Presiden RI saat ini secara resmi menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan pada 16 Desember 2025, menetapkan formula perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026. Keputusan tersebut mengakhiri penantian panjang dari jutaan pekerja dan pengusaha di seluruh nusantara, namun sekaligus menyalakan kembali polemik sengit antara kepentingan kesejahteraan pekerja dan daya saing dunia usaha.
Regulasi baru ini mencerminkan kompleksitas tantangan ketenagakerjaan Indonesia, sebuah persinggungan antara kebutuhan hidup yang terus meningkat, tekanan inflasi, pertumbuhan ekonomi yang tergantung pada sektor padat karya, dan ketidaksetaraan gaji yang luas di berbagai wilayah. Penetapan rumus UMP 2026 tidak hanya menyangkut angka-angka teknis, melainkan juga tentang visi kemana ekonomi dan kesejahteraan sosial Indonesia akan bergerak.
Peraturan Presiden tentang UMP 2026 mencerminkan paradoks fundamental kebijakan ketenagakerjaan Indonesia. Jika kenaikan terlalu tinggi, risiko PHK dan stagnasi lapangan kerja meningkat. Jika kenaikan terlalu rendah, daya beli pekerja terus menurun menghadapi tekanan inflasi.
Formula baru dengan rentang alfa 0,5 hingga 0,9 adalah upaya kompromi, namun kompromi ini berisiko memuaskan tidak ada pihak. Buruh merasa kenaikan masih di bawah standar KHL. Pengusaha khawatir akan keberlangsungan bisnis. Pemerintah berusaha menyeimbangkan kedua kepentingan sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Tantangan sesungguhnya bukan hanya pada angka kenaikan upah, melainkan pada ketiadaan strategi komprehensif yang mengintegrasikan kebijakan upah dengan produktivitas, perlindungan sosial, dan formalisasi tenaga kerja. Selama Indonesia masih memiliki 59 persen pekerja informal yang terlepas dari perlindungan hukum, dan selama produktivitas hanya tumbuh 1,5-2 persen per tahun, maka UMP sendiri tidak akan mampu menciptakan kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan.
Keputusan Presiden RI pada 16 Desember lalu adalah awal, bukan akhir, dari perjalanan panjang menuju ketenagakerjaan yang lebih adil dan ekonomi yang lebih inklusif. Efektivitas kebijakan ini akan sangat tergantung pada bagaimana gubernur dan Dewan Pengupahan Daerah mengimplementasikannya di masing-masing wilayah, dan bagaimana semua stakeholder, pemerintah, pengusaha, pekerja, dan akademisi berkolaborasi untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang resilient dan berkelanjutan untuk Indonesia.
Rumus Baru, Fleksibilitas Daerah dengan Ketidakpastian Pekerja
Formula kenaikan UMP 2026 menggunakan mekanisme, Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi × Alfa) dengan rentang nilai alfa 0,5 hingga 0,9. Perubahan signifikan terletak pada peningkatan rentang alfa dari formula sebelumnya yang hanya berkisar 0,1 hingga 0,3. Dengan kata lain, kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dinilai lebih tinggi dibanding periode sebelumnya.
Secara teknis, formula ini memberikan fleksibilitas kepada Dewan Pengupahan Daerah di masing-masing provinsi untuk merekomendasikan besaran kenaikan kepada gubernur. Gubernur kemudian menetapkan UMP paling lambat 24 Desember 2025, berarti pengumuman sudah seharusnya terjadi pada saat artikel ini ditulis. Struktur ini berbeda dengan praktik sebelumnya di mana UMP sering diumumkan dengan satu angka seragam di seluruh Indonesia.
Amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023 menjadi fondasi perubahan ini. MK menekankan bahwa penetapan upah minimum harus mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar utama, sekaligus mengakui kondisi ekonomi yang berbeda-beda antarwilayah.
