Sistem Coretax (Core Tax Administration System) atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) telah menjadi fokus strategis pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun 2026. Namun, perjalanan implementasinya sejak 1 Januari 2025 memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas modernisasi sistem fiskal di negara besar dengan heterogenitas ekonomi yang tinggi.
Peluncuran Coretax merupakan fase penting dari Reformasi Perpajakan Jilid III yang dimulai sejak 2016, menandai komitmen pemerintah untuk mengarusutamakan transformasi digital dalam administrasi perpajakan. Sistem ini dirancang menggunakan pendekatan Commercial Off-The-Shelf (COTS) yang telah terbukti efektif di negara-negara maju, dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan wajib pajak.
Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak 2026 sebesar Rp 2.357,7 triliun, naik sekitar 13,5 persen dari proyeksi realisasi 2025. Angka ini ambisius mengingat tantangan teknis dan ekonomi yang dihadapi. Dengan alokasi anggaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) naik Rp 832 miliar untuk infrastruktur digital dan keamanan data, pemerintah memproyeksikan bahwa Coretax dapat menjadi motor penggerak pencapaian target tersebut.
Keefektifan Coretax, Fondasi Transparansi dan Efisiensi
Penelitian akademis menunjukkan bahwa Coretax secara signifikan berkontribusi pada peningkatan transparansi sistem perpajakan. Sistem berbasis digital ini menyediakan akses real-time kepada wajib pajak terhadap informasi perpajakan mereka, menghilangkan batasan informasi yang sebelumnya menjadi kendala kepatuhan.
Transparansi yang ditawarkan Coretax mencakup. Pencatatan digital real-time, setiap transaksi perpajakan tercatat secara otomatis dan dapat ditelusuri dengan detail lengkap, termasuk waktu, jumlah, dan pihak yang terlibat.
Minimalisasi kesalahan pelaporan. Sistem validasi otomatis mengurangi potensi kesalahan administratif yang sebelumnya sering terjadi pada proses manual. Integrasi data multi-lembaga Coretax memfasilitasi sinkronisasi data antara Direktorat Jenderal Pajak, lembaga keuangan, dan instansi pemerintah lainnya, menciptakan ekosistem data yang terstruktur.
Dari aspek akuntabilitas, DJP memperoleh kapabilitas yang lebih kuat dalam melacak dan mengaudit transaksi pajak. Proses audit yang sebelumnya memakan waktu berbulan-bulan kini dapat dilakukan lebih cepat melalui analisis data terintegrasi.
Efisiensi biaya kepatuhan. Studi empiris terhadap wajib pajak menengah di Jakarta Selatan mengungkapkan dampak signifikan dari digitalisasi perpajakan melalui Coretax. Implementasi sistem menghasilkan pengurangan biaya kepatuhan sebesar 31,8 persen dibandingkan periode baseline. Reduksi ini mencakup, biaya waktu, pengurangan jam kerja yang diperlukan untuk administrasi pajak. Biaya administratif, penurunan pengeluaran untuk dokumentasi dan koordinasi dengan konsultan pajak. Biaya kesempatan, efisiensi yang memungkinkan fokus pada kegiatan bisnis inti.
Efisiensi ini sangat krusial untuk mendorong kepatuhan sukarela, sebab pengusaha yang merasakan beban administratif ringan lebih cenderung mematuhi kewajiban pajak tepat waktu.
Pendekatan kepatuhan berbasis risiko. Coretax mengimplementasikan Compliance Risk Management Integrated Risk Engine (CRM-IRE), sebuah metodologi yang memungkinkan DJP mengidentifikasi potensi ketidaksesuaian data tanpa melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap semua wajib pajak. Pendekatan ini lebih efektif karena, fokus pada subjek dengan risiko tinggi, menghemat sumber daya audit. Deteksi dini potensi penghindaran pajak melalui analisis big data.
