Industri makanan beku atau frozen food di Indonesia mengalami transformasi luar biasa sepanjang 2025, mencatat pertumbuhan yang tidak hanya melampaui ekspektasi namun juga menciptakan momentum baru dalam lanskap bisnis F&B nasional. Nilai pasar yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun pada tahun 2025 menandai pencapaian signifikan ketika dibandingkan dengan nilai pasar tahun 2024 sebesar Rp 110 triliun, berdasarkan data dari berbagai sumber industri termasuk Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI).
Lompatan nilai pasar ini bukan sekadar angka statistik. Pertumbuhan sebesar kurang lebih 16% year-over-year mencerminkan perubahan fundamental dalam perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang semakin urban dan dinamis. Menurut Asosiasi Produsen Makanan Beku Indonesia (APMBI), permintaan frozen food telah meningkat 35% dalam dua tahun terakhir, menunjukkan akselerasi yang konsisten dari kuartal ke kuartal sepanjang 2025. Data internasional dari IMARC Group memperkuat temuan lokal, mencatat bahwa pasar frozen food Indonesia mencapai USD 3.4 miliar pada tahun 2024 dan diperkirakan akan terus tumbuh menjadi USD 3.6 miliar pada 2025.
Pertumbuhan ini tidak hanya signifikan dalam konteks domestik tetapi juga menunjukkan momentum yang selaras dengan proyek konservatif global. Lembaga riset internasional memproyeksikan market size Indonesia akan mencapai USD 5.9 hingga USD 6.1 miliar pada tahun 2033, dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) berkisar 5.99% hingga 7.50%, tergantung dari metodologi penelitian yang digunakan.
Faktor Pendorong Utama, Konvergensi Urbanisasi, Teknologi, dan Perilaku Konsumen
Pertumbuhan eksplosif bisnis frozen food di 2025 didorong oleh sejumlah faktor makro dan mikro yang saling menguatkan. Pertama adalah akselerasi urbanisasi di Indonesia. Dengan semakin tingginya mobilitas penduduk ke pusat-pusat kota, semakin banyak konsumen yang memiliki pola hidup sibuk dan tidak memiliki waktu untuk memasak dari bahan segar. Fenomena ini menciptakan permintaan organik untuk makanan yang praktis, cepat disajikan, namun tetap berkualitas dan bergizi.
Kedua, infrastruktur distribusi cold chain yang semakin canggih telah mengubah aksesibilitas produk frozen food. Jika sebelumnya frozen food hanya dapat ditemukan di supermarket dan hypermarket di kota-kota besar, kini armada frozen truck (thermoking) dan mini temperature-storage berkapasitas 10-100 ton telah menyebar ke berbagai pelosok Indonesia. Ketua Umum ARPI Hasanuddin Yasni mencatat bahwa infrastruktur cold chain untuk frozen food telah mencapai 35% dari kebutuhan nasional, dengan proyeksi pertumbuhan yang terus meningkat.
Ketiga, ekspansi pesat e-commerce dan digital marketplace telah merevolusi cara konsumen mengakses frozen food. Platform seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, dan layanan delivery terintegrasi seperti GrabFood dan GoFood telah membuka peluang akses yang belum pernah ada sebelumnya, terutama untuk konsumen di kota-kota tier-2 dan tier-3. Dalam periode Juni 2023 saja, kategori frozen food di e-commerce mencatat total penjualan lebih dari Rp 1.5 miliar dalam dua minggu, dengan top seller seperti Ferry Fish, Japfa Best Official, dan Meatbank mendominasi pangsa pasar.
Keempat adalah perubahan preferensi konsumen yang semakin sadar terhadap kesehatan dan kebugaran. Masyarakat modern tidak lagi melihat frozen food sebagai pilihan inferior atau berkualitas rendah. Riset tahun 2017 yang dikutip oleh berbagai sumber menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat antioksidan dan nutrisi antara produk segar dan beku, dengan beberapa produk beku bahkan mempertahankan vitamin lebih baik karena dibekukan pada puncak kematangan. Kesadaran ini telah menggeser persepsi konsumen dan mendorong permintaan akan produk frozen food yang sehat, rendah pengawet, dan bersertifikat halal.
Kelima, pasca-pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi paradigma dalam hal kepraktisan dan efisiensi. Pengalaman lockdown yang memaksa banyak rumah tangga untuk mengandalkan stok makanan yang tahan lama telah menciptakan habit baru dalam membeli dan mengkonsumsi frozen food. Perubahan perilaku ini terbukti dengan tetap tingginya permintaan frozen food di tahun 2025, menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekedar tren sesaat tetapi perubahan permanen dalam pola konsumsi.
Strategi Pemain Pasar, Diversifikasi, Inovasi, dan Ekspansi Vertikal
Dalam menghadapi pertumbuhan yang pesat ini, pemain-pemain utama industry frozen food Indonesia telah mengadopsi strategi agresif untuk memperkuat posisi pasar mereka. PT Japfa Comfeed Indonesia (JPFA), salah satu perusahaan peternakan terbesar di Indonesia, telah menjadi contoh utama strategi hilirisasi produk. Perusahaan dengan kode saham JPFA ini tidak lagi hanya berfokus pada penjualan daging mentah, tetapi telah mengembangkan portfolio produk yang mencakup produk siap masak, siap makan, dan berbagai olahan bernilai tambah tinggi seperti ayam boneless, ayam fillet, dan berbagai macam processed chicken. Strategi ini memungkinkan JAPFA untuk menangkap value chain yang lebih tinggi dan memenuhi permintaan konsumen yang semakin beragam.
Perusahaan yang disebut “TEGUK” (PT. Wahabusant) juga menunjukkan komitmen strategis yang sama. Dengan meluncurkan merek-merek baru dalam segmen daging beku seperti Evenbi dan Redie, perusahaan ini sedang memperluas jangkauan produk mereka. Penting dicatat bahwa fokus pada segmen daging beku tidak sepenuhnya tanpa dasar. Data menunjukkan bahwa tingkat konsumsi daging per kapita di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, menyiratkan potensi pertumbuhan pasar yang sangat besar. Ekspansi pabrik produksi dan pengolahan direncanakan akan berlangsung pada tahun 2026, dilengkapi dengan cold storage yang memenuhi standar keamanan pangan tertinggi.
Unilever Indonesia, meskipun telah melakukan divestasi bisnis es krim kepada PT The Magnum Ice Cream Indonesia pada Desember 2025, tetap mempertahankan fokus strategis pada kategori-kategori frozen food yang menguntungkan. Pemain global lainnya seperti AICE Group Holdings dan General Mills Inc. juga terus melakukan investasi dan inovasi produk untuk mempertahankan posisi kompetitif mereka di pasar yang semakin ramai ini.
Dari sisi UMKM dan bisnis rumahan, pertumbuhan adalah fenomena yang sangat terlihat. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang telah berhasil memanfaatkan platform e-commerce dan cold chain infrastructure yang semakin baik untuk memulai bisnis frozen food dengan skala kecil. Riset menunjukkan bahwa secara statistik, perbandingan kepemilikan chest freezer di masyarakat adalah 1 dari 40 penduduk, dengan proyeksi pertumbuhan yang terus meningkat.
Tren Kategori Produk, Dari Tradisional hingga Inovasi
Dalam 2025, peta kategori produk frozen food di Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik. Produk daging dan seafood beku masih mendominasi dengan pangsa pasar 38.51% pada 2024, tetapi pertumbuhan paling dinamis justru terjadi di kategori-kategori lain.
Kategori ready meals (makanan siap saji beku) seperti dimsum, ramen beku, nasi goreng beku, dan pasta beku terus menunjukkan pertumbuhan yang konsisten, didorong oleh meningkatnya jumlah urban professionals yang mencari makanan praktis. Dalam konteks lokal yang kaya budaya, banyak produsen mulai menghadirkan makanan tradisional Indonesia dalam format frozen, seperti rendang beku, pempek beku, dan gudeg beku, membuka peluang baru untuk ekspor dan penetrasi pasar yang lebih luas.
Kategori frozen fruits and vegetables mengalami revitalisasi yang signifikan. Buah seperti stroberi, mangga, dan nanas beku mulai sering ditemui di supermarket, sementara sayuran seperti jagung, buncis, dan brokoli beku menjadi pilihan standar untuk kebutuhan sehari-hari. Lebih menarik lagi, data ekspor menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam produk buah beku, dengan pertumbuhan ekspor mencapai rata-rata 75% per tahun selama lima tahun terakhir (2020-2024), jauh melampaui pertumbuhan global yang hanya 5.51% per tahun.
Kategori frozen bakery products mulai menunjukkan momentum pertumbuhan, dengan berbagai produk seperti pastry, bread, dan dessert beku semakin banyak ditemui di retail modern. Dalam konteks halal food market Indonesia yang diproyeksikan mencapai 170 miliar USD pada 2025, permintaan akan frozen products yang bersertifikat halal juga mengalami pertumbuhan signifikan.
Saluran Distribusi, Dari Retail Tradisional hingga Digital-First
Transformasi saluran distribusi frozen food di 2025 mencerminkan evolusi yang lebih besar dalam lanskap retail Indonesia. Data menunjukkan bahwa supermarket masih memimpin dengan 40% dari total penjualan, diikuti minimarket dengan 30%, pasar tradisional dengan 20%, dan e-commerce dengan 10%. Namun, persentase e-commerce ini sangat menyesatkan karena tidak menangkap pertumbuhan logaritmik yang terjadi di channel digital.
Platform e-commerce telah menjadi game-changer yang substansial. Marketplace seperti Shopee dan Tokopedia tidak hanya menjadi saluran penjualan untuk brand-brand besar, tetapi juga telah memberdayakan ribuan UMKM dan produsen lokal untuk menjangkau pasar nasional tanpa perlu investasi retail fisik yang besar. Layanan same-day delivery dan cold chain logistics yang terintegrasi dengan e-commerce telah menghilangkan hambatan logistik yang sebelumnya menjadi penghalang utama pertumbuhan frozen food di daerah-daerah tier-2 dan tier-3.
Strategi omnichannel juga mulai berkembang, di mana modern retail chains mengintegrasikan pengalaman online-to-offline mereka. Kemitraan antara brand-brand frozen food dengan platform delivery seperti GrabFood, GoFood, dan Shopee Food telah menciptakan ekosistem baru yang memungkinkan konsumen mengakses produk frozen food dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.
Tantangan dan Hambatan, Kompleksitas di Balik Pertumbuhan yang Menggiurkan
Meskipun pertumbuhan frozen food di 2025 sangat mengesankan, industri ini menghadapi sejumlah tantangan substansial yang tidak boleh diabaikan. Pertama adalah persaingan yang semakin ketat dengan munculnya kompetitor baru baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan margin keuntungan yang semakin tipis dan diferensiasi produk yang sulit, banyak pemain kecil dan menengah menghadapi tekanan profitabilitas yang signifikan.
Kedua adalah volatilitas harga bahan baku. Fluktuasi harga daging, ikan, dan bahan-bahan lainnya di pasar global dan lokal menciptakan ketidakpastian dalam cost structure. Perusahaan-perusahaan besar memiliki kapabilitas hedging dan negosiasi yang lebih baik, tetapi UMKM sering kali terjebak dalam siklus harga yang tidak menguntungkan.
Ketiga adalah infrastruktur cold chain yang belum merata. Meskipun telah mencapai 35% dari kebutuhan nasional, masih ada gap yang signifikan dalam cakupan distribusi cold chain. Biaya energi untuk pemeliharaan refrigerasi juga masih tinggi, menambah beban operational cost. Di luar pulau Jawa, ketersediaan cold chain infrastructure masih sangat terbatas, menjadi bottleneck bagi ekspansi regional.
Keempat adalah kepercayaan konsumen terhadap bahan pengawet dan kualitas produk. Meskipun studi ilmiah menunjukkan tidak ada perbedaan nutrisi signifikan antara produk segar dan beku, masih banyak konsumen Indonesia yang percaya bahwa frozen food mengandung bahan pengawet berbahaya dan “tidak sesehat” produk segar. Edukasi konsumen menjadi kebutuhan yang belum sepenuhnya terpenuhi.
Kelima adalah regulasi dan sertifikasi yang semakin ketat. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) telah mengeluarkan peraturan ketat bahwa semua produk makanan beku dengan masa simpan lebih dari 7 hari dan diproduksi secara massal harus memiliki izin edar. Peraturan baru pada 2025 tentang beneficial ownership dan food safety testing juga menambah compliance burden bagi para pelaku usaha. Bagi UMKM kecil, biaya compliance ini seringkali tidak sebanding dengan benefit yang diterima.
Keenam adalah ketersediaan SDM berkualitas dalam industri cold chain. Meskipun industri berkembang pesat, ketersediaan tenaga ahli yang memahami operasional cold chain, refrigeration, dan quality control masih terbatas. Summit Infrastruktur Cold Chain Indonesia 2025 telah mengidentifikasi ini sebagai area krusial yang memerlukan investasi dalam pengembangan SDM.
Regulasi dan Standar, Kerangka Kerja yang Ketat namun Perlu
Salah satu aspek penting yang sering diabaikan dalam diskusi tentang pertumbuhan frozen food adalah peran regulasi dan standar. Pada 2025, BPOM telah memperkuat requirements untuk pendaftaran produk pangan, termasuk frozen food. Produk frozen food yang memiliki masa simpan lebih dari 7 hari atau diproduksi secara massal wajib memiliki izin edar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
Proses pendaftaran melibatkan beberapa tahap yang ketat, termasuk submission dokumen pendukung, inspeksi fasilitas, dan testing produk. Sertifikasi BPOM berlaku selama lima tahun setelah itu harus diperbaharui. Bagi perusahaan besar, proses ini adalah bagian standar dari operasional mereka, tetapi bagi UMKM dengan kapasitas administrative yang terbatas, compliance ini seringkali menjadi hambatan yang cukup signifikan.
Selain regulasi federal, standar SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk cold chain logistics masih dalam proses pengerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang mengambil langkah pro-aktif untuk memastikan standarisasi di seluruh industri. Inisiatif ini akan memberikan clarity dan konsistensi, tetapi juga akan meningkatkan compliance cost untuk para pelaku usaha.
Ekspor, Peluang Global yang Mulai Terlihat
Sementara fokus utama industri frozen food Indonesia masih pada pasar domestik, peluang ekspor mulai menunjukkan sinyal positif. Kategori frozen fruits menunjukkan pertumbuhan ekspor yang sangat impressive, dengan pertumbuhan rata-rata 75% per tahun selama lima tahun terakhir (2020-2024). Pada 2024, ekspor buah beku Indonesia mencapai USD 43.35 juta, meningkat 84.1% year-over-year dari tahun sebelumnya.
Meskipun masih tergolong kecil dalam konteks global (kurang dari 1% dari total ekspor frozen fruit global), tren ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi “rising star” dalam supply global frozen food. Thailand saat ini menjadi destinasi ekspor terbesar, mendominasi dengan 68.3% dari total ekspor buah beku Indonesia, diikuti Malaysia dan Vietnam.
Produk-produk lain seperti frozen seafood juga menunjukkan potensi ekspor yang signifikan, mengingat kaya resources ikan dan seafood Indonesia. Namun, untuk dapat fully capitalize pada peluang ekspor ini, Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas, standardisasi produk, dan compliance dengan regulasi internasional.
Proyeksi untuk 2026, Ekspansi, Konsolidasi, dan Transformasi Digital
Memasuki 2026, industri frozen food Indonesia diproyeksikan untuk memasuki fase baru yang ditandai oleh ekspansi geografis, konsolidasi pasar, dan transformasi digital yang lebih dalam.
Ekspansi geografis, pasar-pasar tier-2 dan tier-3 akan menjadi frontier pertumbuhan utama di 2026. Dengan improving cold chain infrastructure dan e-commerce penetration yang semakin tinggi, aksesibilitas ke pasar-pasar di luar Jawa akan meningkat signifikan. Investasi dalam mini temperature-storage dan distribution hub di kota-kota regional akan menjadi strategic priority bagi pemain besar.
Konsolidasi pasar, Sementara pertumbuhan memungkinkan entry bagi pemain baru, persaingan yang ketat akan mendorong konsolidasi pasar. Pemain-pemain menengah dengan kapabilitas terbatas dalam manufacturing excellence, cold chain logistics, dan digital marketing akan mengalami pressure untuk merger atau exit. Di sisi lain, pemain besar akan terus berekspansi melalui akuisisi brand-brand lokal yang memiliki strong positioning di segment tertentu.
Transformasi digital. Adoption teknologi dalam cold chain operations akan menjadi competitive differentiator utama. Internet of Things (IoT) sensors untuk real-time temperature monitoring, predictive analytics untuk demand forecasting, dan blockchain untuk supply chain traceability akan semakin common. E-commerce akan terus mendominasi growth, dengan social commerce dan live shopping emerging sebagai channel penjualan yang signifikan.
Inovasi produk. Konsumen akan terus mencari produk yang lebih sehat, lebih sustainable, dan lebih aligned dengan dietary preferences mereka. Frozen food dengan label “clean label” (minim preservatives), organic, vegan, dan keto-friendly akan menjadi segment growth yang signifikan.
Regulatory compliance. Dengan standardisasi cold chain dan food safety regulations yang semakin ketat, landscape regulatory akan menjadi lebih predictable tetapi juga lebih demanding. UMKM akan increasingly depend pada business groups atau franchisors untuk memenuhi compliance requirements.
Infrastructure investment. Pemerintah, melalui inisiatif seperti Indonesia Cold Chain Infrastructure Summit 2025 dan perencanaan logistik nasional, akan terus investasi dalam infrastruktur cold chain. Ini akan menurunkan cost dan meningkatkan reliability dari cold chain ecosystem, benefit yang akan mempercepat pertumbuhan industri.
Momentum Pertumbuhan yang Berkelanjutan dengan Tantangan yang Perlu Diatasi
Bisnis frozen food di Indonesia memasuki fase pertumbuhan yang paling dinamis dalam sejarahnya, didorong oleh konvergensi urbanisasi, transformasi digital, dan perubahan perilaku konsumen. Dengan nilai pasar yang telah mencapai Rp 200+ triliun pada 2025 dan proyeksi pertumbuhan CAGR 5.99-7.50% hingga 2033, industri ini menawarkan peluang investasi dan entrepreneurship yang sangat signifikan bagi berbagai pemain.
Namun, kesuksesan jangka panjang industri ini akan sangat tergantung pada kemampuan para stakeholder untuk mengatasi tantangan-tantangan substansial: persaingan yang ketat, volatilitas harga bahan baku, infrastruktur cold chain yang belum merata, dan ketat regulasi. Pemain-pemain yang berhasil mengintegrasikan operational excellence, innovation, dan sustainability akan emerge sebagai winners di tahun-tahun mendatang.
Dengan entering 2026, landasan telah disiapkan untuk fase transformasi yang lebih dalam. Industri frozen food Indonesia bukan lagi sektor niche tetapi menjadi core component dari food security, economic growth, dan urban lifestyle Indonesia modern. Momentum ini, jika dikelola dengan baik, dapat membawa industri ini tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga berkontribusi signifikan dalam supply chain global.


