Memasuki akhir tahun 2025, masyarakat Indonesia kembali menghadapi fenomena tahunan yang hampir pasti terjadi lonjakan harga bahan pokok menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Meski data terbaru per 18 Desember menunjukkan sebagian komoditas mengalami penurunan, pergerakan harga tetap menjadi perhatian serius karena implikasinya terhadap daya beli dan stabilitas ekonomi rumah tangga, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Kenaikan harga sembako jelang Nataru 2025 adalah fenomena yang multifaktorial, menggabungkan elemen musiman yang prediktibel, guncangan iklim yang tidak terduga, permintaan konsumen yang meningkat tajam, dan keterbatasan struktural dalam sistem logistik dan distribusi pangan nasional. Meski data terbaru menunjukkan beberapa komoditas mengalami koreksi harga, fenomena ini tidak menghilangkan realitas bahwa masyarakat Indonesia, terutama kelompok berpenghasilan rendah, tetap menghadapi tekanan signifikan terhadap daya beli mereka pada periode-periode kritis seperti ini.
Respons pemerintah melalui penetapan HET/HAP, koordinasi dengan pelaku usaha, dan ancaman terhadap spekulan menunjukkan komitmen untuk menjaga stabilitas. Namun, untuk mengatasi permasalahan secara berkelanjutan, diperlukan reformasi lebih dalam dalam sistem rantai pasok pangan, pengurangan biaya logistik nasional, dan pengelolaan impor yang lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika pasar musiman. Hanya dengan pendekatan holistik semacam itu, Indonesia dapat memutus siklus lonjakan harga pangan yang berulang setiap tahun menjelang momen-momen penting seperti Nataru, Lebaran, dan perayaan lainnya.
Gambaran Harga Pangan Terkini
Berdasarkan data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) periode pertengahan hingga akhir Desember 2025, situasi harga pangan menunjukkan tren yang beragam. Pada 18 Desember, harga beras premium tercatat Rp15.511 per kilogram, beras medium Rp13.479 per kg, dan beras SPHP Rp12.400 per kg, masing-masing mengalami penurunan tipis antara 0,39 hingga 0,59 persen dibanding hari sebelumnya.
Untuk protein hewani, harga daging sapi murni bertahan di Rp131.267 per kg, daging ayam ras Rp38.597 per kg, dan telur ayam ras Rp30.273 per kg. Sementara itu, komoditas hortikultura menunjukkan volatilitas lebih tinggi, cabai rawit merah mencapai Rp69.963 per kg, bawang merah Rp46.240 per kg, dan bawang putih Rp33.778 per kg. Gula konsumsi tercatat Rp17.588 per kg, sementara minyak goreng kemasan berada pada Rp19.879 per liter.
Meskipun mayoritas komoditas mengalami koreksi harga pada pertengahan hingga akhir Desember, fenomena ini tidak menghilangkan kekhawatiran akan kemungkinan lonjakan harga di hari-hari strategis menjelang perayaan akhir tahun, mengingat pola historis yang selalu menunjukkan dinamika harga kritis pada periode ini.
Penyebab utama pertama dari kenaikan harga pangan jelang Nataru adalah faktor musiman yang bersifat prediktibel namun sulit dikelola secara optimal. Periode akhir tahun, khususnya Oktober hingga Desember, bukan masa panen raya beras dan komoditas pangan lainnya. Menurut Menteri Pertanian, akhir tahun berada di tengah-tengah dua periode panen, panen kecil yang biasanya terjadi pada September hingga Oktober, dan panen besar yang diharapkan pada Februari.
Hal ini berarti bahwa November dan Desember secara struktural memiliki pasokan pangan yang minim, menciptakan ketidakseimbangan natural antara permintaan dan penawaran. Para pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menegaskan bahwa dua bulan terakhir tahun selalu mengalami fase kritis, di mana stok pangan nasional belum optimal karena ketergantungan pada panen berikutnya.
Kondisi ini diperburuk oleh dampak iklim ekstrem yang telah mengubah pola musiman yang sebelumnya lebih dapat diprediksi. Cuaca ekstrem yang melanda berbagai wilayah Indonesia sepanjang 2025 telah mengganggu siklus produksi pertanian secara signifikan. Berdasarkan laporan dari lapisan keahlian lembaga penelitian internasional, gangguan terkait iklim dalam sektor barang mudah rusak mencapai 93 persen dalam tiga tahun terakhir, dengan 75 persen pemilik kargo menghadapi kekurangan hasil panen akibat perubahan iklim.
Faktor kedua yang signifikan adalah spike dalam permintaan pangan yang terjadi secara bersamaan di seluruh wilayah menjelang Nataru. Momen perayaan Natal dan Tahun Baru memicu peningkatan konsumsi secara dramatis, tidak hanya dalam volume tetapi juga dalam jenis dan kualitas produk yang dikonsumsi. Masyarakat cenderung membeli bahan makanan berkualitas lebih tinggi, protein premium, serta bahan makanan siap jadi dalam jumlah lebih besar untuk mempersiapkan hidangan spesial.
Penelitian pada fenomena serupa yang terjadi menjelang Lebaran menunjukkan bahwa lonjakan permintaan adalah akibat dari kombinasi faktor budaya, tradisi keluarga, peningkatan pendapatan musiman, dan nilai-nilai sosial yang mendorong konsumsi lebih banyak pada momen-momen penting. Ketika permintaan meningkat secara bersamaan di banyak wilayah, hal ini menciptakan kompetisi pasokan di tingkat distribusi yang menekan harga ke atas.
Menurut data yang dirilis Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) sekaligus Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, meskipun pemerintah mengklaim stok pangan dalam kondisi aman menjelang Nataru, permintaan yang tinggi tetap menciptakan tekanan pada pasar konsumen.
Faktor ketiga yang menjadi penyebab fundamental adalah tingginya biaya logistik dan gangguan rantai pasok pangan nasional. Indonesia saat ini menghadapi biaya logistik yang sangat tinggi, mencapai 14,5 persen dari nilai barang, jauh di atas standar internasional yang sehat. Untuk konteks pangan, tingginya biaya logistik berarti bahwa distribusi bahan pokok dari sentra produksi di wilayah tertentu ke pusat-pusat konsumsi menjadi mahal, terutama untuk wilayah Timur Indonesia.
Permasalahan logistik ini diperumit oleh kebijakan pembatasan operasional kendaraan angkutan berat saat Nataru. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB), pemerintah membatasi operasional truk sumbu tiga atau lebih, truk dengan kereta gandengan, serta kendaraan pengangkut galian, mulai dari tanggal 19-20 Desember 2025, 23-28 Desember 2025, dan 2-4 Januari 2026. Kendaraan-kendaraan ini hanya diizinkan beroperasi pada jalur arteri antara pukul 22:00 hingga 05:00 WIB.
Para ahli logistik dan rantai pasok, khususnya dari Universitas Katolik Parahyangan, menilai bahwa pembatasan ini berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap industri logistik dan ekonomi makro secara luas. Truk sumbu tiga dan lebih merupakan “tulang punggung” transportasi antar kota di Indonesia, dan ketika operasionalnya terbatas, muncul beberapa dampak berantai: keterlambatan pengiriman bahan baku ke industri manufaktur, penambahan biaya operasional (karena truk tetap menimbulkan biaya meski tidak beroperasi), dan potensi naiknya biaya ekspedisi.
Menambah komplikasi adalah kelambatan distribusi beras dari Bulog ke pasar konsumen. Meski Badan Urusan Logistik (Bulog) memiliki stok besar, pelepasan ke pasar terjadi secara lambat, menyebabkan harga beras premium dan medium tetap tinggi di tingkat konsumen karena keterbatasan pasokan di ritel meskipun stok nasional terklaim cukup besar.
Faktor keempat adalah peningkatan biaya produksi komoditas pangan di tingkat petani dan pengolahan. Salah satu alasan mendasar mengapa pemerintah perlu menyesuaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras dan komoditas lain adalah karena kenaikan harga gabah kering giling (GKP) di tingkat petani telah mencapai level yang tidak sustainable untuk industri penggilingan.
Ketika harga gabah yang dibeli petani naik signifikan sementara HET tetap statis, penggilingan beras tidak untung dan banyak yang berhenti operasi. Kondisi ini menciptakan paradoks: meski stok gabah nasional terklaim cukup atau bahkan melimpah, produksi beras dapat terhenti karena insentif ekonomi yang tidak mendukung lanjutnya proses produksi di tingkat penggilingan.
Untuk komoditas protein hewani, biaya pakan ternak, khususnya jagung menjadi faktor penentu. Penurunan produksi jagung akibat iklim ekstrem dan pembatasan impor dari negara-negara produsen telah mendorong kenaikan harga jagung, yang berimplikasi pada naiknya biaya produksi telur dan daging ayam.
Faktor kelima yang menjadi penyebab adalah praktik spekulasi harga dan peran middleman (perantara) yang mempermainkan pasar. Beberapa pedagang dan distributor besar menahan stok komoditas tertentu dengan harapan bahwa ketika permintaan mencapai puncak jelang Nataru, mereka dapat menjual dengan harga jauh lebih tinggi. Praktik ini menciptakan pasar yang tidak normal dan merugikan banyak pihak, petani, distributor jujur, dan terutama konsumen akhir.
Kepala Bapanas sendiri mengakui bahwa oknum middleman dalam rantai pasok pangan pokok telah menjadi concern pemerintah. Pada koordinasi Pengendalian Harga Pangan yang digelar tanggal 18 Desember 2025, pemerintah secara tegas menyatakan akan mengambil langkah tegas terhadap praktik perantara atau spekulasi harga yang menciptakan artificial scarcity.
Praktik ini terutama terlihat pada komoditas hortikultura yang lebih mudah diatur pasokannya. Penelitian pada periode sebelumnya menunjukkan bahwa kenaikan harga telur dan ayam pada minggu-minggu tertentu sebelum Nataru disebabkan oleh permainan middleman, bukan oleh kondisi pasokan yang sungguh-sungguh kritis.
Faktor keenam adalah sistem pengelolaan impor pangan yang kurang responsif terhadap lonjakan permintaan musiman. Sejak 2022, pemerintah menerapkan Sistem Neraca Komoditas (NK), sebuah tata kelola impor yang dirancang untuk menjaga stabilitas harga pangan nasional. Namun, dalam praktiknya, sistem ini masih menghadapi berbagai masalah.
Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sejak diterapkan, berbagai masalah masih muncul dalam pelaksanaan NK, mulai dari data pasokan yang tidak selalu akurat, lambatnya proses revisi kuota, hingga alokasi kuota impor yang kerap tidak sesuai kebutuhan pasar. Ketika lonjakan permintaan pada Nataru dan Lebaran membutuhkan sistem impor yang mampu bergerak cepat, tata kelola yang masih kaku dan lambat dalam beradaptasi menyebabkan harga pangan tetap tertekan ke atas.
Belum optimalnya sistem impor ini berarti bahwa pasokan komoditas-komoditas tertentu (seperti bawang putih, beras, dan komoditas lain yang bergantung pada impor) menjadi terbatas ketika permintaan puncak, sehingga harga naik sesuai hukum pasar.
Dampak Pada Daya Beli dan Kesejahteraan Sosial
Kenaikan harga pangan yang terjadi menjelang Nataru memiliki dampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Berdasarkan analisis dari peneliti lembaga penelitian terpercaya, kenaikan harga barang kebutuhan pokok telah menyebabkan penurunan signifikan dalam daya beli masyarakat.
Penelitian yang menganalisis dampak inflasi terhadap perilaku konsumsi menemukan bahwa ketika harga pangan naik, terutama untuk komoditas inelastis seperti beras, masyarakat tetap membeli dalam jumlah yang kurang lebih sama, tetapi mengorbankan pengeluaran di sektor lain atau mengurangi kualitas produk yang dibeli. Bagi rumah tangga miskin, hal ini dapat berarti pengurangan daya beli untuk kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan mendasar lainnya.