Mempercepat proses penagihan pajak untuk kasus-kasus teridentifikasi. Integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Fitur penggabungan NIK dengan NPWP sejak Juli 2024 menyederhanakan administrasi. Wajib pajak orang pribadi tidak lagi membutuhkan NPWP terpisah, menghilangkan proses registrasi yang kompleks dan mengurangi hambatan bagi individu yang ingin memenuhi kewajiban pajak mereka.

Grafik di atas menunjukkan dampak teknis dari peluncuran Coretax pada kuartal pertama 2025, yang akan kami bahas lebih detail dalam bagian berikutnya.
Kekurangan Fundamental Sistem Coretax
Meskipun Coretax dirancang dengan visi “MANTAP” (Mudah, Andal, Terintegrasi, Akurat, dan Pasti), implementasinya sejak Januari 2025 mengungkapkan serangkaian kekurangan krusial yang mencerminkan kesenjangan antara desain teoritis dan realitas operasional.
Krisis implementasi awal, penurunan penerimaan pajak dramatis. Data penerimaan pajak bulan Januari 2025 bulan pertama pemberlakuan Coretax menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan. Penerimaan pajak total hanya mencapai Rp88,89 triliun, merosot 41,9 persen year-on-year dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp152,89 triliun. Penurunan ini tersebar di seluruh jenis pajak utama. PPN Dalam Negeri Rp2,58 triliun (turun 92,75% dari Rp35,6 triliun). Untuk PPh Badan Rp4,16 triliun (turun 77,14% dari Rp18,2 triliun) dan PPh Pasal 21 Rp15,96 triliun (turun 43,64% dari Rp28,3 triliun).
Penurunan yang paling dramatis terjadi pada PPN Dalam Negeri dengan kerugian 92,75%, mengindikasikan bahwa mekanisme pelaporan dan pembayaran PPN yang seharusnya menjadi tulang punggung sistem Coretax mengalami kegagalan fundamental.
Setidaknya, ada empat akar masalah teknis yang teridentifikasi. Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rijadh Djatu Winardi, mengidentifikasi empat penyebab utama kerusakan Coretax.
Pertama, ketidaksiapan sistem menangani akses massal. Coretax dirancang tanpa memperhitungkan lonjakan traffic real-time ketika jutaan wajib pajak mengakses sistem secara bersamaan di periode puncak (menjelang batas pembayaran). Fenomena “bottleneck” pada jaringan dan sistem menyebabkan waktu respons server melambat drastis dan akses sering gagal.
Kedua, bug pada fungsi-fungsi penting. Proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan masih mengalami runtime errors dan data validation failures. Ini mengindikasikan bahwa Quality Assurance (QA) dan User Acceptance Testing (UAT) tidak dilakukan secara menyeluruh sebelum deployment.
Ketiga, kapasitas dan arsitektur sistem tidak efisien. Infrastruktur server yang digunakan tidak dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dengan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar. Sistem mengalami service disruptions ketika volume data melonjak.
Keempat, kelemahan penggunaan COTS Software. Coretax yang dibangun dengan basis COTS menawarkan solusi generik yang tidak sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik unik perpajakan Indonesia. Perlu dilakukan customization ekstensif untuk mengatasi kompleksitas regulasi lokal.
Literasi digital dan kendala adopsi pengguna. Salah satu hambatan kritis implementasi Coretax adalah rendahnya tingkat literasi digital di kalangan wajib pajak, khususnya UMKM. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun Coretax dirancang untuk “memudahkan”, antarmuka sistem masih dianggap kompleks oleh pengguna pemula.
Studi terhadap pelaku UMKM di Jakarta Utara menemukan bahwa literasi pajak, kesadaran wajib pajak, dan penggunaan teknologi semuanya berpengaruh positif terhadap kepatuhan. Namun, sistem digital seperti Coretax belum meningkatkan ketiga variabel independen tersebut secara otomatis. Atribut wajib pajak seperti tingkat pendidikan dan kesadaran masih menjadi penentu kepatuhan yang lebih kuat daripada teknologi itu sendiri.
Temuan ini menunjukkan bahwa Coretax hanya menjadi efektif dalam konteks populasi yang sudah memiliki literasi digital dan kesadaran pajak yang tinggi. Untuk segmen pasar yang lebih luas terutama UMKM dan nelayan individu diperlukan pelatihan dan sosialisasi intensif yang belum sepenuhnya dilakukan.
Keterbatasan infrastruktur dan konektivitas. Indonesia menghadapi tantangan struktural berupa disparitas akses internet antara wilayah urban dan rural. Daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan) masih mengalami keterbatasan akses dan kualitas koneksi yang lambat. Keterbatasan infrastruktur ini tidak hanya menghambat wajib pajak dari daerah tersebut, tetapi juga menciptakan kesenjangan dalam kepatuhan perpajakan regional.
Kualitas koneksi yang lambat juga mempengaruhi pengalaman pengguna di wilayah perkotaan. Input data yang memerlukan koneksi stabil sering terganggu, menyebabkan proses pelaporan tertunda dan meningkatkan frustrasi pengguna.
Proses implementasi terburu-buru dan kurang matang. Kritik utama terhadap peluncuran Coretax adalah implementasi yang terlalu cepat tanpa persiapan memadai. Jarak antara pengumuman resmi hingga go-live hanya beberapa minggu (pertengahan hingga akhir Desember 2024 untuk peluncuran 1 Januari 2025), memberikan waktu sangat terbatas untuk uji coba komprehensif dengan partisipasi pengguna nyata. Pelatihan petugas dan wajib pajak skala besar. Mitigasi risiko yang matang dan skalabilitas testing untuk simulasi traffic puncak.
Pendekatan big-bang (penggantian sistem sekaligus tanpa periode transisi) adalah salah satu praktik terburuk dalam implementasi sistem enterprise, namun itulah yang dipilih pemerintah.
Dampak pada kepercayaan publik. Media sosial dipenuhi dengan keluhan dari pengguna Coretax mulai dari perusahaan besar hingga UMKM yang mengalami kesulitan akses, kegagalan login, dan sinkronisasi data yang tidak berjalan mulus. Ironisnya, ketika sistem gagal, wajib pajak tetap dibebankan sanksi administratif, menciptakan persepsi ketidakadilan yang merugikan reputasi pemerintah.
Ketidakpercayaan publik ini bukan hanya masalah psikologis, tetapi memiliki dampak ekonomi nyata: ketika wajib pajak meragukan reliabilitas sistem, mereka cenderung menunda pembayaran sampai sistem benar-benar stabil, mengakibatkan pengumpulan pajak yang tertunda.
Proyeksi Untuk Penerimaan Pajak 2026

Grafik di atas menunjukkan target ambisius pemerintah untuk 2026. Untuk mencapai target Rp2.357,7 triliun yang berarti pertumbuhan 13,5 persen dari proyeksi 2025 pemerintah telah merencanakan serangkaian strategi yang bergantung pada stabilisasi dan optimalisasi Coretax.
Target tax ratio dan realistic assessment. Pemerintah menargetkan tax ratio 2026 sebesar 10,08 persen hingga 10,45 persen terhadap PDB. Angka ini merupakan peningkatan dari tax ratio saat ini 10,02 persen, tetapi masih jauh di bawah target ambisius Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memprediksi Coretax dapat membawa tax ratio ke 11,5 persen.
Realisasi target ini bergantung pada tiga faktor krusial, stabilisasi teknis coretax. Sistem harus berjalan tanpa gangguan signifikan selama periode pelaporan dan pembayaran puncak.
Pertumbuhan ekonomi nasional. Penerimaan pajak bersifat pro-siklikal, artinya sangat bergantung pada aktivitas ekonomi. Produktivitas dan daya beli masyarakat harus tumbuh positif untuk meningkatkan basis pajak.
Kepatuhan sukarela. Meskipun Coretax memfasilitasi deteksi ketidakpatuhan, peningkatan kepatuhan ultimatif memerlukan perubahan perilaku dan kesadaran wajib pajak, yang tidak dapat dipaksakan oleh teknologi saja.
Integrasi PPh ke coretax, tantangan lebih besar di 2026. Pemerintah merencanakan integrasi PPh badan dan pribadi ke Coretax mulai 2026. Kompleksitas integrasi PPh jauh lebih tinggi daripada PPN karena, PPh melibatkan perhitungan yang lebih kompleks dengan berbagai jenis pemotongan dan pemungutan. Database PPh jauh lebih besar dengan pola transaksi yang lebih beragam dan sistem lama yang mengelola PPh (DJP Online) memiliki struktur data yang berbeda dari Coretax.
Asisten Menteri Keuangan mengakui bahwa PPh jumlahnya lebih kompleks daripada PPN. Risiko pertama kalinya sistem menangani integrasi PPh adalah terulangnya krisis Januari 2025. Untuk meminimalkan risiko ini, pemerintah perlu melakukan rollout bertahap dan extensive testing, keputusan yang belum dinyatakan secara eksplisit.
Status Aktivasi Akun dan Kesiapan Wajib Pajak
Data terkini menunjukkan bahwa hanya 32 persen atau sekitar 1,5 juta dari total 4,8 juta wajib pajak terdaftar yang telah mengaktifkan akun Coretax hingga akhir Desember 2025. Angka ini sangat rendah dan mengindikasikan preparedness yang masih jauh dari optimal untuk pelaporan SPT Tahunan 2025 pada Maret 2026.
Tingkat aktivasi akun yang rendah mengisyaratkan, ketidakpastian wajib pajak terhadap kesiapan sistem. Kurangnya sosialisasi masif dari pemerintah. Resistensi atau keengganan untuk migrasi ke sistem baru dan kemungkinan lonjakan aktivasi mendadak menjelang deadline, yang dapat membebani server.
Perbandingan Dengan Sistem Pajak Digital Negara Lain. Untuk konteks, Malaysia dan Singapura dua pemain ekonomi regional terkemuka telah mencapai tingkat kematangan yang lebih tinggi dalam digitalisasi perpajakan.
MyTax Malaysia, sistem digital pajak Malaysia, telah berhasil mengintegrasikan e-Filing dan e-Payment dengan sempurna melalui pendekatan phased dan API-based system. Sistem ini telah meningkatkan kepatuhan pajak secara signifikan melalui kombinasi teknologi yang matang, edukasi wajib pajak yang berkelanjutan, dan reformasi kebijakan yang konsisten.
IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore) terkenal dengan sistem perpajakan yang sangat efisien, transparan, dan digital. Pendekatan Singapura fokus pada user experience yang intuitif dan dukungan pengguna yang responsif.
Coretax masih tertinggal jauh dari level kematangan kedua sistem tersebut. Perbedaan utama adalah, timeline implementasi, Malaysia dan Singapura melakukan rollout bertahap selama bertahun-tahun, bukan overnight deployment. User testing, kedua negara melibatkan pengguna secara ekstensif dalam fase testing. Change management, kedua negara memberikan periode sosialisasi panjang sebelum enforcement ketat.
Rekomendasi Jalan Maju ke 2026
Dalam konteks jangka pendek (Kuartal 1-2 2026). Parallel Running System, mempertahankan akses ke sistem lama sebagai backup dan kelonggaran bagi pengguna yang belum siap. Ini memberikan peta jalan implementasi bertahap.
Sosialisasi intensif. Kampanye nasional yang agresif untuk aktivasi akun Coretax, dengan target minimal 70 persen aktivasi sebelum Maret 2026. Libatkan konsultan pajak, asosiasi bisnis, dan relawan pajak sebagai multiplier.
Pelatihan target, fokus pelatihan pada UMKM dan segmen wajib pajak yang kurang familiar dengan digital, bukan hanya pelatihan generic. Infrastructure strengthening. Perkuat kapasitas server, bandwidth, dan redundancy system untuk menangani traffic puncak tanpa degradasi performa.
Sementara itu, untuk capaian jangka menengah (2026). Customization COTS untuk regulasi lokal, investasi dalam customization Coretax untuk menangani nuansa perpajakan Indonesia yang tidak tercakup oleh template COTS generic.
Continuous improvement dan patch. Rilis update regular untuk mengatasi bug yang teridentifikasi, berdasarkan feedback pengguna nyata.
Literasi digital berkelanjutan. Program edukasi perpajakan digital yang tidak hanya one-time, tetapi berkelanjutan untuk membangun kesadaran dan kepatuhan jangka panjang. Integrasi data bertahap. Mulai integrasi PPh dengan tahapan yang sangat hati-hati, belajar dari pembelajaran Januari 2025.
Lantas, untuk capaian jangka panjang (Post-2026). Modernisasi infrastruktur regional. Investasi dalam konektivitas internet regional untuk menjangkau daerah 3T, sehingga Coretax dapat benar-benar menjadi sistem perpajakan nasional yang inklusif.
Harmonisasi pusat-daerah. Mengatasi fragmentasi pasca-UU HKPD dengan integrasi data antara DJP pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan single source of truth perpajakan.
Benchmarking dan best practice. Secara aktif mempelajari dan mengadopsi best practices dari MyTax Malaysia dan sistem Singapura, bukan hanya mempertahankan status quo yang sudah ada.
Modernisasi Yang Ambisius Akan Tetapi Rawan
Coretax mewakili komitmen pemerintah Indonesia untuk modernisasi administrasi pajak yang sesungguhnya. Dari perspektif desain dan visi, sistem ini memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kepatuhan pajak. Penelitian akademis dan pengalaman perusahaan besar menunjukkan bahwa ketika Coretax berfungsi optimal, sistem ini dapat menurunkan biaya kepatuhan hingga 32 persen dan meningkatkan efisiensi administrasi secara signifikan.
Namun, implementasi Januari 2025 mengungkapkan bahwa ambisi pemerintah belum diimbangi dengan kematangan eksekusi. Penurunan penerimaan pajak 41,9 persen dalam bulan pertama adalah indikasi bahwa proses implementasi terburu-buru tanpa uji coba dan persiapan yang memadai. Akar masalahnya bukan pada konsep Coretax itu sendiri, tetapi pada manajemen perubahan (change management) yang lemah dan underestimation terhadap kompleksitas teknologi enterprise dalam skala besar.
Untuk mencapai target penerimaan pajak 2026 sebesar Rp2.357,7 triliun, pemerintah harus melakukan tiga hal sekaligus, stabilisasi teknis sistem untuk memastikan uptime dan performance yang handal, sosialisasi dan edukasi intensif untuk meningkatkan literasi digital dan kepatuhan sukarela, dan growth ekonomi yang positif untuk memperluas basis pajak.
Tantangan terbesar di depan adalah integrasi PPh ke Coretax pada 2026. Dengan hanya 32 persen wajib pajak yang telah mengaktifkan akun hingga akhir 2025, risiko pengulangan krisis Januari 2025 sangat nyata. Pemerintah harus belajar dari kesalahan, melakukan rollout yang jauh lebih bertahap, dan memberikan periode transisi yang cukup lama untuk memastikan adopsi yang smooth.
Pada akhirnya, teknologi adalah enabler, bukan solusi lengkap. Coretax dapat mempermudah compliance, tetapi tidak dapat memaksa kepatuhan. Kesadaran wajib pajak, kualitas regulasi, dan pertumbuhan ekonomi tetap menjadi determinan utama penerimaan pajak. Jika pemerintah berhasil mengatasi tantangan teknis dan adopsi pengguna, Coretax berpotensi menjadi game-changer untuk perpajakan Indonesia. Sebaliknya, jika krisis berulang tanpa pembelajaran yang cukup, sistem ini berisiko menjadi simbol dari ambisi tanpa eksekusi yang mengikuti.


