Toyota Industries Corp merupakan salah satu pilar penting dalam konglomerasi Toyota Group, yang saat ini sedang mengevaluasi proposal akuisisi senilai 6 triliun Yen Jepang (JPY) atau sekitar USD 42 miliar, yang diprakarsai oleh Akio Toyoda, Ketua Toyota Motor. Langkah ini berpotensi mengubah lanskap kepemilikan grup otomotif terbesar di Jepang sekaligus memengaruhi strategi global mereka, termasuk di pasar otomotif Indonesia yang sedang mengalami penurunan penjualan sebesar 5,1% pada kuartal I-2025. Artikel ini mengkaji implikasi struktural, operasional, dan pasar dari rencana ini.
Proposal buyout ini diajukan oleh konsorsium yang dipimpin Akio Toyoda, keturunan pendiri Toyota Motor, dengan tujuan mengambil alih saham publik Toyota Industries dan mengubahnya menjadi perusahaan tertutup. Nilai transaksi JPY 6 triliun menjadikannya salah satu akuisisi terbesar dalam sejarah korporasi Jepang, setara dengan 25% kapitalisasi pasar Toyota Motor per April 2025. Mekanisme tender offer akan melibatkan kendaraan tujuan khusus (SPV) yang didanai oleh Toyota Motor, lembaga keuangan, dan investasi pribadi Akio Toyoda.
Pengambilalihan ini bertujuan menyederhanakan struktur kepemilikan silang yang selama ini dikritik investor. Toyota Motor memegang 23,5% saham Toyota Industries, sementara Toyota Industries memiliki 9,1% saham Toyota Motor. Skema ini dianggap menghambat transparansi tata kelola dan efisiensi operasional. Dengan mengambil alih penuh, Toyoda berupaya memusatkan pengambilan keputusan untuk mempercepat transformasi elektrifikasi dan otonomi kendaraan.
Akuisisi ini akan meningkatkan kepemilikan keluarga Toyoda dari 1,2% menjadi sekitar 34% melalui kepemilikan langsung di SPV. Meski demikian, struktur ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan, mengingat Toyota Industries merupakan pemasok utama komponen mesin konvensional dan hybrid—sektor yang sedang tertekan oleh peralihan global ke kendaraan listrik baterai (BEV).
Rencana ini telah memicu kekhawatiran mengenai perlindungan pemegang saham minoritas. Harga tender offer yang diusulkan kurang lebih mencapai JPY 15.000 per saham) hanya mencerminkan premium 12% dari harga pra-pengumuman, jauh di bawah rata-rata premium 30% dalam akuisisi perusahaan Jepang. Komite khusus Toyota Industries sedang mengevaluasi keadilan harga dengan bantuan penasihat independen.
Terdapat tren penurunan penjualan 2024-2025. Mejuruk pada data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penurunan penjualan ritel mobil sebesar 6,8% pada Maret 2025 (yoy) dan penurunan kumulatif 17,1% periode Januari-Agustus 2024. Faktor utamanya meliputi kenaikan suku bunga BI dari 5,75% menjadi 6,5% pada Q4-2024. Depresiasi rupiah yang meningkatkan harga suku cadang impor. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke 4,8% pada Q1-2025.
Dominasi Toyota dalam Pasar Indonesia. Meski terjadi kontraksi pasar, Toyota tetap memimpin dengan 31,7% pangsa penjualan wholesales (22.476 unit) dan 32% penjualan ritel (24.514 unit) pada Maret 2025. Namun, penurunan 5,1% penjualan wholesales Toyota dibanding Maret 2024 mengindikasikan tekanan pada model konvensional seperti Avanza dan Kijang Innova.
Keterkaitan Buyout dengan Penurunan Penjualan Mobil Nasional
Dampak tidak langsung melalui rantai pasokan. Sebagai pemasok utama komponen mesin dan transmisi untuk Toyota Indonesia, konsolidasi Toyota Industries berpotensi mengganggu rantai pasokan jangka pendek. Restrukturisasi internal pascabuyout mungkin menyebabkan realokasi produksi komponen ke pasar prioritas seperti AS dan Jepang, yang sedang agresif dalam transisi ke BEV.
Ada pergeseran prioritas investasi global. Akuisisi ini mungkin mengalihkan modal Toyota Motor dari ekspansi pasar emerging ke modernisasi pabrik di Jepang. Padahal, Indonesia merupakan basis produksi Low-Cost Green Car (LCGC) dan kendaraan ramah lingkungan untuk ASEAN. Penundaan investasi di Karawang Plant bisa memperlambat peluncuran model hybrid baru seperti Yaris Cross Hybrid.
Implikasi Strategis bagi Toyota di Indonesia
Tekanan untuk Akselerasi Elektrifikasi. Dengan konsolidasi kepemilikan, Toyota Motor mungkin mendorong divisi Indonesia untuk mempercepat produksi kendaraan listrik. Namun, fasilitas baterai dan motor listrik di Indonesia masih bergantung pada teknologi BYD dan CATL. Ketergantungan ini berisiko mengurangi margin keuntungan di tengah persaingan harga dengan Wuling dan Hyundai.
Potensi Restrukturisasi Jaringan Dealer. Model kontrol dealer Toyota di Jepang yang ketat (via sistem royalty dan insentif performa) mungkin diadopsi di Indonesia untuk meningkatkan efisiensi. Namun, langkah ini berisiko mengurangi fleksibilitas dealer dalam menanggapi preferensi konsumen lokal, seperti permintaan tinggi terhadap fitur hiburan dalam mobil MPV.
Ada beberapa proyeksi yang dapat dilakukan terkait skenario pasar Indonesia pada Tahun 2025-2026. Kontraksi lanjutan pasar konvensional. Penjualan LCGC diperkirakan turun 8-10% akibat kenaikan pajak barang mewah. Pertumbuhan segmen hybrid. Diperkirakan meningkat 15% dengan peluncuran Corolla Cross Hybrid. Persaingan ketat di BEV. Dominasi BYD dan Wuling mungkin mengurangi pangsa Toyota di segmen kendaraan listrik murah.
Selain itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan. Insentif fiskal. Pemerintah perlu merevisi PP No. 74/2021 untuk memasukkan hybrid dalam kriteria kendaraan rendah emisi. Kolaborasi baterai. Toyota Indonesia harus mempercepat joint venture dengan LG Energy Solution untuk mengurangi ketergantungan impor. Diversifikasi model. Peluncuran varian hybrid dari Avanza/Veloz untuk mempertahankan pangsa pasar MPV.
Evaluasi buyout Toyota Industries mencerminkan dinamika konsolidasi di industri otomotif global pasca-pandemi. Meski berpotensi meningkatkan efisiensi operasional grup, langkah ini berisiko memperparah penurunan penjualan di Indonesia melalui gangguan rantai pasokan dan alokasi modal yang tidak seimbang. Respons strategis yang adaptif terhadap preferensi konsumen lokal dan percepatan elektrifikasi menjadi kunci mempertahankan dominasi pasar.