Lebih lanjut, risiko efek rambatan (second-round effects) ke sektor lain juga menjadi perhatian. Ketika harga pangan naik, biaya produksi UMKM yang menggunakan pangan sebagai bahan baku meningkat, yang pada gilirannya mendorong naiknya harga produk jadi. Hal ini dapat berdampak pada naiknya biaya transportasi dan logistik di industri lain.
Kebijakan Harga Tertinggi dan Komitmen Stabilisasi
Dalam menghadapi dinamika harga pangan menjelang Nataru, pemerintah telah mengambil serangkaian langkah kebijakan. Pertama, pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Harga Acuan Penjualan (HAP) untuk berbagai komoditas strategis melalui Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 12 Tahun 2024.
Normatif harga yang ditetapkan mencakup: beras medium dengan HET maksimal Rp12.500 per kg, daging sapi segar paha depan HAP Rp130.000-140.000 per kg, telur ayam ras HAP Rp30.000 per kg, cabai rawit merah HAP Rp40.000-57.000 per kg, dan minyak goreng rakyat HET Rp15.700 per liter.
Kedua, pemerintah menggelar koordinasi intensif dengan pelaku usaha pangan. Pada Koordinasi Pengendalian Harga Pangan yang berlangsung 18 Desember 2025, Kepala Bapanas Andi Amran Sulaiman bersama dengan asosiasi pelaku usaha peternakan sapi potong (GAPUSPINDO), asosiasi peternakan telur (PPN), dan asosiasi lainnya menegaskan komitmen bersama untuk menjaga harga dan pasokan dalam batas-batas yang masuk akal.
Dalam forum tersebut, para asosiasi pedagang dan produsen menyepakati untuk mematuhi HET dan HAP agar masyarakat dapat merayakan Nataru dengan tenang, harga stabil, dan pasokan tetap terjaga. Kepala GAPUSPINDO menegaskan bahwa stok daging sapi aman untuk kebutuhan Nataru dengan harga yang masih berada di bawah HAP yang ditetapkan.
Ketiga, pemerintah mengumumkan ancaman keras terhadap spekulan. Menteri Pertanian secara tegas menyatakan, “Yang menaikkan harga, saya pastikan saya vertigokan. Percaya sama saya,” merujuk pada komitmen untuk memberikan hukuman tegas kepada pihak yang melakukan kenaikan harga yang tidak wajar.
Keempat, pemerintah melaksanakan operasi pasar pangan dan bazar harga murah. Berbagai daerah telah melakukan koordinasi dengan distributor untuk memastikan bahwa bahan pokok tersedia di tingkat yang terjangkau melalui program-program khusus jelang Nataru.
Meski pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan, para pengamat ekonomi tetap melihat keterbatasan fundamental dalam pendekatan kebijakan pemerintah. Tantangan utamanya adalah bahwa kenaikan harga pangan menjelang Nataru merupakan kombinasi kompleks dari faktor musiman yang tidak dapat diubah, gangguan iklim global yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan, dan isu struktural rantai pasok yang memerlukan reformasi jangka panjang.
Setting HET dan HAP, meski penting, hanya dapat mengatasi sebagian dari permasalahan. Jika harga HET ditetapkan terlalu rendah relatif terhadap biaya produksi, produsen dan distributor akan menghentikan operasi atau memilih tidak menjual di pasar resmi, menciptakan kelangkaan yang paradoks. Sebaliknya, jika HET ditetapkan terlalu tinggi, kebijakan kehilangan daya untuk melindungi konsumen.
Lebih dalam, pemerintah perlu mengatasi akar masalah logistik, sistem impor yang kurang responsif, dan reformasi rantai pasok pangan yang lebih substansial. Biaya logistik yang tetap di 14,5 persen adalah beban struktural yang tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan harga musiman.