Simulasi Kenaikan, Antara Optimisme Bertahap dan Kekhawatiran Eksponensial
Berdasarkan proyeksi para ahli dan lembaga ketenagakerjaan, kenaikan UMP 2026 diperkirakan berkisar 5 hingga 7 persen dalam skenario moderat, meski beberapa kalangan memprediksi hingga 8 hingga 10,5 persen. Perbedaan prediksi ini mencerminkan interpretasi berbeda terhadap variabel ekonomi dan metodologi perhitungan.
Untuk Jawa Barat, simulasi menunjukkan jika pemerintah menetapkan alfa di kisaran 0,5 hingga 0,9, dengan inflasi tahunan 2,19 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,20 persen, maka kenaikan berkisar 4,79 hingga 6,87 persen. UMP Jawa Barat tahun 2025 sebesar Rp2.191.238, berpotensi meningkat menjadi Rp2.296.187 hingga Rp2.341.757 pada 2026.
Untuk DKI Jakarta, yang menempati posisi tertinggi dalam KHL nasional sebesar Rp5,89 juta per bulan, proyeksi kenaikan lebih bervariasi. Jika menggunakan alfa 0,5, kenaikan hanya sekitar 4,3 persen, namun jika menggunakan alpha maksimal 0,9, bisa mencapai 7-8 persen. UMP Jakarta 2025 sebesar Rp5.396.761 berpotensi naik ke kisaran Rp5.720.566 (kenaikan 6 persen) hingga Rp5.774.534 (kenaikan 7 persen). Serikat buruh DKI menuntut kenaikan hingga 11 persen untuk mencapai Rp6 juta.
Disparitas antar daerah tetap menjadi isu fundamental. Data terbaru menunjukkan 10 daerah dengan KHL tertinggi dipimpin oleh Jakarta (Rp5,89 juta), Kalimantan Timur (Rp5,73 juta), Kepulauan Riau (Rp5,71 juta), Papua (Rp5,31 juta), Bali (Rp5,25 juta), Papua Barat (Rp5,24 juta), Kalimantan Utara (Rp4,96 juta), Maluku Utara (Rp4,43 juta), Banten (Rp4,29 juta), dan Kalimantan Tengah (Rp4,27 juta). Kesenjangan ini mencerminkan tantangan logistik, urbanisasi, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-beda.
Dampak Positif, Daya Beli yang Terjaga
Untuk pekerja dan masyarakat. Kenaikan UMP, meskipun moderat, diharapkan memberikan reprieve bagi jutaan pekerja yang menghadapi tekanan inflasi berkelanjutan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan inflasi pangan mencapai 4,99 persen pada Oktober 2025, jauh melampaui inflasi umum 2,86 persen. Kenaikan upah minimum memberikan buffer finansial bagi pekerja untuk mempertahankan daya beli mereka dalam menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Survei Konsumen Bank Indonesia Quarter III 2025 menunjukkan bahwa indeks keyakinan konsumen naik signifikan ketika upah minimum meningkat, karena pekerja merasa lebih aman dalam memenuhi kebutuhan primer. Dengan demikian, kenaikan UMP 2026 diharapkan memperkuat confidence masyarakat dan stabilitas permintaan domestik.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, jutaan keluarga pekerja mengandalkan setiap rupiah dari gaji mereka untuk membayar sewa, membeli bahan makanan, membayar pendidikan anak, dan mengantisipasi pengeluaran kesehatan darurat. Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen telah terbukti mengurangi angka pekerja yang masuk kategori rentan miskin, kelompok yang hidup di perbatasan garis kemiskinan. Kenaikan 2026, meski moderat, diharapkan terus membendung tren ini.
Selain itu, kebijakan ini mencerminkan komitmen negara terhadap amanat konstitusional bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan penghasilan yang memenuhi kehidupan layak. Peningkatan alpha dalam formula baru secara simbolis mengakui kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah mencapai rata-rata 5 persen per tahun.
