Senin, Desember 22, 2025
spot_img
BerandaRenunganBukan Tuhan yang Menjadikan Kita Miskin, Tapi Aturan yang Kita Sepakati

Bukan Tuhan yang Menjadikan Kita Miskin, Tapi Aturan yang Kita Sepakati

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap penderitaan, kemiskinan, dan korupsi sebagai nasib atau “takdir” yang sudah dari sananya ada. Namun, jika kita menyelami pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya, The Social Construction of Reality, kita akan menemukan perspektif lain. Bahwa, penderitaan sosial bukanlah hukum alam, melainkan sesuatu yang diciptakan, dipelihara, dan dilegalkan oleh manusia itu sendiri.

Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui tiga tahap dialektika, Pertama, Eksternalisasi, dimana manusia menuangkan ide dan tindakannya ke dunia nyata (misalnya: menciptakan sistem uang). Kedua, Objektivasi, dimana ide tersebut menjadi “benda” yang seolah nyata di luar diri kita (disini, uang dianggap sebagai segalanya). Dan ketiga, Internalisasi, dimana kita menyerap kembali ide yang sudah kita eksternalisasi itu kembali ke dalam kesadaran kita (dan kita merasa gagal jika tidak punya uang).

Dalam konteks kemiskinan, penderitaan fisik akibat lapar memang nyata secara biologis. Namun, penderitaan sosial, seperti: rasa malu, ketidakberdayaan mengakses kesehatan, dan diskriminasi adalah produk konstruksi sosial. Kita telah membangun realitas di mana “hak untuk hidup sehat” dikunci oleh “kepemilikan atas uang”.

Uang dan Kemiskinan adalah Penjara yang Kita Bangun Sendiri

Kaitan antara uang dan kemiskinan atau kesehatan adalah contoh nyata konstruksi ini. Secara biologis, manusia butuh makan, bukan uang. Karena, tanpa uang-pun sebenarnya kita bisa makan, dengan barter, bercocok tanam atau mendapatkan zakat. Namun, masyarakat melakukan objektivasi terhadap uang hingga ia menjadi satu-satunya akses untuk bertahan hidup (kesehatan, pendidikan, pangan).

Kemiskinan pun akhirnya menjadi sebuah status sosial. Seseorang menderita bukan hanya karena kekurangan materi, tapi karena ia menginternalisasi label “miskin” yang diciptakan masyarakat. Penderitaan ini terasa sangat nyata karena jika masyarakat sepakat bahwa “kesehatan harus bayar”, maka orang tanpa uang secara objektif akan terhalang dari hak hidupnya.

Keluar dari realitas sosial seperti ini tidak semudah sekadar “berhenti percaya bahwa uang itu hanyalah ide yang terobjektivasi“, karena realitas tersebut telah menjadi institusi yang kuat dan memaksa.

Cara Keluar Dari Realitas Sosial yang Ada

Pertama, kita perlu men- dekonstruksi dan memiliki pemikiran kritis, bahwa, realitas ini bukanlah hukum Tuhan atau hukum alam yang tak terubah, melainkan hasil karya manusia. Ketika kita menyadari bahwa uang hanyalah konstruksi sosial, kita berhenti memandang kemiskinan sebagai takdir atau kesalahan moral pribadi. Kesadaran ini dapat membuka ruang untuk mempertanyakan aturan yang ada: jika kita bisa menciptakan norma bahwa kesehatan harus dibayar, bukankah kita juga bisa menciptakan norma baru bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap orang dan gratis?

Kedua, kita dapat menciptakan sub-realitas atau komunitas sosial alternatif yang berbeda dari realitas dominan. Di dalam kelompok kecil ini, aturan sosial dibuat berbeda dari masyarakat luas, misalnya melalui koperasi, sistem barter, atau jaminan kesehatan berbasis warga seperti jimpitan di desa-desa atau asuransi komunitas. Dalam ruang tersebut, penderitaan akibat ketiadaan uang dapat ditekan karena akses terhadap kesehatan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada uang, melainkan pada solidaritas dan gotong royong.

Ketiga, dengan cara yang lebih sistemik, yaitu: melalui perubahan institusional atau rekonstruksi. Karena realitas sosial dikonstruksi lewat kebijakan dan kesepakatan kolektif, maka mengubahnya berarti membangun ulang institusi tersebut. Tekanan publik untuk menuntut negara menyediakan kesehatan sebagai layanan publik gratis merupakan upaya menggeser realitas dari “kesehatan sebagai komoditas” menjadi “kesehatan sebagai hak”. Jika mayoritas masyarakat setuju mengubah aturan main, realitas objektif baru akan tercipta.

Namun, Berger dan Luckmann juga memperingatkan bahwa kita lahir di dunia yang sudah “jadi”, sehingga penolakan secara individual terhadap realitas sosial yang sudah mapan bisa membawa risiko besar: kita bisa dianggap gila atau mengalami kesulitan hidup ekstrem karena menolak sistem yang sudah ada dan dianggap wajar. Kunci utamanya adalah perubahan harus bersifat kolektif—hanya ketika banyak orang bersama-sama melakukan eksternalisasi terhadap ide-ide baru, realitas sosial baru dapat ditegakkan.

“dan Dia-lah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. An-Najm : 48).

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments