Deflasi yang terjadi pada Mei 2025 sebesar 0,37% secara bulanan menunjukkan penurunan harga yang signifikan di beberapa sektor kunci ekonomi Indonesia, khususnya dalam kelompok makanan, minuman dan tembakau yang mengalami deflasi 1,4% month-to-month. Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa deflasi ini bukan disebabkan oleh daya beli yang lesu, namun kondisi penurunan harga yang meluas ke berbagai sektor dapat mengindikasikan adanya tekanan ekonomi yang berpotensi mempengaruhi stabilitas ketenagakerjaan. Analisis mendalam terhadap data deflasi menunjukkan bahwa sektor-sektor tertentu menghadapi tantangan struktural yang dapat berimplikasi pada dinamika pasar tenaga kerja, meskipun inflasi inti yang masih berada di level 2,4% secara tahunan menandakan adanya permintaan yang tetap bertahan di ekonomi domestik.
Kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami deflasi paling signifikan sebesar 1,40% secara bulanan dengan kontribusi terhadap deflasi umum sebesar 0,41%. Komoditas utama yang berkontribusi terhadap deflasi meliputi cabai merah dan cabai rawit dengan masing-masing andil 0,12%, bawang merah 0,09%, ikan segar 0,05%, bawang putih 0,04%, serta daging ayam ras, kentang, dan wortel masing-masing 0,01%. Deflasi sektor ini menunjukkan normalisasi harga pangan pasca Idul Fitri, yang sejalan dengan proyeksi ekonom bahwa komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit akan mengalami penurunan harga.
Komponen harga bergejolak (volatile food) mengalami deflasi sebesar 2,48% secara bulanan dengan andil 0,41%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penurunan harga tidak hanya terjadi pada komoditas tertentu, tetapi meluas ke berbagai produk pangan yang umumnya sensitif terhadap fluktuasi pasokan dan permintaan. Meskipun deflasi ini dapat memberikan keuntungan bagi konsumen dalam jangka pendek, namun untuk produsen dan pelaku usaha di sektor pertanian dan pengolahan makanan, kondisi ini dapat menimbulkan tekanan margin keuntungan yang signifikan.
Kelompok transportasi mencatat deflasi sebesar 0,07%, yang dapat dikaitkan dengan kebijakan pemerintah terkait diskon tarif transportasi yang diterapkan pada periode Juni-Juli 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa deflasi dalam sektor ini bukan menandakan penurunan daya beli, melainkan hasil dari intervensi pemerintah melalui administered price. Deflasi di sektor transportasi juga dapat terkait dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mempengaruhi biaya operasional transportasi.
Kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga juga mengalami deflasi 0,04%, menunjukkan penurunan harga pada barang-barang kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini dapat mencerminkan lemahnya permintaan konsumen terhadap barang-barang non-esensial atau adanya oversupply di pasar. Sektor ini umumnya sensitif terhadap kondisi ekonomi makro dan daya beli masyarakat, sehingga deflasi yang terjadi perlu dicermati sebagai indikator awal potensi perlambatan konsumsi domestik.
Dampak Deflasi Terhadap Ketenagakerjaan dan Sektor Ekonomi
Deflasi yang meluas ke berbagai sektor dapat menciptakan spiral deflasi yang berdampak negatif terhadap ketenagakerjaan. Ketika harga-harga turun secara berkelanjutan, perusahaan menghadapi tekanan margin keuntungan yang dapat memaksa mereka untuk melakukan efisiensi operasional, termasuk pengurangan tenaga kerja. Sektor makanan dan minuman, yang merupakan penyumbang deflasi terbesar, melibatkan jutaan pekerja mulai dari petani, pedagang, hingga pekerja industri pengolahan makanan.
Deflasi dalam kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,28% secara tahunan menunjukkan adanya tekanan kompetitif yang intens di sektor-sektor berbasis teknologi dan layanan. Sektor ini umumnya padat modal dan teknologi, sehingga perusahaan cenderung melakukan otomatisasi dan digitalisasi untuk mempertahankan daya saing, yang dapat berdampak pada pengurangan kebutuhan tenaga kerja konvensional.
Ada beberapa sektor yang terimbas deflasi. Diantaranya adalah sektor pertanian dan agribisnis menghadapi tantangan signifikan akibat deflasi harga komoditas pangan. Petani dan pelaku usaha kecil di sektor ini umumnya memiliki keterbatasan modal dan akses finansial, sehingga penurunan harga dapat mengancam keberlanjutan usaha mereka. Dampak deflasi dapat berimbas pada seluruh rantai nilai mulai dari produksi, distribusi, hingga retail, yang berpotensi mempengaruhi jutaan pekerja di sektor informal.
Sektor manufaktur makanan dan minuman juga menghadapi tekanan deflasi yang dapat mempengaruhi investasi dan ekspansi bisnis. Meskipun penurunan harga bahan baku dapat memberikan keuntungan dalam jangka pendek, namun deflasi yang berkelanjutan dapat mengurangi insentif investasi dan inovasi. Sektor transportasi dan logistik, meskipun mendapat manfaat dari kebijakan subsidi pemerintah, tetap menghadapi risiko penurunan permintaan jasa transportasi jika deflasi menyebar ke sektor-sektor lainnya.
Implikasi Makroekonomi dan Proyeksi Jangka Menengah
Meskipun terjadi deflasi secara bulanan, inflasi inti masih berada di level 2,4% secara tahunan, yang menunjukkan bahwa masih terdapat kenaikan harga akibat adanya permintaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia belum sepenuhnya mengalami tekanan deflasi yang sistemik. Namun, deflasi yang berulang dalam tahun 2025 – setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%) – menunjukkan tren yang perlu diwaspadai.
