Sejak terungkapnya praktik pengoplosan beras premium oleh beberapa produsen besar, rak-rak beras kemasan di ritel modern di berbagai kota Indonesia mengalami kekosongan stok. Penarikan massal produk premium, ditambah enggannya distributor memasok kembali barang, memicu kelangkaan yang memengaruhi harga dan pasokan pangan pokok masyarakat.
Kelangkaan beras kemasan di pasar modern bukan semata soal distribusi, melainkan efek domino dari skandal beras oplosan premium: penarikan stok massal, ketidakpastian suplai, dan perubahan pola jual oleh distributor. Dampaknya mencakup kenaikan ketergantungan pada pasar tradisional, potensi gejolak harga, kerugian ekonomi triliunan rupiah, serta risiko defisit gizi bila tidak ada langkah cepat mengamankan pasokan dan menjaga mutu beras nasional. Masyarakat disarankan memantau kembali kualitas beras sebelum pembelian, sementara pemerintah perlu mempercepat penyelesaian kasus hukum dan memastikan pasokan kembali stabil di ritel modern.
Kronologi Kasus dan Penarikan Stok
Pada awal Agustus 2025, Satgas Pangan Polri menetapkan tiga petinggi PT Padi Indonesia Maju (PIM) sebagai tersangka pengoplosan beras premium. Pemeriksaan laboratorium dan saksi ahli mengungkap pencampuran beras kualitas rendah ke kemasan premium tanpa memenuhi standar mutu dan takaran. Dari PT PIM, polisi menyita 13.740 karung beras kemasan dan 58,9 ton beras patah berbagai merek premium seperti Sania, Fortune, Siip, dan Sovia.
Menindaklanjuti temuan tersebut, sejumlah distributor menarik seluruh stok beras premium dari gudang dan ritel modern. Pada tanggal 7 Agustus 2025, pantauan CNBC Indonesia di gerai Alfamart dan Indomaret kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, menunjukkan rak khusus karung 5 kg premium kosong total. Pegawai mengonfirmasi penarikan ke gudang sekaligus ketiadaan barang baru masuk pasca, Lebaran Idul Fitri.
Situasi serupa dilaporkan oleh Republika di pasar modern Jakarta Barat, di mana manajemen Alfamart dan Indomaret secara serempak menarik merek premium dan menggantinya hanya dengan beras merah atau sisa stok terbatas. Kelangkaan ini diperkirakan berlanjut karena belum ada kepastian waktu suplai kembali dari Bulog untuk program SPHP maupun dari produsen swasta.
Dampak Ekonomi dan Proyeksi Pasokan
Pengamat dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyatakan kelangkaan beras di ritel modern bisa berlanjut hingga 2025 karena aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) membuat distributor ritel enggan membeli jika kualitasnya diturunkan, dan memilih menjual di pasar tradisional dengan harga di atas HET. Akibatnya, pasokan beras premium terfokus ke segmen informal dengan harga yang tidak terikat HET.
Proyeksi jangka menengah hingga panjang memperingatkan potensi defisit beras nasional. Model ARIMA menunjukkan permintaan beras tumbuh lebih cepat daripada pasokan, yang bisa memicu defisit beras hingga tahun 2045.
Kepala Badan Pangan Nasional mencatat kerugian konsumen akibat praktik oplosan mencapai hampir Rp 99 triliun per tahun. Menteri Pertanian juga menegaskan adanya 212 merek beras yang diuji, di mana 85,56% beras premium tidak sesuai mutu dan 88,24% beras medium melampaui HET.
Implikasi Gizi dan Kesehatan
Adulterasi beras premium menurunkan kandungan vitamin B1 dan menyebabkan nasi lebih cepat basi, meski tidak menimbulkan efek fatal langsung jika tetap menggunakan beras asli. Namun, dosen Gizi Unisa Yogyakarta mengingatkan risiko defisit gizi kumulatif dari konsumsi beras oplosan jangka panjang, termasuk potensi gangguan metabolik dan tekanan darah tinggi karena perubahan nilai gizi dan kemungkinan kontaminasi mikroba. Dosen UM Surabaya menambahkan beras oplosan yang disimpan lama rentan kutu dan jamur, berisiko menurunkan nutrisi dan memicu gangguan pencernaan serta menurunnya daya tahan tubuh.



sptnya di indonesia skrg beras mahal semua dari berita2 di tv dan media online juga banyak daerah2 khususnya jawa dn pemerintah tidak merespon dgn baik cuma omon2 aja stok beras di bulog melebihi, apanya melebihi? tp harganya yg lebih bessaaar