development. Misalnya, proyek bersama besar-besaran di bidang fashion berkelanjutan (eco-textile, smart fabric) akan membantu produk Indonesia naik kelas di pasaran global.
Dengan implementasi rekomendasi di atas, diharapkan pada 2025 industri tekstil Indonesia dapat meningkat daya saingnya. Kombinasi pembatasan impor, inovasi teknologi, dan penetrasi pasar baru akan memperkuat fundamental industri agar lebih tahan guncangan ekonomi global dan mengembalikan pertumbuhan yang berkelanjutan.