Pada 2020, PDRB Jawa Timur mencatat kontraksi tajam –2,33 persen, terparah sejak 2010, sebelum rebound kuat di 2021–2022 dan stabilisasi moderat 4,95 persen di 2023. Sektor Manufaktur tercatat 30,5 persen, Perdagangan & Reparasi tercatat mencapai 18,9 persen, dan Pertanian tercatat 11,0 persen. Ketiga sektor itu tetap menjadi pilar utama. Sementara fluktuasi triwulanan IV kerap menunjukkan pola kontraksi musiman.
PDRB per kapita Jawa Timur pun menanjak dari Rp 59,02 juta pada 2019 menjadi Rp 71,12 juta di 2023, meski riilnya naik lebih moderat dari Rp 41,5 juta ke Rp 44,4 juta. Memasuki 2025, ketidakpastian global, dari fluktuasi harga komoditas hingga risiko resesi, menggelayuti prospek pertumbuhan, menuntut strategi adaptif agar Jawa Timur tidak kembali terjerembab.
Tercatat, ada beberapa anomali historis pada data PDRB Jawa Timur. Pada 2020, PDRB Jawa Timur merosot –2,33 persen akibat dampak pandemi COVID‑19, bahkan triwulan II sempat terkontraksi hingga –2,33 persen. Rebound terjadi pada 2021 (+3,56 persen) dan melaju pesat 2022 (+5,34 persen), level tertinggi lebih dari satu dekade.
Triwulanan, kontraksi quarter‑to‑quarter di IV 2019 (–1,95 persen) dan IV 2020 (–1,13 persen) menegaskan pola musiman, sebelum pertumbuhan tipis IV 2021 (+0,07 persen) dan kontraksi kembali di IV 2022 (–0,71 persen) serta IV 2023 (–0,89 persen).
Struktur dan Pilar Ekonomi Jawa Timur dapat tergambarkan lewat struktur PDRB 2023, yang menunjukkan Industri Pengolahan menyumbang 30,54 persen, Perdagangan & Reparasi 18,91 persen, dan Pertanian, Kehutanan, Perikanan 11,04 persen.
Jika digambarkan secara detail, ada beberapa komponen sub sektor yang menjadi pilar. Di antaranya di sektor pertanian, ada komoditas padi, palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan. Disektor manufaktur, ada sub sektor makanan & minuman, tekstil, kimia, elektronik dan otomotif. Di sektor perdagangan, ada grosir, eceran, reparasi kendaraan. Sementara di sektor transportasi, ada sub sektor darat, laut, udara, rel kereta api, pergudangan, pos & kurir. Kelima sektor ini secara konsisten menjadi pilar basis ekonomi Jawa Timur.
Tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari PDRB per kapita nominal Jawa Timur meningkat dari Rp 59,02 juta (2019) ke Rp 71,12 juta (2023), tumbuh 20,5 persen dalam lima tahun. PDRB per kapita riil (harga konstan 2010) naik dari Rp 41,51 juta ke Rp 44,42 juta, mencerminkan pertumbuhan riil +4,19 persen pada 2023. Meskipun demikian, disparitas antar wilayah dan strata ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah, karena dinamika harga dominan membentuk PDRB.
Sementara itu, Bank Indonesia memproyeksikan inflasi 2025 sebesar 2,1 persen dan pertumbuhan nasional 4,8 persen, sedikit di bawah target awal, sambil menahan suku bunga 5,75 persen untuk menopang rupiah. Pasar menanti kejelasan kebijakan moneter, di mana kemungkinan pemotongan BI‑Rate 25 bps pada kuartal kedua tergantung dinamika nilai tukar dan tekanan fiskal. Ditingkat global, IMF dan pemerintah memeringatkan risiko resesi di beberapa kawasan utama yang berpotensi menekan ekspor Jawa Timur, terutama komoditas nikel dan F&B.
Ekspor nonmigas Indonesia melonjak di Februari 2025, khususnya kelapa sawit dan kendaraan bermotor, namun importasi energi AS diperkirakan naik signifikan guna meredam tarif 32 persen yang diancam AS.
Indikator awal 2025, IHSG sempat terkoreksi hingga 6.300 pada Februari, level terendah sejak 2021, mencerminkan sentimen berhati‑hati investor domestik. Probabilitas resesi Indonesia diperkirakan di bawah 5 persen, menandakan pertumbuhan masih kuat dibanding regional. Prompt Manufacturing Index (PMI) menunjukkan ekspansi, didorong meningkatnya pesanan, walau ketidakpastian pasokan global tetap tinggi.
Strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi ketidakpastian, OJK menyebut normalisasi suku bunga AS dapat memperlambat aliran investasi asing, sehingga perusahaan Jawa Timur perlu strategi hedge dan diversifikasi pasar. Pelaku usaha diimbau memperkuat digitalisasi, efisiensi rantai pasok, dan inovasi produk untuk merespons gejolak permintaan global. Kolaborasi pemerintah dan swasta dalam proyek infrastruktur dan kelistrikan (smelter, tol, bandara) diharapkan memperkuat daya saing regional.
Jawa Timur pernah terjungkal pada 2020, namun berhasil bangkit hingga 2022 sebelum menyeimbangkan diri di 2023. Pilar manufaktur, perdagangan, dan pertanian tetap kokoh, mendukung kenaikan PDRB per kapita yang menunjukkan peningkatan kesejahteraan.
Namun, 2025 dipenuhi ketidakpastian, suku bunga tinggi, fluktuasi rupiah, risiko resesi global, serta persaingan tarif AS. Adaptasi strategis digitalisasi, diversifikasi pasar, dan sinergi infrastruktur, menjadi kunci agar Jawa Timur tidak terperosok kembali dalam anomali ekonomi.