Momentum Lebaran 2026 yang jatuh pada bulan Maret mendatang berdiri di tengah krisis industri tekstil Indonesia yang paling parah dalam dekade terakhir. Data menunjukkan gelombang pemutusan hubungan kerja yang merupakan akibat langsung dari kebijakan impor yang longgar, praktik impor ilegal, dan hilangnya daya saing industri lokal terhadap produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Tren PHK di Industri Tekstil Indonesia 2023-2025
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa hingga Oktober 2025, sebanyak 126.160 pekerja telah mengalami PHK sejak akhir 2022, dengan komposisi sebagai berikut, sebanyak 79.045 pekerja ter-PHK pada tahun 2024 saja, dan 47.115 pekerja pada periode Januari-Oktober 2025. Data ini berasal dari 72 perusahaan yang terdiri dari 59 perusahaan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta 13 perusahaan di sektor non-TPT.
Aspek yang paling mengkhawatirkan adalah konsentrasi PHK di sektor padat karya. Dari total 126.160 pekerja ter-PHK, sebanyak 99.666 pekerja (79 persen) berasal dari sektor tekstil, garmen, dan sepatu, yang merupakan tulang punggung lapangan kerja manufaktur nasional. Persentase ini menunjukkan dampak ekstrem dari krisis industri tekstil terhadap keseluruhan sektor manufaktur Indonesia.
Presiden KSPN Ristadi mengatakan bahwa data internal serikat kerja jauh lebih besar dibandingkan data resmi Kementerian Ketenagakerjaan, karena banyak perusahaan yang tidak melaporkan PHK ke pemerintah. Hal ini berarti angka sebenarnya dari PHK di sektor tekstil kemungkinan besar mencapai 250.000 pekerja dalam periode 2023-2025, sebagaimana dilaporkan oleh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).
Perusahaan Tekstil Indonesia yang Collapse dan Jumlah Pekerja Terdampak 2023-2025
Runtuhnya perusahaan besar dan analisis kasus individual. Krisis ini bukan hanya tentang angka-angka, tetapi tentang runtuhnya perusahaan-perusahaan besar yang telah beroperasi selama puluhan tahun. Dalam kurun waktu 2023-2024, setidaknya 60 perusahaan tekstil domestik mengalami kolaps atau penutupan permanen.
Kasus paling dramatis adalah kebangkrutan PT Sritex Group pada awal 2025, yang mengakibatkan lebih dari 11.000 karyawan kehilangan pekerjaan secara sekaligus. Perusahaan ini, yang merupakan salah satu produsen serat rayon terbesar di Indonesia, mengajukan pailit setelah tidak mampu bersaing dengan produk impor yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Begitu juga dengan PT Tyfountex di Sukoharjo yang mem PHK 8.000 pekerja, PT Pismatex di Pekalongan dengan 1.800 pekerja ter PHK, dan PT Asia Pacific Fiber Karawang yang mem PHK 2.500 karyawan.
Pola umum yang muncul adalah bahwa perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan permintaan yang drastis, diikuti dengan serangkaian PHK bertahap sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menutup pabrik secara permanen. Sebagian dari mereka mencoba bertahan dengan sistem kerja sementara atau harian sebelum kapitulasi total. Dampak ini tidak terbatas pada pekerja manufaktur, tetapi juga menyentuh seluruh ekosistem bisnis yang bergantung pada industri tekstil, termasuk pengusaha kecil dan menengah (UMKM) supplier.
Distribusi Korban PHK Menurut Provinsi Per November 2022 – Oktober 2025
Distribusi geografis PHK banyak terkonsentrasi di Jawa. Dampak PHK terkonsentrasi di tiga provinsi utama penghasil tekstil Indonesia, dengan pola distribusi sebagai berikut. Jawa Tengah dengan 47.940 pekerja (38 persen), termasuk kota-kota seperti Semarang, Pekalongan, dan Solo. Ptovinsi Jawa Barat dengan 39.109 pekerja (31 persen), mencakup Karawang, Bandung, dan Bekasi.
Untuk Provinsi Banten dengan 21.447 pekerja (17 persen), terutama di kawasan Tangerang. Sedangkan untuk provinsi Lainnya ada 17.664 pekerja (14 persen).
