Kamis, Juli 10, 2025
spot_img
BerandaMediaDialog Dagang AS-China, Penguatan Bursa Saham Asia dan Efeknya Buat Indonesia

Dialog Dagang AS-China, Penguatan Bursa Saham Asia dan Efeknya Buat Indonesia

Pasar saham Asia diperkirakan akan mengalami penguatan pada hari Senin, 9 Juni 2025, seiring dengan optimisme investor menjelang dialog dagang antara Amerika Serikat dan China yang dijadwalkan berlangsung hari ini. Momentum positif ini didorong oleh ekspektasi perbaikan hubungan dagang kedua negara adidaya ekonomi dunia tersebut, setelah serangkaian negosiasi sebelumnya menunjukkan kemajuan substansial. Bagi Indonesia, perkembangan ini membawa implikasi signifikan terhadap prospek ekonomi domestik, terutama dalam konteks proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 yang diprediksi berada di bawah 5% oleh berbagai lembaga internasional. Dengan dukungan kebijakan moneter akomodatif Bank Indonesia yang baru saja menurunkan BI-Rate menjadi 5,50%, Indonesia berpotensi memanfaatkan momentum positif hubungan dagang AS-China untuk mendorong pemulihan ekonomi dan menarik investasi asing.

Kondisi Pasar Saham Asia Menjelang Dialog Dagang AS-China

Sentimen pasar saham Asia pada awal perdagangan Senin, 9 Juni 2025, menunjukkan tren positif yang kuat seiring dengan antisipasi investor terhadap dialog dagang AS-China yang akan berlangsung hari ini. Indikator futures untuk Hong Kong Hang Seng menunjukkan proyeksi kenaikan moderat ke level 23,801, naik dari penutupan sebelumnya di 23,792,54. Sementara itu, indeks Nikkei 225 Jepang juga diperkirakan akan membuka dengan nada positif, dengan kontrak futures di Chicago diperdagangkan pada level 37,975 dan di Osaka pada 37,980, dibandingkan dengan nilai penutupan Jumat sebesar 37,741,61.

Optimisme pasar ini didukung oleh laporan yang menunjukkan bahwa ketegangan perdagangan mulai mereda, dengan China yang dilaporkan telah mengeluarkan izin sementara untuk ekspor elemen tanah jarang, sementara Boeing Co. telah memulai pengiriman pesawat komersial ke negara Asia tersebut. Perkembangan ini mengindikasikan adanya kemajuan konkret dalam normalisasi hubungan perdagangan bilateral, yang memberikan sinyal positif bagi stabilitas ekonomi global dan regional.

Data ekonomi China yang akan dirilis, termasuk indeks harga konsumen dan produsen untuk bulan Mei, juga menjadi fokus perhatian investor. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan harga konsumen sebesar 0,2% year-on-year, sementara Indeks Harga Produsen (PPI) diperkirakan turun 3,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Rilisan data ini akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi ekonomi China dan potensi dampaknya terhadap kebijakan perdagangan dengan AS.

Momentum Hubungan Dagang AS-China

Hubungan perdagangan AS-China telah mengalami dinamika yang kompleks sepanjang tahun 2025, dengan serangkaian negosiasi yang menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi ketegangan bilateral. Pada tanggal 12 Mei 2025, pertemuan antara pejabat tinggi kedua negara di Jenewa menghasilkan kesepakatan sementara yang disambut positif oleh pasar global. Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dan perwakilan perdagangan internasional Li Chenggang dalam perundingan pertama yang diketahui sejak pengumuman “Liberation Day” Trump.

Kesepakatan yang dicapai pada pertengahan Mei 2025 mencakup pengurangan tarif impor secara signifikan untuk periode 90 hari. Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif impor terhadap barang-barang China menjadi 30% dari sebelumnya 145%, sementara China akan menurunkan bea masuk barang-barang Amerika menjadi 10% dari 125%. Meskipun bersifat sementara, kesepakatan ini memberikan ruang bernapas bagi kedua ekonomi dan menciptakan momentum positif untuk negosiasi lebih lanjut.

Dampak dari kesepakatan sementara ini langsung terasa di pasar regional, khususnya di Asia. Saham-saham Asia mengalami reli setelah pengumuman perundingan yang “substantif” di akhir pekan, memicu harapan bahwa kedua belah pihak akan mengurangi perang tarif yang telah mengguncang pasar global dan memicu kekhawatiran resesi. Pasar Hong Kong naik lebih dari 1%, sementara Shanghai juga menikmati minat beli yang sehat. Perkembangan ini menunjukkan sensitivitas tinggi pasar Asia terhadap dinamika hubungan perdagangan AS-China, mengingat kedua negara merupakan mitra dagang utama bagi sebagian besar ekonomi Asia.

Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia

Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara merasakan dampak langsung dari perbaikan hubungan perdagangan AS-China. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Jakarta menguat secara signifikan setelah libur panjang, naik 147,08 poin atau 2,15% menjadi 6.979,88 pada pembukaan perdagangan 14 Mei 2025. Indeks LQ45 yang melacak 45 saham terdepan juga naik 21,71 poin atau 2,84% menjadi 787,08. Kenaikan ini menunjukkan respons positif pasar modal Indonesia terhadap stabilisasi hubungan perdagangan global.

Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menganalisis bahwa kesepakatan AS-China mendorong respons pasar yang positif. Meskipun dampaknya masih bersifat sementara dan kesepakatan perdagangan itu sendiri masih temporer, respons pasar cukup positif dengan penguatan IHSG lebih dari 1% atau sekitar 96 poin pada pembukaan perdagangan. Namun, Pardede menekankan bahwa efek dari kesepakatan ini hanya sementara, karena masih banyak isu lain yang tersisa dalam negosiasi perdagangan AS-China, termasuk persaingan teknologi dan rantai pasokan global.

Bank Indonesia juga telah mengambil langkah proaktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Rapat Dewan Gubernur 20-21 Mei 2025. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 yang rendah dan terkendali dalam sasaran 2,5±1%, upaya mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya, serta untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter akomodatif ini diharapkan dapat mengoptimalkan dampak positif dari stabilisasi perdagangan global terhadap ekonomi domestik.

Proyeksi dan Prospek Ekonomi Indonesia

Meskipun momentum positif dari dialog dagang AS-China memberikan optimisme, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 masih menghadapi tantangan signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat pada kuartal pertama 2025, hanya mencapai 4,87% secara tahunan. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal pertama 2025 dengan harga berlaku adalah Rp5.665,9 triliun, sementara PDB dengan harga konstan adalah Rp3.264,5 triliun.

Berbagai lembaga internasional telah memberikan proyeksi yang cukup konservatif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,7% pada tahun 2025 dan 2026, turun dari estimasi Januari sebesar 5,1%. Proyeksi yang termasuk dalam World Economic Outlook April 2025 ini juga mencatat bahwa ekonomi Asia yang sedang berkembang, termasuk negara-negara ASEAN, termasuk yang paling terdampak oleh tarif baru AS.

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan Indonesia sebesar 4,7% pada 2025, 4,8% pada 2026, dan 5% pada 2027. Dalam Macro Poverty Outlook April 2025, bank tersebut menyoroti perbaikan dalam angka kemiskinan dan pengangguran tetapi menunjukkan bahwa laju penciptaan lapangan kerja kelas menengah masih lambat. Bank Dunia juga memperingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat menyebabkan arus keluar modal dan tekanan pada rupiah, yang berpotensi mempengaruhi investasi dan pertumbuhan.

Sementara itu, Moody’s Investors Service memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang stabil untuk Indonesia, rata-rata sekitar 5% pada 2025 dan 2026. Outlook ini didukung oleh konsumsi rumah tangga yang kuat dan investasi. Proyeksi Moody’s yang relatif lebih optimis dibandingkan IMF dan Bank Dunia menunjukkan adanya variasi dalam penilaian risiko dan peluang ekonomi Indonesia.

Dapat digarisbawahi, jika dialog dagang AS-China pada 9 Juni 2025 membawa momentum positif yang signifikan bagi pasar saham Asia, termasuk Indonesia, dengan ekspektasi penguatan bursa regional yang didorong oleh optimisme perbaikan hubungan bilateral kedua negara adidaya ekonomi dunia. Kesepakatan sementara yang telah dicapai sebelumnya, termasuk pengurangan tarif yang substansial, telah memberikan dampak langsung terhadap kinerja pasar modal Indonesia dengan kenaikan IHSG sebesar 2,15% dan respons positif investor.

Namun, prospek ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 masih menghadapi tantangan struktural yang memerlukan perhatian serius. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah 5% dari berbagai lembaga internasional menunjukkan perlunya strategi komprehensif untuk memanfaatkan momentum positif hubungan dagang global. Kebijakan moneter akomodatif Bank Indonesia dengan penurunan BI-Rate menjadi 5,50% memberikan ruang fiskal yang lebih luas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ke depan, Indonesia perlu mengoptimalkan manfaat dari stabilisasi hubungan dagang AS-China melalui diversifikasi ekspor, peningkatan daya saing industri, dan percepatan investasi infrastruktur. Meskipun dampak kesepakatan dagang masih bersifat sementara, momentum ini dapat dimanfaatkan untuk menarik investasi asing dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasokan global. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan implementasi reformasi struktural yang konsisten, Indonesia memiliki potensi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dan berkelanjutan di tengah dinamika perdagangan global yang terus berkembang.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments