Senin, Juni 16, 2025
spot_img
BerandaMarketBenarkah Penurunan Tax Ratio Salah UMKM?

Benarkah Penurunan Tax Ratio Salah UMKM?

Penerimaan pajak Indonesia mengalami penurunan signifikan pada kuartal pertama 2025, dengan tax ratio merosot dari 9,77% pada periode yang sama tahun 2024 menjadi 7,95%. Penurunan ini mencerminkan tantangan struktural dalam sistem perpajakan nasional, diperparah oleh dinamika ekonomi makro dan kebijakan fiskal yang belum optimal. Berdasarkan analisis data BPS dan Kementerian Keuangan, kontraksi ini disebabkan oleh kombinasi faktor policy gap, compliance gap, penurunan harga komoditas, serta gangguan administratif dalam sistem perpajakan. Solusi jangka pendek dan panjang diperlukan, termasuk reformasi administrasi pajak, penguatan basis data wajib pajak, dan penyesuaian kebijakan insentif yang lebih tepat sasaran.

Ada beberapa faktor utama yang mendorong penurunan tax ratio pada kuartal pertama 2025. Diantaranya adalah kebijakan Fiskal dan Policy Gap
Sistem perpajakan Indonesia menghadapi policy gap sebesar 4,2% dari PDB akibat insentif pajak yang berlebihan, terutama untuk sektor UMKM dan industri ekstraktif.

Pada 2024, fasilitas tarif PPh final 0,5% untuk UMKM mengurangi penerimaan pajak sebesar Rp28,4 triliun, sementara insentif untuk pertambangan batubara mencapai Rp15,9 triliun. Kebijakan ini, meski bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, justru menyempitkan basis pajak dan menciptakan distorsi kompetisi antar-sektor.

Lebih lanjut, penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh Pasal 21 sejak Januari 2024 menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp16,5 triliun yang baru diklaim pada 2025. Mekanisme ini mengurangi arus kas pemerintah di kuartal I-2025 sekaligus menciptakan volatilitas dalam perencanaan anggaran.

Faktor berikutnya adalah compliance gap dan ekonomi bawah tanah. Compliance gap mencapai 5,1% dari PDB pada 2025, dengan estimasi shadow economy senilai Rp2.100 triliun (9,5% PDB) yang tidak tercatat dalam sistem perpajakan. Sektor informal, perdagangan elektronik tanpa NPWP, dan transaksi tunai menjadi penyumbang utama. Sistem self-assessment yang mengandalkan kepatuhan sukarela wajib pajak terbukti rentan terhadap manipulasi, terutama pada pelaporan PPh orang pribadi dan PPN usaha mikro.

Studi kasus pada 1.200 UMKM di Jawa Barat menunjukkan 68% tidak melaporkan omset sebenarnya, dengan rata-rata underreporting sebesar 42%. Fenomena ini diperparah oleh terbatasnya kapasitas pengawasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang hanya memiliki 3.200 auditor aktif untuk mengawasi 43 juta wajib pajak terdaftar.

Tercatat ada beberapa faktor turunan dan eksternal penyebab penurunan tax ratio. Dianataranya adalah dampak fluktuasi harga komoditas. Penurunan harga batubara sebesar 11,8% dan minyak mentah Brent 5,2% pada kuartal I-2025 mengurangi penerimaan PPh sektor pertambangan sebesar Rp24,3 triliun. Sektor ini menyumbang 18% dari total PPh badan pada 2024, sehingga gejolak harganya langsung berdampak sistemik. Imbasnya terlihat pada realisasi PPh Pasal 25 yang turun 30,1% YoY pada Januari-Februari 2025.

