Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini mengatur kewajiban penerapan skema co-payment minimal 10% dari total klaim yang harus ditanggung peserta asuransi kesehatan komersial. Regulasi ini merupakan respons terhadap inflasi medis yang mencapai 19% di Indonesia pada tahun 2025 dan tingginya rasio klaim kesehatan yang mencapai 121,8% di akhir 2024.
Industri asuransi kesehatan Indonesia menghadapi tekanan signifikan akibat lonjakan klaim yang tidak terkendali. Rasio klaim kesehatan pada industri asuransi jiwa mengalami peningkatan dramatis dari 80,8% pada Juni 2022 menjadi 105,7% pada Juni 2024. Per April 2025, rasio klaim kesehatan tercatat 51,29% untuk asuransi jiwa dan 49,97% untuk asuransi umum.
Data menunjukkan inflasi medis di Indonesia diperkirakan mencapai 19% pada tahun 2025, jauh melampaui inflasi umum. Mercer Marsh Benefits memproyeksikan biaya kesehatan akan terus melonjak, didorong oleh tingginya biaya bahan baku farmasi, peralatan medis, dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Skema Co-Payment
Besaran Minimum, peserta asuransi kesehatan wajib menanggung minimal 10% dari total klaim rawat jalan atau rawat inap. Ada beberapa syarat batas maksimum yang perlu dicermati. Pertama, rawat jalan dengan biaya Rp 300.000 per klaim. Kedua, rawat inap dengan biaya Rp 3.000.000 per klaim. Ketiga, fleksibilitas. Perusahaan asuransi dapat menetapkan batas yang lebih tinggi jika disepakati dalam polis.
Selain itu, ada beberapa ketentuan tambahan yang perlu diketahui. Diantaranya, Dewan Penasihat Medis (Medical Advisory Board) yang memiliki kewajiban pembentukan untuk memberikan masukan medis independen. Kedua, sistem informasi digital. Kewajiban pertukaran data digital dengan fasilitas kesehatan. Ketiga, Coordination of Benefit (CoB), atau koordinasi pembiayaan dengan skema JKN BPJS Kesehatan.
Dampak bagi Perusahaan Asuransi Indonesia
Dampak Positif posistif yang timbul dari terbitnya kebijakan ini meliputi stabilisasi rasio klaim. Penerapan co-payment diharapkan dapat mengendalikan overutilization layanan kesehatan yang selama ini menjadi penyebab utama tingginya rasio klaim. Dengan adanya cost-sharing, peserta akan lebih selektif dalam menggunakan layanan medis. Selain itu, kebijakan ini juga menghadirkan potensi penurunan premi. Skema co-payment berpotensi mendorong penurunan tarif premi asuransi kesehatan karena risiko finansial terbagi antara perusahaan asuransi dan peserta. Hal ini dapat membuat produk asuransi kesehatan lebih terjangkau bagi masyarakat.
Lantas, dampak positif lain yang muncul adalah peningkatan efisiensi operasional. Kebijakan ini mendorong perusahaan asuransi untuk mengadopsi teknologi digital dan sistem managed care yang lebih efisien. Kewajiban pembentukan Medical Advisory Board juga akan meningkatkan kualitas decision-making dalam pengelolaan klaim.
Selain dampak positif, kebijakan ini juga menghadirkan dampak negatif. Pertama, adalah kompleksitas implementasi. Mayoritas produk asuransi kesehatan saat ini belum menerapkan skema co-payment, sehingga perusahaan harus melakukan penyesuaian sistem yang kompleks. Hal ini memerlukan investasi signifikan dalam teknologi dan pelatihan SDM.
Kedua, potensi penurunan demand. Beban tambahan co-payment dapat mengurangi daya tarik produk asuransi kesehatan, terutama bagi segmen menengah ke bawah. Ini berpotensi menurunkan pertumbuhan premi dan jumlah peserta baru. Ketiga, biaya adaptasi regulasi. Perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memenuhi ketentuan baru seperti pembentukan Medical Advisory Board dan pengembangan sistem informasi digital.
Dampak bagi Sektor Kesehatan Indonesia
Selain memberikan dampak bagi industri asuransi, kebijakan ini juga berdampak pada sektor kesehatan dalam negeri. Ada beberapa dampak positif yang hadir, diantaranya peningkatan arus kas Rumah Sakit (RS). Pemberlakuan co-payment akan meningkatkan Operating Cash Flow (OCF) rumah sakit karena adanya pembayaran langsung dari pasien pemegang asuransi swasta. Hal ini dapat memperkuat kondisi keuangan rumah sakit.
Kedua, pengurangan moral hazard. Skema cost-sharing terbukti efektif mengurangi perilaku moral hazard di sektor kesehatan. Di Indonesia, penelitian menunjukkan tingkat unnecessary admission mencapai 17,8%, yang dapat ditekan dengan penerapan co-payment. Ketiga, koordinasi yang lebih baik. Ketentuan Coordination of Benefit akan memperkuat sinergi antara asuransi komersial dan JKN BPJS Kesehatan. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan secara keseluruhan. Selain dampak positif, ada beberapa dampak negatif yang muncul. Antara lain potensi penurunan akses. Co-payment dapat mengurangi akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Penelitian menunjukkan cost-sharing dapat menyebabkan delayed care-seeking behavior.
Kedua, risiko penurunan volume pasien. Meningkatnya kesadaran biaya dapat menyebabkan penurunan volume kunjungan pasien ke rumah sakit. Hal ini berpotensi berdampak negatif pada pendapatan provider kesehatan. Ketiga, ketimpangan akses kesehatan. Penerapan co-payment dapat memperburuk ketimpangan akses kesehatan antara kelompok ekonomi berbeda. Kelompok berpenghasilan rendah mungkin akan menunda atau menghindari pengobatan karena beban biaya tambahan.
Dampak Anomali dari Kebijakan
Ada beberapa anomali yang muncul beriringan dengan kebijakan tersebut. Diantaranya anomali substitusi ke BPJS Kesehatan. Peningkatan beban co-payment dapat mendorong masyarakat untuk hanya mengandalkan BPJS Kesehatan, yang dapat memberatkan sistem jaminan sosial nasional. Jika semua beralih ke BPJS, ini akan menimbulkan tekanan fiskal yang besar bagi pemerintah.
Kedua, anomali Delayed Care dan Health Outcomes. Meskipun bertujuan mengurangi overutilization, co-payment berpotensi menyebabkan underutilization layanan kesehatan penting. Penelitian global menunjukkan bahwa cost-sharing dapat menyebabkan penundaan pengobatan yang justru meningkatkan biaya kesehatan jangka panjang.
Ketiga, anomali Market Segmentation. Kebijakan ini dapat menciptakan fragmentasi pasar di mana hanya kelompok ekonomi tertentu yang mampu mengakses asuransi kesehatan premium. Hal ini bertentangan dengan tujuan universal health coverage.
Keempat, anomali Provider Behavior. Rumah sakit mungkin akan mengubah strategi pricing dan service mix untuk mengkompensasi potensi penurunan volume pasien. Ini dapat menyebabkan distorsi dalam penyediaan layanan kesehatan.
Untuk merespon kebijakan yang berimbas pada hajat hidup orang banyak tersebut, ada beberapa rekomendasi solusi yang dapat dilakukan. Pertama, implementasi bertahap dan selektif. Contohnya penerapan Graduated Co-Payment. Dalam impementasinya dapat dilakukan dengan menerapkan co-payment secara bertahap berdasarkan jenis layanan dan tingkat pendapatan peserta. Mengecualikan layanan preventif dan kondisi kronis dari skema co-payment. Menetapkan cap tahunan untuk total co-payment per peserta.
Berikunya adalah menerapan Risk-Based Segmentation. Mengembangkan skema co-payment yang disesuaikan dengan profil risiko dan kemampuan ekonomi peserta. Selanjutnya, menerapkan sliding scale co-payment berdasarkan income level.
Solusi berikutnya yang dapat dilakukan adalah penguatan sistem koordinasi. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan.
1. Strengthening Coordination of Benefit. Langkah ini di implementasikan dengan cara mengoptimalkan integrasi antara asuransi komersial dan JKN untuk mengurangi beban co-payment. Kedua, mengembangkan platform digital terintegrasi untuk koordinasi klaim.
2. Provider Network Optimization. Memperkuat jaringan provider untuk memastikan akses yang memadai. Mengimplementasikan quality-based contracting untuk meningkatkan value.
3. Mitigasi Dampak Sosial. Langkah ini secara subtansial dapat dilakukan dengan cara memberikan subsidi dan Voucher System. Lalu, mengembangkan skema subsidi co-payment untuk kelompok vulnerable. Kemudian, mengimplementasikan voucher kesehatan untuk layanan essential. Solusi berikutnya adalah Financial Hardship Protection. Menetapkan mekanisme pembebasan co-payment untuk kondisi catastrophic dan mengembangkan hardship exemption criteria yang jelas menjadi salah satu langkah efektif yang dapat dilakukan.
4. Penguatan Regulasi dan Monitoring. Metode Enhanced Regulatory Framework dapat dilakukan. Selain itu, memperkuat pengawasan terhadap implementasi co-payment dengan mengembangkan guidelines yang detail untuk perusahaan asuransi.
5. Mengembangkan Data-Driven Policy Adjustment. Implementasi sistem monitoring real-time untuk dampak kebijakan. Regular policy review berdasarkan evidence-based analysis.
6. Inovasi Teknologi dan Layanan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah Digital Health Solutions, dengan mengembangkan telemedicine dan digital health platforms untuk mengurangi biaya. Selain itu, implementasi AI untuk predictive analytics dan personalized care.
Berikutnya adalah Value-Based Care Models. Mengadopsi payment models yang fokus pada outcomes rather than volume. Selain itu, mengintegrasikan preventive care dalam skema benefit.
7. Edukasi dan komunikasi juga harus diterapkan. Consumer Education, seperti kampanye edukasi komprehensif tentang manfaat dan cara kerja co-payment. Pengembangan financial literacy terkait asuransi kesehatan musti juga dipertimbangkan untuk solusi strategis. Berikutnya adalah provider training. Pelatihan untuk healthcare providers tentang cost-conscious prescribing dan pengembangan clinical guidelines yang cost-effective menjadi salah satu bentuk solusi strategis.
SEOJK 7/2025 tentang co-payment asuransi kesehatan merupakan kebijakan yang necessary namun complex dalam konteks reformasi sistem pembiayaan kesehatan Indonesia. Meskipun berpotensi mengatasi masalah overutilization dan stabilisasi industri asuransi, implementasinya harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari dampak negatif terhadap akses kesehatan.
Sukses implementasi kebijakan ini memerlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat. Koordinasi yang kuat antara regulator, industri asuransi, provider kesehatan, dan stakeholder lainnya menjadi kunci untuk memastikan bahwa tujuan efisiensi tercapai tanpa mengorbankan equity dan access to care.
Ke depan, monitoring dan evaluasi berkelanjutan akan sangat penting untuk melakukan fine-tuning kebijakan berdasarkan evidence dan dampak aktual di lapangan. Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan co-payment dapat menjadi instrumen efektif untuk menciptakan sistem asuransi kesehatan yang sustainable dan equitable di Indonesia.