Untuk ekonomi domestik. Kenaikan upah minimum mendorong konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika pekerja memiliki penghasilan lebih tinggi, mereka cenderung meningkatkan belanja untuk kebutuhan dan keinginan mereka, dari makanan berkualitas lebih baik, pendidikan anak, hingga barang-barang konsumsi durable. Permintaan domestik yang meningkat menciptakan efek multiplier positif di seluruh ekonomi.
Untuk UMKM, khususnya yang melayani pasar kelas bawah, peningkatan daya beli pekerja adalah peluang emas. Ketika jutaan keluarga pekerja memiliki pendapatan lebih tinggi, mereka membeli lebih banyak dari pedagang keliling, warung makan, toko suku cadang, dan usaha kecil lainnya yang tersebar di komunitas mereka. Dengan strategi yang tepat kolaborasi, promosi digital, pengelolaan stok yang efisien, UMKM dapat memanfaatkan momentum lonjakan daya beli ini.
Kenaikan UMP juga dapat mengurangi beban sosial negara. Pekerja dengan penghasilan lebih tinggi dan lebih stabil cenderung menabung, mengurangi ketergantungan pada pinjaman digital (pinjol) yang berisiko, dan memiliki kapasitas investasi pendidikan anak yang lebih baik. Ini menciptakan lingkaran positif untuk mobilitas sosial dan pengurangan kemiskinan struktural dalam jangka panjang.
Dampak Negatif, Tekanan Biaya dan Krisis Lapangan Kerja
Untuk industri padat karya. Kekhawatiran pengusaha terhadap UMP 2026 bukan tanpa dasar empiris. Biaya upah mampu menyerap 30 hingga 40 persen dari total biaya operasional di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, makanan dan minuman, serta logistik. Dengan kenaikan upah sebesar 5 hingga 7 persen atau lebih, perusahaan di sektor ini menghadapi pilihan sulit: meningkatkan harga produk, mengurangi margin keuntungan, atau melakukan efisiensi biaya yang dapat merugikan penyerapan tenaga kerja.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan tegas mengatakan bahwa rentang alfa 0,5 hingga 0,9 melampaui ekspektasi mereka. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, memperingatkan bahwa dengan formula saat ini, kenaikan upah berpotensi mencapai 7 hingga 10 persen per tahun tanpa diiringi peningkatan produktivitas yang sebanding.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya tumbuh 1,5 hingga 2 persen per tahun, gap yang dramatik. Jika gap ini terus membesar, perusahaan akan terpaksa menalihkan beban tambahan ke konsumen melalui kenaikan harga, atau kepada pekerja melalui pengurangan jam kerja dan lembur.
Data performa industri quarter III 2025 memperkuat kekhawatiran ini. Sektor-sektor padat karya menunjukkan pertumbuhan di bawah rata-rata nasional bahkan kontraksi. Industri tekstil dan pakaian jadi, hanya 0,93 persen year-on-year. Alas kaki, kontraksi 0,25 persen. Pengolahan tembakau turun 0,93 persen. Furnitur anjlok 4,34 persen dan karet dan plastik menurun 3,2 persen.
Dalam kondisi industri yang sudah melemah, kenaikan biaya upah yang signifikan akan menambah beban finansial yang sudah berat. Akibatnya, perusahaan akan lebih selektif dalam merekrut tenaga kerja baru, bahkan mempertimbangkan relokasi ke daerah dengan UMP lebih rendah atau negara lain dengan biaya tenaga kerja yang kompetitif.
Risiko Relokasi dan Kehilangan Investasi
Apindo telah melaporkan bahwa ketidakpastian UMP 2026 sudah mendorong pengusaha untuk merelokasi pabrik mereka. Pasar global untuk industri padat karya Indonesia sangat kompetitif, Vietnam, Bangladesh, dan India semua menawarkan biaya upah yang jauh lebih rendah. Jika Indonesia terus meningkatkan beban biaya tanpa memberikan kepastian regulasi jangka panjang, investor akan memilih negara lain untuk ekspansi maupun realokasi kapasitas produksi.