Kedua, gangguan administratif sistem coretax. Migrasi ke sistem Coretax pada awal 2025 menyebabkan penundaan pelaporan dan pembayaran pajak di 12.300 perusahaan. Masalah teknis seperti error dalam penghitungan PPN dan keterlambatan server response time mengakibatkan akumulasi tunggakan pajak sebesar Rp9,8 triliun pada Maret 2025. Pemerintah terpaksa memberikan relaksasi sanksi hingga 10 Maret 2025 melalui KEP-67/PJ/2025, yang mengurangi penerimaan Rp4,2 triliun dari denda.

Dampak Penurunan Tax Rasio Pada Perekonomian Nasional

Penurunan tax ratio Indonesia dari 9,77% menjadi 7,95% berdampak negatif pada perekonomian nasional karena menurunkan kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan dan layanan publik penting seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pendapatan pajak yang lebih kecil membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dan reformasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Selain itu, tax ratio yang rendah mengurangi buffer fiskal pemerintah dalam menghadapi guncangan ekonomi, sehingga stabilitas ekonomi menjadi rentan. Penurunan tax ratio juga mencerminkan lemahnya kepatuhan pajak dan basis pajak yang sempit, yang dapat memperbesar ketimpangan sosial dan menghambat distribusi kekayaan secara adil.

Dampak langsung lainnya adalah pengurangan belanja negara yang berpotensi menurunkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) karena berkurangnya stimulus fiskal. Kondisi ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan memperpanjang periode ketidakpastian ekonomi.

Singkatnya, penurunan tax ratio melemahkan kemampuan pemerintah untuk mendukung pembangunan dan stabilitas ekonomi, sehingga perlu segera diatasi melalui peningkatan kepatuhan pajak, reformasi kebijakan perpajakan, dan penguatan administrasi fiskal agar perekonomian Indonesia dapat tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.

Ada beberapa rekomendasi strategi yang dapat meningkatkan tax rasio. Salah satunya adalah reformasi kebijakan insentif. Dalam hal ini pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh Final UMKM dengan memperkenalkan threshold progresif. Misal, tarif 0% untuk omset di bawah Rp500 juta per tahun, tarif 0,5% untuk Rp500 juta–Rp4,8 miliar per tahun, tarif 1% untuk di atas Rp4,8 miliar per tahun.

Untuk sektor ekstraktif, penerapan carbon tax sebesar USD 2/ton CO2e pada PLTU batubara mulai 2025 harus diimbangi insentif pajak untuk investasi energi terbarukan, seperti tax allowance 50% bagi perusahaan yang beralih ke PLTS.

Selain itu, strategi lain yang dapat dilakukan adalah penguatan sistem administrasi. Integrasi NIK-NPWP melalui Single Identification Number (SIN) telah menambah 8,4 juta wajib pajak baru pada 2024. Untuk dapat lebih maksimal, langkah ini perlu diperluas dengan automatic exchange of information (AEOI) dengan 92 negara untuk melacak aset wajib pajak di luar negeri. Selain itu pemutakhiran basis data menggunakan artificial intelligence untuk memprediksi potensi penerimaan. Selanjutnya blockchain-based invoice untuk transaksi B2B di atas Rp10 juta juga dapat dilakukan.

Kemudian penanggulangan shadow economy dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan penerapan certificate clearance sebagai prasyarat pengajuan kredit bank akan memaksa 2,3 juta pelaku usaha informal untuk mendaftarkan NPWP. Di sisi lain, Earned Income Tax Credit (EITC) sebesar 15% dari penghasilan kena pajak bagi wajib pajak berpenghasilan di bawah Rp60 juta/tahun dapat meningkatkan kepatuhan sukarela.

Penurunan tax ratio Indonesia pada kuartal I-2025 bersifat multifaktorial, memerlukan intervensi kebijakan yang komprehensif. Prioritas utama meliputi, pertama rasionalisasi insentif pajak, kedua digitalisasi sistem administrasi, dan ketiga perluasan basis pajak melalui integrasi data. Dengan langkah-langkah tersebut, tax ratio diproyeksikan meningkat menjadi 10,2% pada 2026, mendukung target penerimaan pajak Rp2.450 triliun.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments