Berdasarkan data resmi yang dirilis BPS pada 1 Juli 2025, kinerja perdagangan Indonesia menunjukkan kondisi yang paradoksal surplus perdagangan mencapai rekor tertinggi sejak Juli 2024 dengan USD 4,9 miliar, namun sektor manufaktur mengalami kontraksi berkelanjutan dengan PMI di level 47,4. Situasi ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan struktural dalam ekonomi perdagangan Indonesia yang memerlukan intervensi kebijakan komprehensif.
Indonesia berhasil mencatatkan pencapaian positif surplus perdagangan USD 4,9 miliar pada Mei 2025, dengan ekspor mencapai USD 25,3 miliar dan impor USD 20,4 miliar. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding surplus Mei 2024 yang hanya USD 2,9 miliar.
Secara kumulatif Januari-April 2025, Indonesia mencatat ekspor USD 87,36 miliar (naik 6,65%) dan impor USD 76,29 miliar (naik 6,27%), menghasilkan surplus USD 11,07 miliar.
Jika ditinjau dari performa sektoral, sektor yang mengalami pertumbuhan kuat adalah produk pertanian dan manufaktur yang mengalami pertumbuhan ekspor yang signifikan. Sedangkan industri pengolahan mencatatkan nilai ekspor USD 68,84 miliar atau naik 16,08%. Sedangkan untuk ekspor besi dan baja mencapai USD 8,81 miliar atau naik 6,62%. Lalu, untuk minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya naik 20% menjadi USD 7,05 miliar.
Sementara itu, tercatat ada beberapa sektor yang mengalami penurunan. Salah satunya adalah ekspor batubara yang turun mencapai 19,74% menjadi USD 8,17 miliar. Selain itu, untuk produk tambang mengalami penurunan tajam.
Ada beberapa poin identifikasi terkait masalah struktural. Pertama kontraksi di sektor manufaktur. Tercatat PMI manufaktur Indonesia berada di level 47,4 pada Mei 2025, menunjukkan kontraksi berkelanjutan sejak April dengan level 46,7. Hal ini disebabkan oleh penurunan pesanan baru terbesar dalam hampir 4 tahun. Selain itu kondisi pasar yang stagnan dan permintaan yang lemah. Kemudian dampak tarif AS yang menurunkan pesanan ekspor.
Kedua, dampak tarif resiprokal AS 32%. Amerika Serikat menerapkan tarif resiprokal 32% terhadap Indonesia sejak April 2025. Kebijakan ini terdiri dari tiga skema, pertama tarif basar baru 10% untuk hampir semua mitra dagang AS. Kedua, tarif resiprokal berdasarkan surplus perdagangan. Ketiga adalah tarif sektoral untuk industri spesifik. Sektor yang paling terdampak meliputi tekstil, alas kaki, elektronik, minyak kelapa sawit, karet, dan furnitur.
Ketiga, ketergantungan pada komoditas primer. Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah yang rentan terhadap volatilitas harga global. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan struktural terhadap shock eksternal dan ketidakstabilan pendapatan devisa.
Keempat, tantangan nilai tukar dan makroekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah memiliki korelasi negatif dengan ekspor (r = -0,612) dan korelasi positif dengan impor (r = 0,704). Depresiasi rupiah dapat mendorong ekspor namun juga meningkatkan biaya impor bahan baku.
Strategi Solusi Komprehensif
1. Diversifikasi Pasar Ekspor
Pengurangan ketergantungan pada pasar tradisional. Indonesia perlu mengakselerasi diversifikasi ke kawasan ASEAN, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengurangi risiko dari perang dagang. Strategi ini meliputi, percepatan negosiasi Free Trade Agreement (FTA) bilateral dan multilateral. Kemudian, peningkatan pangsa ekspor ke negara-negara ASEAN dari 7% saat ini. Selain itu, eksplorasi pasar emerging di Afrika dan Amerika Latin.
Diplomasi perdagangan aktif. Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi dibanding retaliasi terhadap tarif AS. Langkah diplomatik mencakup, proposal peningkatan impor dari AS hingga USD 19 miliar, termasuk USD 10 miliar untuk energi. Selain itu negosiasi pengurangan atau penghapusan tarif melalui dialog bilateral. Kemudian, promosi Indonesia sebagai mitra dagang yang bertanggung jawab.
2. Peningkatan Nilai Tambah Produk
Hilirisasi dan industrialisasi dapat dilakukan sebagai strategi. Target ekspor Indonesia 2025 sebesar USD 294,45 miliar atau naik 7,1% menuntut fokus pada peningkatan nilai tambah. Strategi meliputi, hilirisasi komoditas utama, seperti kelapa sawit, karet, mineral, dan produk pertanian. Kemudian, investasi dalam teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas produk. Kemudian, pengembangan industri hilir berbasis teknologi ramah lingkungan.
Strategi berikutnya adalah sertifikasi dan standar internasional. Implementasi sertifikasi internasional seperti Forest Stewardship Council (FSC) untuk produk kehutanan, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk kelapa sawit dan sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
3. Revitalisasi Sektor Manufaktur
Dukungan untuk industri padat karya dapat dilakukan lewat pemerintah yang dapat memberikan insentif khusus untuk industri tekstil, alas kaki, dan elektronik yang rentan terhadap tarif AS. Langkah-langkah meliputi intensif tersebut meliputi insentif fiskal dan kemudahan investasi, modernisasi teknologi produksi untuk meningkatkan efisiensi dan penguatan rantai pasokan domestik untuk mengurangi ketergantungan impor.
Selain itu, pengembangan kapasitas SDM juga dapat dilakukan. Investasi dalam pengembangan sumber daya manusia melalui program pelatihan teknologi dan keterampilan, kerjasama dengan institusi pendidikan untuk R&D dan Transfer teknologi melalui kemitraan strategis.
4. Stabilisasi dan Manajemen Risiko
Manajemen risiko komoditas. Implementasi strategi hedging dan diversifikasi untuk mengelola volatilitas harga komoditas dengan cara pengembangan bursa komoditas yang lebih likuid, kontrak jangka panjang dengan pembeli internasional dan diversifikasi portfolio ekspor untuk mengurangi konsentrasi risiko.
Kemudian, penguatan posisi nilai tukar juga dapat dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pengelolaan cadangan devisa yang optimal dan kebijakan moneter yang mendukung daya saing ekspor.
5. Dukungan untuk UMKM
Akses pasar dan pembiayaan menjadi salah satu kendalam pelaku UMKM. Untuk menjawab tantangan tersebut dapat dilakukan dengan cara program khusus untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam ekspor. Contohnya, fasilitasi akses ke pasar internasional, skema pembiayaan ekspor dengan bunga lunak dan platform digital untuk pemasaran produk UMKM.
Kemudian, peningkatan kapasitas produksi dapat digalakkan lewat sertifikasi kualitas untuk produk UMKM, pelatihan manajemen ekspor-impor dan pembentukan klaster industri untuk efisiensi.
Tercatat, ada beberapa rekomendasi kebijakan prioritas. Untuk jangka pendek (2025-2026), dapat dilakukan dengan resolusi tarif AS. Kemudian finalisasi negosiasi untuk mengurangi tarif dari 32% melalui kerjasama investasi energi. Lalu, stabilisasi manufaktur dengan melakukan program stimulus untuk industri yang terdampak tarif dan yang terakhir adalah diversifikasi ekspor dengan jalan percepatan FTA dengan 3-5 negara prioritas.
Untuk rekomendasi jangka menengah (2026-2028), hilirisasi massal dengan target 60% ekspor berupa produk olahan dapat dilakukan. Selain itu, digitalisasi perdagangan lewat platform terintegrasi untuk administrasi ekspor-impor dapat diberlakukan. Lalu, pengembangan hub regional yang dapat dilakukan dengan memposisikan Indonesia sebagai pusat distribusi Asia Tenggara juga menjadi rekomendasi jangka menengah yang solutif.
Kemudian, rekomendasi jangka panjang (2028-2030). Pertama, ekonomi berkelanjutan yang dapat diimplikasikan dengan mulai mentransisi ke ekspor berbasis teknologi hijau. Selanjutnya adalah inovasi dan R&D dengan target 2% PDB untuk investasi riset dan pengembangan. Terakhir adalah integrasi rantai nilai global dengan cara berpartisipasi aktif dalam Global Value Chain.
Secara garis besar, kinerja ekspor-impor Indonesia periode Mei 2025 menunjukkan dualitas yang mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukkan lewat surplus perdagangan yang tinggi di satu sisi, namun kontraksi manufaktur di sisi lain. Tantangan utama berupa tarif AS 32%, ketergantungan pada komoditas primer, dan lemahnya permintaan global memerlukan respons kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi.
Solusi strategis harus berfokus pada tiga pilar utama: diversifikasi pasar ekspor, peningkatan nilai tambah produk, dan revitalisasi sektor manufaktur. Keberhasilan implementasi strategi ini akan menentukan kemampuan Indonesia mempertahankan posisinya sebagai kekuatan ekonomi regional dan mencapai target ekspor USD 294,45 miliar pada 2025.
Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat mengubah tantangan perang dagang global menjadi peluang untuk memperkuat struktur ekonomi yang lebih resilient dan kompetitif di pasar internasional.