Konsentrasi ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi lokal sangat terkonsentrasi. Mengingat populasi usia kerja di ketiga provinsi tersebut, lonjakan pengangguran akan menghasilkan tekanan sosial yang signifikan dan penurunan daya beli yang berkelanjutan di tingkat daerah.
Tren Impor Benang dan Kain ke Indonesia 2008-2024
Penyebab Utama PHK sampai saat ini yang terindikasi adalah banjir Impor dan Kebijakan Perdagangan. Penyebab utama dari gelombang PHK ini adalah banjir produk impor yang telah memasuki pasar domestik Indonesia sejak akhir 2022.
Data menunjukkan lonjakan impor yang fenomenal. Impor Benang Filamen. Meningkat dari 130.000 ton pada 2008 menjadi 467.000 ton pada 2024, mewakili peningkatan 259 persen dalam 16 tahun. Lebih spesifik, impor benang melonjak 200 persen antara 2016 hingga 2024, dari 230.000 ton menjadi 467.000 ton.
Impor Kain. Meningkat dari 294.000 ton pada 2008 menjadi 873.000 ton pada 2024, mewakili peningkatan 197 persen. Dalam periode yang sama (2016-2024), impor kain naik dari 724.000 ton menjadi 873.000 ton.
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat pada Januari-Maret 2025 saja, sebanyak 37.000 kontainer pakaian impor (baik legal maupun ilegal) telah memasuki pasar domestik. Fenomena ini menciptakan persaingan tidak sehat, karena produk impor ini dijual dengan harga 30-50 persen lebih murah daripada produk lokal, namun dengan kualitas yang sering kali tidak setara.
Impor Ilegal dan Borongan. Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana, mengungkapkan bahwa praktik impor ilegal telah berkembang menjadi lebih canggih, tidak hanya melalui pakaian bekas (thrifting), tetapi juga pakaian baru yang masuk dengan cara terselubung melalui skema importasi borongan atau mixed container. Barang-barang ini kerap masuk tanpa label merek atau label asli, kemudian ditempeli merek baru di Indonesia setelah sampai. Praktik ini menyulitkan pengawasan di pelabuhan dan memungkinkan produk ilegal mengalir dengan mudah.
Kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang dimaksudkan untuk memperlancar arus barang, justru membuka celah bagi lonjakan impor tanpa batas. Hasilnya, impor tekstil meningkat 5,84 persen pada 2024 saja, memicu pertumbuhan negatif sektor tekstil dan PHK massal.
Dampak Ekonomi Langsung Daya Beli dan Konsumsi
Gelombang PHK 2023-2025 telah menghasilkan dampak ekonomi yang terasa secara langsung di masyarakat. Diantaranya adalah penurunan daya beli rumah tangga. Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 0,5 persen secara tahunan pada Februari 2025. Penurunan ini mencerminkan melemahnya konsumsi rumah tangga, khususnya di kalangan kelas menengah yang merupakan tulang punggung konsumsi nasional. Kelas menengah yang porsinya mencapai 84 persen terhadap konsumsi rumah tangga otomatis akan menekan permintaan karena kenaikan harga dan berkurangnya pendapatan keluarga.
Kontraksi Penjualan Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang, yang merupakan pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara, mengalami penurunan drastis menjelang Lebaran 2025. Pedagang melaporkan penurunan pembeli sebesar 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan pendapatan turun dari rata-rata Rp 10 juta sehari menjadi sekitar Rp 5 juta per hari. Fenomena ini menunjukkan bahwa permintaan konsumen untuk tekstil dan pakaian jadi telah mengalami kontraksi signifikan.
Pertumbuhan Penjualan Tekstil Lokal Melambat. Berdasarkan survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penjualan produk tekstil lokal pada Januari-Maret 2025 hanya tumbuh 3 persen, jauh di bawah pertumbuhan 15 persen pada periode yang sama tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa lonjakan PHK telah mengurangi permintaan konsumen, sementara produk impor dengan harga lebih murah mengambil alih pangsa pasar lokal.
Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter & Aset Sekuritas Bank Indonesia, memperingatkan bahwa PHK akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena PHK di satu sisi mempengaruhi daya beli masyarakat, yang ujungnya adalah konsumsi, sementara ekspor juga tengah menghadapi tekanan global, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan melambat lebih lanjut.
Pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I 2025 melambat menjadi 4,7 persen, lebih rendah dari ekspektasi konsensus yang berada di angka 4,92 persen. Bank Indonesia menilai penurunan ini sejalan dengan gelombang PHK yang berkelanjutan.
Dampak pada aneka industri. Tidak hanya sektor tekstil, tetapi dampak PHK telah merambat ke industri terkait. Data penjualan mobil pada Maret 2025 menunjukkan penurunan 3,66 persen dibandingkan Januari-Maret 2024. Penurunan ini diattribusikan pada melemahnya daya beli kelas menengah akibat PHK, menyebabkan masyarakat lebih memilih menabung dan membayar tagihan daripada melakukan pembelian barang-barang tersier berharga tinggi.
Proyeksi Dampak Menjelang Lebaran 2026 (Maret 2026)
Momentum Lebaran sebagai Penentu Industri. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa momentum Lebaran 2026 akan menjadi penentu apakah industri tekstil dapat bangkit atau akan melanjutkan tren PHK dan penutupan pabrik. Redma mengatakan bahwa momentum Lebaran terakhir yang nyata dirasakan produsen tekstil tanah air adalah pada tahun 2022, yaitu saat barang impor di pasar domestik masih sangat minim pasca pandemi.
Proyeksi penjualan eceran. Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia (BI), indeks ekspektasi penjualan (IEP) untuk Maret 2026 (periode Lebaran dan Ramadan 2026) tercatat sebesar 155,7, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar 142,3. Ini menunjukkan harapan bahwa penjualan eceran akan meningkat pada Maret 2026, khususnya didorong oleh permintaan saat periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN) Idulfitri 1447 H.
Namun, harapan ini tersebab tantangan besar: meskipun ekspektasi penjualan naik, data menunjukkan bahwa tekanan inflasi pada Maret 2026 juga diproyeksikan meningkat, dengan indeks ekspektasi harga umum (IEH) mencapai 172,5. Artinya, konsumen akan dihadapkan pada harga yang lebih tinggi bersamaan dengan daya beli yang lebih lemah akibat PHK.
Skenario 1, Tanpa Intervensi Pemerintah. Jika pemerintah tidak mengambil tindakan konkret untuk mengendalikan impor ilegal dan menerapkan kebijakan perlindungan industri lokal, proyeksi untuk Lebaran 2026 sangat suram. Dengan komposisi impor yang terus meningkat dan daya beli masyarakat yang terus memburuk, permintaan tekstil lokal akan tertindas oleh produk impor murah. Akibatnya, banyak perusahaan tekstil lokal akan terus mengalami PHK dalam jumlah besar atau menutup operasi mereka sebelum atau selama Lebaran 2026.
Skenario 2, Dengan Perlindungan Industri Lokal. Jika pemerintah berhasil melaksanakan rekomendasi APSyFI (memberantas impor ilegal melalui pelarangan praktik impor borongan dan menerapkan BMADS/BMTPS atau mengurangi kuota impor), proyeksi untuk Lebaran 2026 akan lebih positif. Ristadi dari KSPN memperkirakan bahwa dampak kebijakan pemerintah dalam menekan impor ilegal akan terasa efektif sekitar enam bulan setelah implementasi. Ini berarti jika kebijakan diterapkan sekarang (November 2025), dampak positifnya akan mulai terasa pada Mei-Juni 2026, melampaui periode Lebaran Maret 2026.
Dampak Jangka Panjang terhadap Perekonomian Regional
Hilangnya Lapangan Kerja dan Produktivitas Ekonomi. Dengan 126.160 pekerja yang telah ter PHK hingga Oktober 2025, ekonomi regional khususnya Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten akan mengalami penurunan produktivitas yang signifikan. Hilangnya lapangan kerja juga akan meningkatkan laju pengangguran terbuka di wilayah-wilayah tersebut.
Dampak Kesejahteraan Sosial. Tingginya angka pengangguran akan meningkatkan tekanan sosial, termasuk potensi peningkatan kriminalitas dan ketidakstabilan sosial di kawasan-kawasan industri. Masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan baru akan mencari solusi finansial jangka pendek, termasuk pinjaman online yang tidak terkontrol, yang dapat menambah beban hutang konsumen.
