Matcha yang merupakan bagian dari tradisi teh Jepang, telah menjadi tren global yang diminati banyak orang, mulai dari pencinta kesehatan hingga pecinta kuliner. Lonjakan permintaan matcha telah menyebabkan kelangkaan pasokan di Jepang, yang merupakan negara penghasil utama teh hijau bubuk tersebut.
Lonjakan Permintaan Matcha dan Dampaknya
Sejak 2022, banyak kreator konten di media sosial membagikan video tentang varian makanan berbahan matcha. Lonjakan popularitas ini memiliki konsekuensi yang tidak terduga. Banyak toko dan kafe mengalami kesulitan mendapatkan pasokan matcha.
Salah satu produsen teh di Jepang, Marukyu Koyamaen Co., di Kyoto, sampai membatasi penjualan bubuk matcha mereka sejak Oktober 2024 karena persediaan yang semakin menipis. Ippodo Tea, merek teh tradisional yang popular di Jepang, bahkan terpaksa menghentikan sementara penjualan beberapa produknya dan menaikkan harga akibat meningkatnya biaya produksi serta terbatasnya bahan baku.
Rekor Ekspor dan Pengaruh Wisatawan
Dalam beberapa tahun terakhir, ekspor teh hijau Jepang, termasuk matcha, mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pada 2024, nilai ekspor teh hijau Jepang mencapai ¥36,4 miliar (sekitar $244 juta), naik sekitar 25% dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan ini tidak hanya didorong oleh meningkatnya permintaan dari konsumen luar negeri, tetapi juga oleh wisatawan yang datang ke Jepang dan semakin tertarik dengan produk teh berkualitas tinggi.
Meskipun permintaan terus meningkat, produksi matcha menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa. Berbeda dengan teh hijau biasa, daun teh yang digunakan untuk membuat matcha harus melalui proses khusus, termasuk ditanam di tempat teduh selama beberapa minggu sebelum dipanen agar menghasilkan rasa umami yang khas. Proses ini memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan teh biasa, dan panen biasanya hanya dilakukan setahun sekali, sehingga produksi tidak bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan lonjakan permintaan.
Selain itu, populasi petani teh di Jepang yang semakin menua juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak petani yang sudah lanjut usia dan tidak memiliki penerus yang mau meneruskan bisnis keluarga, sehingga jumlah produksi matcha mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2023, produksi matcha hanya mencapai 78% dari volume yang dihasilkan pada tahun 2008, yang menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap kelangkaan ini adalah perubahan iklim yang mempengaruhi hasil panen. Peningkatan suhu global dan perubahan pola cuaca dapat mempengaruhi kualitas daun teh, membuat produksi matcha semakin sulit diprediksi.
Kelangkaan matcha di Jepang memengaruhi banyak bisnis yang bergantung pada bahan ini. Beberapa kafe dan restoran yang memiliki hubungan jangka panjang dengan pemasok masih dapat memperoleh pasokan matcha, meskipun dengan harga yang lebih tinggi. Namun, bagi bisnis baru yang ingin memasuki industri matcha, menemukan pemasok yang dapat menyediakan stok dalam jumlah cukup menjadi semakin sulit.
Di luar Jepang, bisnis yang menjual produk berbasis matcha juga mulai merasakan dampaknya. Beberapa merek matcha populer di Amerika Serikat dan Eropa melaporkan kenaikan harga bahan baku, yang pada akhirnya berimbas pada harga jual produk mereka. Di beberapa tempat, pelanggan bahkan mulai mengalami kesulitan menemukan matcha berkualitas tinggi karena stok yang terbatas.