PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mengalami penurunan kinerja finansial yang signifikan pada tahun 2024, dengan laba bersih anjlok 81,57% menjadi Rp 980,8 miliar dari Rp 5,32 triliun pada tahun 2023. Pendapatan perusahaan juga turun 17,06% dari Rp 118,95 triliun menjadi Rp 98,65 triliun. Penurunan drastis ini terjadi di tengah maraknya peredaran rokok ilegal dan persaingan ketat dari brand rokok murah yang menggerus pangsa pasar perusahaan.
Kinerja finansial PT Gudang Garam pada tahun 2024 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pendapatan perusahaan tercatat Rp 98,65 triliun, turun signifikan 17,06% dari periode 2023 sebesar Rp 118,95 triliun. Penurunan ini merupakan yang pertama kali dalam enam tahun terakhir dimana pendapatan perusahaan jatuh di bawah Rp 100 triliun. Biaya pokok pendapatan memang turun menjadi Rp 89,27 triliun dari Rp 104,35 triliun, namun penurunan ini tidak sebanding dengan penurunan pendapatan. Akibatnya, laba bruto perusahaan terpangkas 35,7% dari Rp 14,59 triliun pada 2023 menjadi Rp 9,37 triliun pada 2024. Pendapatan GGRM pada 2024 sebagian besar masih berasal dari segmen sigaret kretek mesin (SKM) yang mencapai Rp 86,62 triliun, diikuti sigaret kretek tangan (SKT) sebesar Rp 9,36 triliun. Namun, penjualan SKM mengalami penurunan 9% dibandingkan tahun sebelumnya, mencerminkan tekanan kompetitif yang dihadapi perusahaan.
Tantangan dari Rokok Ilegal
Rokok ilegal telah menjadi ancaman serius bagi industri rokok legal di Indonesia, termasuk PT Gudang Garam. Berdasarkan survei, sekitar 28,12% responden mengonsumsi rokok ilegal, dengan total konsumsi mencapai 26,30% dari total konsumsi rokok nasional. Praktik rokok ilegal ini berdampak pada turunnya produksi industri hasil tembakau (IHT) legal, dengan utilisasi IHT menurun 16,08% hingga Juli 2024.
Rokok ilegal memiliki lima ciri utama: rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai palsu, rokok dengan pita cukai bekas pakai, rokok dengan pita cukai salah peruntukan, dan rokok dengan pita cukai salah personalisasi. Faktor-faktor yang mendorong peredaran rokok ilegal meliputi kenaikan tarif cukai yang tinggi, daya beli masyarakat yang menurun, dan lemahnya penegakan hukum. Pemerintah melalui Bea Cukai telah melakukan berbagai upaya preventif dan represif untuk memberantas rokok ilegal. Hingga 2024, Bea Cukai mencatat 9.014 penindakan dengan penyitaan 448,18 juta batang rokok senilai Rp 270,79 miliar. Namun, upaya ini belum sepenuhnya efektif mengingat peredaran rokok ilegal masih tinggi.
Persaingan dengan Brand Rokok Murah
Industri rokok Indonesia mengalami fenomena downtrading konsumen, dimana terjadi peralihan dari rokok premium ke rokok dengan harga lebih murah. Market share rokok murah meningkat sejak 2020, terutama dari produsen non-tier 1 yang memiliki tarif cukai lebih rendah. Kenaikan cukai yang tidak proporsional antar golongan rokok telah menciptakan disparitas harga yang mendorong konsumen beralih ke produk yang lebih terjangkau.
Beberapa brand rokok murah yang menjadi kompetitor PT Gudang Garam antara lain, pertama Wismilak Golden ARJA yang dibandrol Rp 8.000-9.000 per bungkus. Lalu ada brand Marlboro Crafted Authentic dengan haga Rp 8.000-10.000 per bungkus. Kemudian ada brand Minak Djinggo dengan harga Rp 10.000 per bungkus. Djarum 76 Madu Hitam dengan harga Rp 12.000-13.000 per bungkus, selain itu ada brand Kansas American Blend yang dibandrol Rp 11.000-12.000 per bungkus. Brand-brand ini menawarkan alternatif dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk premium PT Gudang Garam, sehingga menarik konsumen yang sensitif terhadap harga.
Dampak Jangka Panjang Jika Tren Berlanjut
Jika tren penurunan pendapatan berlanjut, PT Gudang Garam akan menghadapi beberapa risiko serius. Perusahaan yang merupakan kontributor besar penerimaan cukai negara dengan setoran Rp 70 triliun per tahun, dapat mengalami penurunan kapasitas produksi dan efisiensi operasional. Volatilitas saham GGRM yang sudah tinggi dapat semakin meningkat, mencerminkan ketidakpastian investor terhadap prospek perusahaan.
Industri rokok merupakan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, terutama di daerah-daerah sentra produksi tembakau. Penurunan produksi dapat mengancam keberlanjutan lapangan kerja, tidak hanya di pabrik rokok besar seperti PT Gudang Garam, tetapi juga di seluruh rantai pasok mulai dari petani tembakau hingga distributor.
Penurunan kinerja industri rokok legal akan berdampak langsung pada penerimaan cukai negara. Pada 2023, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp 213 triliun, namun masih di bawah target APBN sebesar Rp 227,21 triliun. Jika perusahaan besar seperti PT Gudang Garam terus mengalami penurunan, target penerimaan cukai akan semakin sulit tercapai.
Strategi Mitigasi dan Solusi
Pemerintah perlu memperkuat koordinasi antar lembaga dalam pemberantasan rokok ilegal. Implementasi teknologi digital excise stamp dapat meningkatkan transparansi dan memudahkan verifikasi produk legal. Sanksi yang lebih tegas terhadap pengedar rokok ilegal, dengan ancaman penjara 1-5 tahun dan denda 2-10 kali nilai cukai, perlu ditegakkan secara konsisten.
Struktur tarif cukai yang kompleks dan tidak proporsional perlu disederhanakan untuk mengurangi insentif peralihan ke rokok murah. Pemerintah dapat mempertimbangkan implementasi kebijakan harga minimum untuk melindungi industri legal dari persaingan tidak sehat.
PT Gudang Garam perlu mempercepat strategi diversifikasi bisnis, seperti yang telah dilakukan dengan investasi di sektor infrastruktur. Perusahaan juga dapat mengembangkan produk alternatif yang sesuai dengan tren kesehatan global, seperti produk tembakau yang dipanaskan atau produk bebas nikotin.
Diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara industri rokok legal dan pemerintah untuk mengembangkan strategi bersama menghadapi tantangan rokok ilegal. Program edukasi masyarakat tentang bahaya rokok ilegal dan pentingnya mendukung produk legal perlu diperkuat.
Penurunan pendapatan PT Gudang Garam merupakan refleksi dari tantangan struktural yang dihadapi industri rokok Indonesia. Kombinasi antara maraknya rokok ilegal dan persaingan brand murah telah menggerus posisi perusahaan di pasar. Tanpa intervensi yang tepat dari pemerintah dan adaptasi strategis dari perusahaan, tren ini dapat berlanjut dan mengancam keberlanjutan industri rokok legal serta penerimaan negara dari sektor cukai. Pendekatan holistik yang melibatkan penguatan penegakan hukum, reformasi kebijakan cukai, dan inovasi produk menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing industri rokok legal di Indonesia.