Ketua Umum Apindo mengungkapkan keprihatinannya. “Sekarang juga sudah berjalan, banyak sekali relokasi industri kita” ujarnya. Ini bukan hanya tentang kehilangan pabrik di Indonesia, melainkan kehilangan devisa dari ekspor, hilangnya lapangan kerja untuk jutaan pekerja, dan menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional. Industri alas kaki saja, misalnya, pernah berkontribusi 64,50 persen dari devisa ekspor alas kaki pada era pemerintahan Presiden RI sebelumnya, aset strategis yang sangat berharga.
Hambatan Penciptaan Lapangan Kerja Baru
Kenaikan UMP yang agresif berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja baru. Perusahaan yang menghadapi peningkatan biaya operasional akan menunda ekspansi, membatasi rekrutmen, mengurangi jam kerja, dan mengerem lembur. Pada saat Indonesia masih memiliki tingkat pengangguran 7,47 juta orang dan 11,56 juta setengah penganggur, hambatan penciptaan lapangan kerja baru adalah ancaman serius.
Konsultan ketenagakerjaan Timboel Siregar menjelaskan dampak praktis: ketidakpastian UMP 2026 memperumit perencanaan anggaran perusahaan untuk tahun depan, terutama perhitungan labor cost dan harga pokok penjualan (HPP). Jika UMP naik lebih tinggi dari yang diperkirakan, produk perusahaan berpotensi kehilangan daya saing karena HPP yang membengkak. Dampak ekonomi ini akan dirasakan dengan ganda bagi pekerja, tidak hanya mereka tidak mendapat kesempatan kerja baru, melainkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui lembur berkurang.
Ilusi kesejahteraan menghadapi inflasi pangan. Dari perspektif pekerja, meski UMP naik, kenaikan tersebut berisiko menjadi ilusi kesejahteraan jika tidak diiringi pengendalian harga kebutuhan pokok. Inflasi pangan mencapai 4,99 persen, jauh melampaui inflasi umum 2,86 persen. Jika kenaikan UMP hanya 5 hingga 7 persen, dan harga beras, telur, protein naik 5 persen atau lebih, maka daya beli riil pekerja tidak meningkat signifikan, terutama bagi keluarga pekerja yang mengalokasikan 60 hingga 70 persen pendapatan untuk makanan.
Kelompok Kepala Buruh Migran Indonesia (KBMI) mempertanyakan apakah formula baru benar-benar mengakomodasi Kebutuhan Hidup Layak. Menurut mereka, UMP 2026 hanya menjaga buruh agar tetap berada di garis bertahan hidup, bukan membawa mereka menuju kehidupan yang berkualitas dan sejahtera. Formula yang menjadikan upah semata-mata variabel ekonomi telah menempatkan buruh sebagai penyangga krisis alih-alih sebagai subjek pembangunan.
Polemik Kebutuhan Hidup Layak, Kesenjangan Konsep dan Realitas
Kelemahan fundamental dalam penetapan UMP 2026 adalah kesenjangan antara standar KHL yang ditetapkan dan realitas kebutuhan hidup pekerja di lapangan. Data terbaru menunjukkan bahwa KHL di DKI Jakarta mencapai Rp5,89 juta per bulan, sementara UMP Jakarta 2025 hanya Rp5.396.761. Artinya, UMP Jakarta masih di bawah standar KHL yang ditetapkan pemerintah sendiri.
Untuk Jawa Barat, kajian International Labour Organization (ILO) yang dipaparkan di Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa UMP Jawa Barat seharusnya di angka Rp4,1 juta, sementara UMP Jawa Barat 2025 hanya Rp2,1 juta. Jika formula 2026 diterapkan dengan alpha minimal 0,5, kenaikan hanya mencapai Rp2,3 juta, masih jauh dari standar ILO.
Disparitas upah antarwilayah juga sangat lebar. Jawa Barat, yang merupakan pusat industri manufaktur terbesar, menghadapi rentang UMK dari Rp2,2 juta (Kota Banjar) hingga Rp5,79 juta (Kota Bekasi). Bahkan jika menggunakan alfa maksimal 0,9 untuk daerah dengan UMP rendah, selisih dengan daerah yang sudah tinggi tetap dua kali lipat. Ini menunjukkan bahwa formula UMP 2026, meski fleksibel, masih tidak mampu mengatasi ketimpangan upah struktural antarwilayah.
Analisis Kelompok Stakeholder, Kepentingan Berlawanan
Buruh dan serikat pekerja, kekhawatiran pemenuhan KHL. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan organisasi buruh lainnya secara terang-terangan menolak formula UMP 2026. Mereka mengatakan bahwa formula yang berlaku tidak mencerminkan dan tidak menjamin terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak bagi pekerja dan keluarganya. Alih-alih menerima kenaikan rata-rata 4 hingga 6 persen, KSPI menuntut kenaikan sebesar 8,5 hingga 10,5 persen.
Argumentasi KSPI sederhana namun kuat, pekerja telah dicekik oleh inflasi selama dua tahun terakhir. Harga sembilan bahan pokok tidak pernah kembali normal, tarif listrik terkerek, ongkos transportasi melambung, dan biaya kesehatan memeras kantong. Sementara itu, upah stagnan relatif. Kenaikan 8,5 hingga 10,5 persen bukan angka asal-asalan, itu adalah batas minimal agar pekerja setidaknya tidak jatuh lebih dalam dibanding tahun 2025.
Untuk Jakarta khususnya, KSPI menuntut UMP Rp6 juta (kenaikan 11 persen) dengan alasan bahwa kebutuhan hidup di Jakarta sangat mahal. Mereka juga menuntut agar UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) tetap diterapkan dengan kenaikan minimal 5 persen di atas UMP yang ditetapkan.
Pengusaha dan industri, khawatir akan keberlangsungan bisnis. Di sisi lain, pengusaha yang diwakili oleh Apindo, Kadin Indonesia, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), dan asosiasi sektoral lainnya, menyampaikan keprihatinannya dengan data konkret. Mereka tidak menolak kenaikan upah per se, melainkan menolak besaran dan mekanisme yang dinilai tidak mempertimbangkan kondisi riil dunia usaha.
Bob Azam dari Apindo menekankan bahwa struktur biaya dan margin tiap sektor sangat berbeda. Tidak bisa disamaratakan antara sektor high-margin (seperti industri otomotif atau elektronik) dengan sektor low-margin (seperti garmen atau alas kaki). Kadin mengusulkan implementasi yang berkeadilan dan berbasis data daerah, dengan mempertimbangkan kondisi daerah, produktivitas, dan kapasitas masing-masing sektor usaha.
Perhatian utama pengusaha adalah bahwa formula baru akan menciptakan siklus kenaikan upah eksponensial. Jika upah naik 7-8 persen per tahun tanpa diiringi peningkatan produktivitas yang sebanding, maka ini tidak sustainable. Dalam 5 tahun, upah akan naik 40 persen, sementara produktivitas mungkin hanya naik 10 persen, gap yang tidak bisa diatasi hanya dengan efisiensi internal.
Maka dari itu, pengusaha mengusulkan beberapa solusi alternatif. Pertama mekanisme bipartit level perusahaan untuk kenaikan upah tambahan, mempertimbangkan kondisi dan kemampuan masing-masing perusahaan. Kedua, bantalan transisi nyata, seperti insentif fiskal bagi industri padat karya, dukungan pelatihan produktivitas, dan skema penyesuaian bertahap untuk UMKM. Ketiga, regulasi jangka panjang yang konsisten, agar pengusaha dapat merencanakan investasi dengan kepastian.
Pertanyaan Struktural, Ketenagakerjaan Formal vs. Informal
Dimensi yang sering diabaikan dalam polemik UMP adalah bahwa kebijakan upah minimum hanya menjangkau sekitar 40 persen pekerja di sektor formal. Sementara itu, lebih dari 59 persen pekerja Indonesia berada di sektor informal yang tidak terikat pada regulasi UMP. Data Februari 2025 menunjukkan bahwa angka pekerja informal mencapai 86,58 juta orang atau 59,40 persen dari total angkatan kerja.
Fenomena ini mencerminkan apa yang para ekonom sebut sebagai kemiskinan struktural, pasar kerja formal gagal menyediakan lapangan kerja layak yang cukup, memaksa angkatan kerja untuk menciptakan mata pencaharian sendiri dalam kondisi rentan. Pekerja informal dicirikan oleh ketiadaan kontrak formal, penggunaan teknologi sederhana, keterbatasan modal, serta minimnya jaminan sosial dan perlindungan hukum.
Implikasi ini penting: kenaikan UMP berdampak langsung hanya pada sebagian kecil angkatan kerja, sementara mayoritas pekerja informal tetap menghadapi kondisi ekonomi yang sulit tanpa perlindungan hukum yang memadai. Dengan kata lain, UMP adalah instrumen yang incomplete untuk mengada-adakan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan di Indonesia.
Peluang dan Rekomendasi Jangka Panjang
Para pakar, akademisi, dan bahkan beberapa elemen pengusaha mengakui bahwa kenaikan UMP adalah inevitable mengingat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang positif. Namun, UMP tidak boleh berdiri sendiri sebagai instrumen kebijakan. Pemerintah perlu menerapkan pendekatan holistik yang mencakup, pertama, pengendalian harga kebutuhan pokok, terutama pangan, melalui stabilisasi rantai pasok dan regulasi harga untuk produk-produk essential.
Kedua, program subsidi BPJS yang signifikan bagi pekerja formal dan formal informal untuk mengurangi beban kesehatan. Ketiga, pembangunan rusun (rumah susun) murah dekat kawasan industri untuk mengurangi beban biaya perumahan.
Keempat, program vokasi, pelatihan teknis, dan sertifikasi yang terhubung langsung dengan kebutuhan industri. Kelima, insentif pajak terarah untuk UMKM, akses pembiayaan berbunga rendah, pendampingan manajemen, dan digitalisasi rantai pasok. Keenam, formalisasi dan perlindungan sosial bagi 59 persen pekerja informal yang saat ini berada di luar jangkauan kebijakan upah minimum.
Untuk dewan pengupahan daerah. Struktur baru yang memberikan wewenang kepada Dewan Pengupahan Daerah harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dewan ini harus memastikan bahwa keputusan UMP didasarkan pada data objektif, bukan pada tarik-menarik kepentingan sepihak. Pertimbangan harus mencakup, kondisi ekonomi daerah dan pertumbuhan riil, performa industri sektoral dan ekspor, standar KHL terbaru yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan kapasitas UMKM lokal untuk beradaptasi.
Untuk perusahaan dan pelaku usaha, kenaikan UMP meskipun menantang adalah momentum emas untuk restrukturisasi untuk investasi dalam peningkatan produktivitas melalui pelatihan karyawan, modernisasi teknologi, dan optimalisasi proses produksi. Kemudian, digitalisasi operasional untuk mengurangi biaya administratif dan meningkatkan efisiensi. Diferensiasi produk untuk meningkatkan nilai tambah dan margin keuntungan dan kolaborasi dengan UMKM supplier untuk memperkuat rantai pasok dan menciptakan ekosistem bisnis yang resilient.
Untuk pekerja dan organisasi buruh. Kenaikan upah adalah hak pekerja yang harus dikawal, namun perlu diikuti dengan, pertama adalah peningkatan keterampilan dan produktivitas untuk memastikan daya saing jangka panjang di industri. Kedua, transisi menuju sektor formal bagi pekerja informal untuk mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan sosial. Ketiga, kolaborasi konstruktif dengan pengusaha dan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang sustainable.