Risiko Deindustrialisasi. Presiden KSPN memperingatkan bahwa jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah, ancaman deindustrialisasi bisa makin nyata. Sektor padat karya adalah tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia. Hilangnya kapasitas manufaktur tekstil akan mengurangi kontribusi Indonesia terhadap perdagangan global dan melemahkan posisi strategis negara dalam rantai pasokan global.
Dampak Penerimaan Negara. Meskipun beberapa analis mengatakan PHK tidak serta-merta berdampak besar pada penerimaan pajak negara (karena pekerja yang di PHK umumnya berpenghasilan minimum), kontraksi ekonomi dalam jangka panjang akan mengurangi basis pajak nasional. Selain itu, hilangnya pabrik lokal akan mengurangi penerimaan bea masuk domestik dan PPh badan dari sektor manufaktur.
Pertumbuhan Sektor Tekstil dan Kontribusi PDB. Meskipun industri tekstil sedang mengalami krisis, data terbaru menunjukkan beberapa tanda pemulihan. Pertumbuhan Subsektor Tekstil dan Pakaian Jadi, Mencapai 5,39 persen dalam setahun, menyumbang 0,98 persen terhadap PDB, dan menyerap tenaga kerja sebesar 3,76 juta orang.
Kontribusi PDB Sektor Kimia-Tekstil (IKFT). Sektor IKFT secara keseluruhan berkontribusi 3,87 persen terhadap PDB pada periode Oktober 2024-Juni 2025, dengan investasi mencapai Rp 136,26 triliun.
Namun, pertumbuhan ini belum mencerminkan dampak penuh dari PHK 2025, karena data ini mencakup periode sebelum puncak krisis PHK. Proyeksi untuk semester kedua 2025 dan awal 2026 akan menunjukkan dampak nyata dari kontraksi industri.
Ada beebrapa rekomendasi kebijakan yang diperlukan mengingat seriusnya situasi, APSyFI merekomendasikan pemerintah mengambil dua langkah strategis jelang Lebaran 2026.
Memberantas Importasi Ilegal. Melalui pelarangan praktik impor borongan dan peningkatan pengawasan bea cukai terhadap penyelundupan produk textile. Praktik impor borongan harus dilarang atau dikontrol ketat karena memungkinkan barang-barang ilegal masuk tanpa identifikasi yang jelas.
Pengendalian Impor melalui BMADS/BMTPS. Menerapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) pada produk benang filamen dan produk jadi tertentu, atau mengurangi kuota impor secara signifikan.
APSyFI juga menargetkan bahwa dengan kebijakan yang komprehensif dan terarah, industri tekstil Indonesia dapat mencapai pertumbuhan 16,5 persen per tahun hingga 2035, dengan ekspor meningkat 9,7 persen per tahun dan impor ditekan hingga turun 26 persen dalam satu dekade.
Dapat disimpulkan, jika tren PHK di industri tekstil Indonesia menjelang Lebaran 2026 menunjukkan gambaran krisis yang mendalam dan sistemik. Dengan 126.160 pekerja yang telah ter-PHK hingga Oktober 2025 (79 persen darinya di sektor padat karya), 60 perusahaan yang telah kolaps, dan banjir impor yang tidak terkendali, industri tekstil Indonesia berada di titik kritis. Momentum Lebaran 2026 pada Maret 2026 akan menjadi penentu apakah industri dapat mulai pulih atau akan terus spiral menuruni.
Dampak PHK ini bukan hanya mengenai hilangnya pekerjaan, tetapi juga tentang penurunan daya beli masyarakat, kontraksi ekonomi regional, risiko deindustrialisasi, dan ketidakstabilan sosial. Tanpa intervensi pemerintah yang signifikan dan konsisten dalam memerangi impor ilegal serta melindungi industri lokal, proyeksi untuk Lebaran 2026 dan seterusnya akan terus suram. Sebaliknya, jika pemerintah berhasil melaksanakan kebijakan perlindungan industri yang terarah, ada harapan bahwa industri tekstil dapat mulai pulih dalam jangka menengah.


