Kamis, Juli 10, 2025
spot_img
BerandaBisnisPerkembangan Industri Fintech P2P Lending Terbendung Kredit Macet, Ini Solusinya

Perkembangan Industri Fintech P2P Lending Terbendung Kredit Macet, Ini Solusinya

Industri financial technology peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak diperkenalkan, namun belakangan ini beberapa perusahaan mulai berguguran karena berbagai kendala. Sejak beroperasi pada 2017, total pinjaman yang disalurkan P2P lending di Indonesia telah mencapai Rp950 triliun dengan lebih dari 135 juta peminjam. Namun, tantangan operasional, regulasi, dan masalah kredit macet telah menyebabkan sejumlah platform terpaksa menghentikan operasinya.

Industri P2P lending di Indonesia menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Per September 2024, outstanding pinjaman mencapai Rp74,48 triliun, meningkat 33,73% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini menunjukkan potensi besar sektor fintech dalam pasar keuangan Indonesia. Sejak beroperasi pada 2017, total pinjaman yang disalurkan P2P lending telah mencapai angka yang sangat mengesankan yaitu Rp950 triliun dengan melayani lebih dari 135 juta peminjam di seluruh Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa P2P lending telah menjadi alternatif pembiayaan yang signifikan di luar sistem perbankan konvensional.

Salah satu peran penting fintech P2P lending adalah meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Platform-platform ini memberikan akses pembiayaan kepada segmen masyarakat yang selama ini unbankable atau tidak terlayani oleh perbankan konvensional. Khususnya bagi pelaku UMKM yang kesulitan mendapatkan akses ke pembiayaan konvensional, fintech P2P lending menjadi solusi alternatif yang lebih mudah diakses. Hal ini sejalan dengan tujuan dari pengembangan fintech yaitu untuk menjangkau masyarakat yang belum memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan melalui bank.

Memasuki tahun 2025, jumlah fintech penyedia pinjaman tunai legal yang berizin dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersisa sebanyak 96 nama. Jumlah ini terus mengalami penurunan karena beberapa perusahaan mengembalikan izin usaha mereka, seperti PT Ringan Teknologi Indonesia yang baru-baru ini menghentikan operasinya. Meski demikian, industri ini tetap menjadi salah satu sektor finansial yang memiliki pertumbuhan cukup pesat meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam beberapa tahun terakhir.

Kendala dan Tantangan dalam Industri Fintech P2P Lending

Perusahaan P2P lending di Indonesia menghadapi beberapa kendala internal yang signifikan. Salah satu masalah utama adalah kerugian operasional yang terus membengkak, seperti yang dialami PT Ringan Teknologi Indonesia yang memutuskan mengembalikan izin usahanya ke OJK setelah melakukan evaluasi internal terkait proyeksi kerugian yang akan terus berlanjut. Sistem penilaian kredit (credit scoring) yang kurang andal juga menjadi kendala serius dalam industri ini. Menurut pengamat ekonomi digital, sistem scoring kredit saat ini belum mampu menghasilkan skor yang valid untuk menggambarkan kemampuan bayar calon peminjam secara akurat.

Perusahaan cenderung mengutamakan kecepatan penyaluran pembiayaan tanpa memberikan perhatian memadai pada kualitas calon peminjam, yang pada akhirnya berkontribusi pada tingginya angka gagal bayar. Selain itu, beberapa perusahaan juga kesulitan memenuhi ketentuan permodalan terkait ekuitas minimum dan pemenuhan jumlah direksi seperti yang dialami oleh Jembatan Emas yang akhirnya mengembalikan izin usahanya.

Sejak tahun 2020, OJK membekukan pemberian izin baru untuk fintech P2P lending. Kebijakan ini diterapkan sebagai bagian dari upaya penataan industri yang tengah diinisiasi oleh OJK. Meskipun jumlah platform yang beroperasi semakin berkurang, hingga Mei 2025, OJK belum membuka kembali keran perizinan untuk fintech lending baru. Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas PVML OJK, menyatakan bahwa pembukaan izin baru nantinya akan diberikan khusus kepada P2P lending atau Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi (LPBBTI) sektor produktif dan UMKM.