Secara tahunan, Indonesia masih mencatat inflasi sebesar 1,60% pada Mei 2025, dengan inflasi year-to-date mencapai 1,19%. Tingkat inflasi yang relatif rendah ini, meskipun masih positif, dapat mengindikasikan lemahnya tekanan permintaan dalam ekonomi domestik. Kondisi ini dapat menjadi sinyal awal perlambatan ekonomi yang berpotensi mempengaruhi keputusan investasi dan rekrutment tenaga kerja di berbagai sektor.
Deflasi yang terjadi di sektor-sektor padat karya seperti pertanian dan makanan-minuman dapat menciptakan tekanan struktural pada pasar tenaga kerja. Sektor pertanian yang menyerap sekitar 30% tenaga kerja nasional menghadami risiko penurunan pendapatan akibat deflasi harga komoditas. Hal ini dapat memicu migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor-sektor lain, yang berpotensi menciptakan oversupply tenaga kerja di sektor industri dan jasa.
Sektor jasa keuangan dan teknologi informasi yang mengalami deflasi tahunan juga menghadapi tekanan kompetitif yang dapat mendorong konsolidasi industri dan pengurangan tenaga kerja. Digitalisasi dan otomatisasi yang dipercepat oleh tekanan deflasi dapat mengubah struktur ketenagakerjaan, dengan peningkatan permintaan untuk pekerja berkeahlian tinggi dan penurunan kebutuhan untuk pekerja konvensional.
Strategi Mitigasi dan Solusi
Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan fiskal ekspansif untuk menstimulasi permintaan domestik dan mencegah spiral deflasi yang dapat berujung pada resesi ekonomi. Program-program stimulus seperti bantuan langsung tunai, subsidi untuk UMKM, dan percepatan proyek infrastruktur dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja baru. Bank Indonesia juga perlu mempertimbangkan kebijakan moneter yang akomodatif untuk mendorong investasi dan konsumsi.
Intervensi pemerintah melalui administered price seperti yang telah dilakukan pada sektor transportasi perlu diperluas ke sektor-sektor strategis lainnya untuk mencegah deflasi yang berlebihan. Namun, kebijakan ini harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari distorsi pasar yang dapat merugikan efisiensi ekonomi jangka panjang. Stabilisasi harga komoditas pangan melalui program cadangan pangan nasional dan penguatan sistem distribusi dapat membantu melindungi petani dari volatilitas harga yang berlebihan.
Program perlindungan tenaga kerja menjadi salah satu strategi yang dapat dilakukan. Pengembangan program pelatihan dan reskilling untuk tenaga kerja di sektor-sektor yang terimbas deflasi menjadi prioritas utama untuk mengantisipasi perubahan struktur ketenagakerjaan. Program-program ini harus difokuskan pada peningkatan keterampilan digital, kewirausahaan, dan adaptasi teknologi. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan sektor swasta dan lembaga pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja masa depan.
Penguatan sistem jaminan sosial dan program asuransi pengangguran perlu dipercepat untuk memberikan perlindungan bagi pekerja yang terdampak restrukturisasi ekonomi. Program bantuan sosial yang tepat sasaran dapat membantu mempertahankan daya beli masyarakat dan mencegah penurunan konsumsi yang dapat memperparah deflasi. Implementasi program kartu prakerja dan subsidi upah untuk sektor-sektor tertentu dapat membantu mempertahankan tingkat employment dalam jangka pendek.
Pengembangan sektor strategis, diversifikasi ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor baru yang memiliki daya saing tinggi dan nilai tambah dapat mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang rentan terhadap deflasi. Pengembangan industri kreatif, ekonomi digital, dan sektor hijau dapat menciptakan lapangan kerja baru dengan upah yang lebih baik. Investasi dalam riset dan pengembangan serta inovasi teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi nasional.
Penguatan rantai nilai global melalui peningkatan kualitas produk dan standar internasional dapat membuka akses pasar ekspor yang lebih luas. Program-program promosi ekspor dan fasilitasi perdagangan dapat membantu produsen domestik mengurangi ketergantungan pada pasar dalam negeri yang sedang mengalami tekanan deflasi. Pengembangan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus dapat menciptakan efisiensi dan sinergi yang meningkatkan daya saing sektor-sektor strategis.
Deflasi yang terjadi pada Mei 2025 menunjukkan kondisi ekonomi yang kompleks dimana penurunan harga di berbagai sektor dapat memberikan manfaat jangka pendek bagi konsumen namun menimbulkan risiko jangka panjang bagi stabilitas ekonomi dan ketenagakerjaan. Meskipun Menteri Keuangan menegaskan bahwa deflasi ini bukan disebabkan oleh daya beli yang lesu, tren deflasi yang berulang sepanjang tahun 2025 memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan.
Sektor-sektor yang paling terimbas deflasi, khususnya pertanian dan makanan-minuman, memerlukan intervensi kebijakan yang tepat untuk melindungi jutaan pekerja yang bergantung pada sektor-sektor tersebut. Strategi mitigasi yang komprehensif meliputi kebijakan fiskal ekspansif, program perlindungan tenaga kerja, dan pengembangan sektor-sektor strategis baru menjadi kunci untuk mengantisipasi potensi dampak negatif terhadap ketenagakerjaan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mengimplementasikan solusi-solusi ini akan menentukan kemampuan Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi di paruh kedua tahun 2025.