Tantangan regulasi lainnya berkaitan dengan kepatuhan terhadap persyaratan operasional yang ketat. Misalnya, platform P2P lending wajib memenuhi ketentuan permodalan dan tata kelola perusahaan yang ditetapkan OJK, termasuk persyaratan ekuitas minimum dan jumlah direksi.

Kredit macet menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi industri P2P lending di Indonesia. Rasio Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) yang tinggi menunjukkan adanya masalah serius dalam pengelolaan risiko kredit. Menurut pengamat ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, akar permasalahan gagal bayar pada fintech P2P lending terletak pada sistem credit scoring yang belum mampu menghasilkan skor valid untuk menggambarkan kemampuan bayar peminjam.

Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada operasional perusahaan tetapi juga pada kepercayaan pemberi pinjaman (lender). Ketika terjadi gagal bayar, para lender akan merasa dirugikan karena dananya terancam tidak kembali, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan terhadap industri ini secara keseluruhan.

Kasus PT Ringan Teknologi Indonesia menjadi salah satu contoh nyata bagaimana perusahaan P2P lending menghadapi tantangan signifikan yang berujung pada penutupan operasi. Perusahaan ini memilih mengembalikan izin usahanya kepada OJK setelah evaluasi internal menunjukkan proyeksi kerugian yang akan terus berlanjut jika tetap beroperasi. Contoh lainnya adalah PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas) yang mengajukan permohonan pengembalian izin usaha karena belum dapat mengimplementasikan ketentuan permodalan terkait ekuitas minimum dan pemenuhan jumlah Direksi.

PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala) juga mengembalikan izin usahanya, namun dengan alasan berbeda. Pengembalian izin tersebut merupakan langkah strategis pemegang saham untuk melakukan sentralisasi kegiatan usaha LPBBTI pada satu entitas, mengingat grup pemegang saham dari perusahaan tersebut memiliki dua entitas yang menjalankan kegiatan usaha LPBBTI.

Dampak penutupan beberapa perusahaan P2P lending berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan konsumen pada industri ini secara keseluruhan. Masyarakat mungkin menjadi lebih skeptis untuk menggunakan layanan P2P lending ketika melihat satu per satu platform berguguran. Namun, tindakan tegas OJK dalam melakukan pengawasan dan memastikan proses likuidasi perusahaan yang tutup berjalan dengan baik juga dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi konsumen dan menjaga integritas industri.

OJK memastikan bahwa perusahaan yang mengembalikan izin usaha wajib melaksanakan beberapa kewajiban, termasuk menghentikan kegiatan usaha, melakukan rapat umum pemegang saham dengan agenda pembubaran badan hukum dan pembentukan tim likuidasi, serta menyelesaikan hak dan kewajiban kepada konsumen dan pihak ketiga.

Baca juga: 
1. Tips Atasi Masalah Bank Titil, Pegadaian Kecil, dan Pinjaman Online
2. Prospek dan Tantangan Sektor Jasa Keuangan

Peran Regulasi dan Pengawasan OJK

Sejak tahun 2020, OJK telah membekukan pemberian izin baru untuk perusahaan fintech P2P lending. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya penataan industri yang tengah diinisiasi oleh OJK untuk memastikan bahwa hanya perusahaan yang benar-benar layak yang beroperasi dalam industri ini. Meskipun jumlah platform P2P lending terus berkurang, hingga Mei 2025, OJK belum membuka kembali pendaftaran untuk izin baru.

Agusman dari OJK menyatakan bahwa ketika pembukaan izin baru dilakukan nantinya, prioritas akan diberikan kepada P2P lending atau LPBBTI yang fokus pada sektor produktif dan UMKM. Hal ini menunjukkan upaya OJK untuk mengarahkan industri fintech agar lebih berkontribusi pada sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi riil.

Evaluasi efektivitas dari regulasi saat ini perlu dilakukan. Meskipun OJK telah menerapkan berbagai regulasi untuk mengawasi industri P2P lending, masih terdapat tantangan dalam implementasinya. Regulasi yang ketat terkait permodalan dan tata kelola perusahaan terbukti sulit dipenuhi oleh beberapa pemain, seperti yang dialami oleh Jembatan Emas yang kesulitan memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan jumlah direksi.

OJK terus melakukan pemantauan ketat terhadap perusahaan yang mengembalikan izin usaha untuk memastikan perlindungan konsumen. Pengawasan meliputi memastikan perusahaan menghentikan kegiatan usaha, melakukan pembubaran badan hukum secara resmi, dan menyelesaikan semua kewajiban kepada konsumen dan pihak ketiga.

Salah satu solusi utama untuk mengatasi tingginya angka gagal bayar adalah perbaikan sistem credit scoring. Perusahaan P2P lending perlu mengembangkan model penilaian kredit yang lebih akurat dan komprehensif, dengan memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan machine learning untuk menganalisis berbagai data peminjam. Integrasi data alternatif seperti riwayat transaksi digital, data media sosial, dan perilaku peminjam secara online dapat memberikan gambaran lebih holistik tentang kelayakan kredit calon peminjam.

Kolaborasi dengan lembaga finansial lain dan berbagi data credit scoring (dengan tetap memperhatikan privasi) dapat membantu membangun basis data yang lebih kuat untuk evaluasi risiko kredit. Investasi dalam teknologi analitik data besar (big data analytics) juga akan memungkinkan perusahaan untuk memprediksi perilaku pembayaran dengan lebih akurat.

Perusahaan P2P lending perlu mengembangkan strategi pengelolaan risiko yang lebih ketat, termasuk diversifikasi portofolio pinjaman untuk mengurangi risiko konsentrasi. Penetapan batas maksimum pinjaman berdasarkan profil risiko peminjam dapat membantu mengurangi potensi kerugian akibat gagal bayar. Pembentukan cadangan kerugian pinjaman yang memadai juga penting untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayar.

Implementasi sistem peringatan dini (early warning system) untuk mengidentifikasi peminjam yang berpotensi mengalami kesulitan pembayaran akan memungkinkan perusahaan untuk mengambil tindakan preventif sebelum terjadi gagal bayar. Perusahaan juga perlu memperkuat proses verifikasi identitas dan kemampuan finansial peminjam untuk mencegah penipuan.

Untuk mengatasi kendala terkait permodalan, perusahaan P2P lending perlu mempersiapkan strategi penguatan modal jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan melalui pencarian investor strategis yang tidak hanya memberikan suntikan dana tetapi juga nilai tambah lain seperti jaringan, teknologi, atau keahlian industri. Perusahaan juga perlu mengoptimalkan struktur biaya operasional untuk mengurangi kerugian dan mencapai titik impas lebih cepat.

Penguatan tata kelola perusahaan melalui perekrutan direksi dan komisaris yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko, teknologi finansial, dan kepatuhan regulasi juga krusial. Implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan kepercayaan investor dan regulator.

Inovasi produk dan layanan dapat menjadi strategi untuk mendiversifikasi sumber pendapatan dan mengurangi risiko. Pengembangan produk pembiayaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan spesifik segmen pasar tertentu, seperti UMKM, dapat membuka peluang pasar baru. Integrasi dengan ekosistem digital lain seperti e-commerce, platform pembayaran, atau marketplace juga dapat menciptakan sinergi dan meningkatkan nilai tambah bagi pengguna.

Fokus pada sektor produktif dan UMKM, sejalan dengan arah kebijakan OJK, dapat menjadi strategi untuk mendapatkan dukungan regulasi dan mengurangi risiko gagal bayar dibandingkan dengan pinjaman konsumtif. Penerapan teknologi blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan transaksi juga dapat menjadi inovasi yang meningkatkan kepercayaan pengguna.

Dapat disimpulkan, jika industri fintech P2P lending di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan dan memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan inklusi keuangan. Namun, berbagai kendala internal dan eksternal telah menyebabkan beberapa perusahaan terpaksa menghentikan operasinya. Akar permasalahan utama meliputi sistem credit scoring yang belum optimal, kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan tata kelola, serta tingginya angka gagal bayar.

Untuk memperkuat industri ini, diperlukan upaya perbaikan sistem credit scoring, penguatan strategi pengelolaan risiko, penguatan permodalan dan tata kelola, serta inovasi produk dan layanan. Kolaborasi antara pelaku industri, regulator, dan ekosistem digital lainnya juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan berkelanjutan industri fintech P2P lending di Indonesia. Dengan implementasi solusi-solusi ini, diharapkan industri fintech P2P lending dapat kembali tumbuh secara sehat dan berkelanjutan, serta terus berkontribusi pada peningkatan inklusi keuangan di Indonesia.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments