Senin, Desember 22, 2025
spot_img
BerandaMarketMengintip Pasar Teh Global 2025

Mengintip Pasar Teh Global 2025

Pasar teh global menunjukkan pertumbuhan yang stabil pada 2025 dengan valuasi berkisar USD 79–102 miliar, tergantung metodologi penelitian, dengan proyeksi pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 6.0–6.6% hingga 2030. Indonesia, sebagai produsen teh tujuh terbesar dunia dengan kapasitas produksi 140,000–147,000 ton per tahun, menghadapi tantangan struktural dalam hal penurunan volume ekspor dan keterbatasan diversifikasi produk bernilai tambah. Pasar dalam negeri menunjukkan dinamika berbeda dengan fokus pada segmen ready-to-drink yang berkembang dengan pesat, sementara pasar global didominasi oleh pergeseran konsumen menuju produk premium dan kesehatan. Prediksi 2026 menunjukkan pemulihan harga teh global sebesar ~2% setelah penurunan 5% di 2025, didukung oleh peningkatan produksi di Asia Selatan dan Afrika Timur.

Pasar teh global 2025 menunjukkan pertumbuhan steady pada 6–6.6% CAGR, didorong oleh premiumization, health consciousness, dan innovation. Pasar Asia-Pacific mempertahankan dominansi dengan >40% market share, sementara North America dan Europe menunjukkan growth acceleration dalam premium/functional segments.

Indonesia, sebagai produsen tujuh terbesar dunia, menghadapi paradoks: kapasitas produksi besar namun tren ekspor menurun, plus konsumsi domestik rendah. Opportunity window terbuka melalui, diversifikasi menuju value-added products, penetrasi pasar premium domestik via RTD dan specialty channels dan quality improvement untuk unlock restricted markets.

Proyeksi 2026 menunjukkan harga teh akan recover ~2% dari penurunan 5% pada 2025, didukung oleh produksi yang meningkat di South Asia dan East Africa. Namun, climate volatility tetap risiko material terhadap supply stability. Untuk Indonesia, window peluang mencakup organic tea growth (14.3% CAGR), RTD segment expansion, dan reposisioning dari commodity supplier menjadi branded specialty producer.

Sustainability dan ethical sourcing menjadi increasingly non-negotiable differentiators, dengan programs seperti Trustea dan Rainforest Alliance certification membentuk competitive landscape. Producers yang align dengan trend ini akan mendapatkan pricing power dan market access premium yang superior.

Kondisi Pasar Global Teh 2025

Pasar teh global 2025 menunjukkan heterogenitas dalam estimasi valuasi. Penelitian dari berbagai lembaga riset memberikan indikasi nilai antara USD 79.77 miliar hingga USD 150.32 miliar, bergantung pada cakupan segmen yang terukur (retail, foodservice, atau keduanya). Mordor Intelligence memproyeksikan pasar pada USD 150.32 miliar pada 2025 dengan pertumbuhan menuju USD 202.44 miliar pada 2030 (CAGR 6.13%), sementara Knowledge Sourcing Intelligence menempatkan valuasi pada USD 79.765 miliar dengan proyeksi mencapai USD 108.457 miliar pada 2030 (CAGR 6.34%). Variasi ini mencerminkan perbedaan metodologi, beberapa penelitian menginklusikan segmen out-of-home (restoran, kafe), sementara lainnya fokus pada retail trade.

Angka global tea market mencapai USD 102 miliar pada 2025 merepresentasikan benchmark yang sering dirujuk dalam industri, dengan CAGR 6.3–6.6% diproyeksikan untuk periode 2025–2030. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan kesadaran kesehatan konsumen, inovasi produk, dan ekspansi saluran distribusi digital.

Dinamika Produksi dan Ekspor Global

Produksi teh global mencapai 7.05 juta metrik ton pada 2024, dengan konsentrasi geografis yang signifikan. China memimpin dengan 3.74 juta ton (53% dari top dua produsen), diikuti India dengan 1.28 juta ton. Kelima produsen teratas, China, India, Kenya, Türkiye, dan Sri Lanka menyumbang ~75% dari produksi global. Ekspor global mencapai 1.94 juta metrik ton pada 2024 (27.6% dari produksi), dengan Kenya, China, India, Sri Lanka, dan Vietnam sebagai lima eksportir terbesar.

Indonesia menduduki posisi ketujuh dengan produksi 140,000–147,000 ton per tahun, namun mengalami tren penurunan 1.7% secara tahunan dalam dekade terakhir. Kontras ini mencerminkan tantangan kompetitif dan dinamika produksi yang berbeda dengan produsen utama.

Tren Harga Komoditas 2025

Harga teh dalam satuan INR per kilogram menunjukkan volatilitas signifikan pada 2025. Pada 22 November 2025 (data terkini), harga mencapai 188.90 INR/Kg dengan penurunan 7.48% year-over-year dibandingkan periode yang sama di 2024. Dalam periode satu bulan terakhir, harga turun 6.55%, dan secara historis, harga tertinggi tercatat pada September 2020 sebesar 262.91 INR/Kg.

Penurunan harga ini mencerminkan kombinasi faktor, peningkatan produksi di beberapa region, khususnya Sri Lanka (peningkatan 2.82 juta Kg dalam periode Januari-Oktober 2025 dibandingkan periode sama di 2024), dan tekanan penawaran global yang relatif stabil. Proyeksi Trading Economics menunjukkan harga teh akan diperdagangkan pada 179.64 INR/Kg pada akhir kuartal 2025, dengan proyeksi jangka panjang (12 bulan) sebesar 104.35 INR/Kg, meski proyeksi ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati mengingat volatilitas pasar yang tinggi.

Segmentasi Teh Berdasar Jenis

Pasar teh global 2025 menunjukkan diferensiasi yang jelas berdasarkan tipe dan proses produksi, dengan implikasi berbeda untuk produsen dan konsumen.

Black Tea, dominasi pasar tradisional. Teh hitam (black tea) mempertahankan posisi dominan dengan market share 38.8–42.5% dari total pasar global. Segmen ini bernilai USD 27.99 miliar pada 2024 dengan proyeksi mencapai USD 45.5 miliar pada 2033 (CAGR 5.55%). Kepopuleran teh hitam didorong oleh, fleksibilitas persiapan dan variasi rasa yang luas, kehadiran flavonoid yang terkait dengan penurunan risiko penyakit jantung sebesar 8% dan stroke sebesar 16% pada konsumen yang minum 3–6 cangkir sehari dan dominansi dalam format tea bags (43.3% dari market share berdasarkan format). Di Amerika Serikat, teh hitam menyusun 86% dari total konsumsi teh, mencerminkan preferensi historis yang kuat.

Indonesia mengekspor teh hitam sebagai produk utama, dengan proporsi ~70% dari total ekspor teh, khususnya dalam kategori CTC (crush-tear-curl) yang diproduksi untuk pasar massal.

Green Tea, pertumbuhan kesehatan-driven. Teh hijau menunjukkan pertumbuhan paling dinamis dengan CAGR 8.04–9.8% dalam periode 2022–2030. Segmen ini bernilai USD 15.0 miliar pada 2024 dan diproyeksikan mencapai USD 29.27 miliar pada 2030. Pertumbuhan ini didorong oleh, konsentrasi polifenol yang tinggi (~90% dari berat kering), manfaat kesehatan yang terdokumentasi termasuk pencegahan kanker, penurunan kolesterol, dan dukungan penurunan berat badan, potensi pencegahan Alzheimer melalui konsumsi reguler. Penetrasi pasar hijau di Amerika Serikat mencapai 13.6% dari total konsumsi teh, menunjukkan peningkatan preferensi di pasar maju.

Indonesia memiliki kapasitas produksi teh hijau, namun fokus ekspor tetap pada teh hitam. Pasar dalam negeri menunjukkan adopsi teh hijau yang meningkat, terutama di kalangan konsumen kesehatan-sadar.

Herbal Tea dan Specialty Varieties. Teh herbal (tisanes) menunjukkan CAGR tercepat sebesar 8.2% dalam kategori teh, didorong oleh permintaan untuk opsi bebas kafein dengan manfaat kesehatan spesifik. Pasar herbal tea diproyeksikan mencapai USD 4.30 miliar pada 2025. Tren ini mencerminkan pergeseran konsumen terhadap produk natural, dengan 42% konsumen yang lebih memilih teh herbal organik dan 37% mencari produk tanpa flavor/aditif sintetis. Segmen ini mencakup chamomile untuk relaksasi, ginger untuk digestif, dan rooibos untuk antioxidant.

Pasar Teh Indonesia 2025

Indonesia menghasilkan 140,000–147,000 ton teh per tahun dengan trend penurunan 1.7% secara tahunan. Karakteristik pasar dalam negeri menunjukkan paradoks: meskipun Indonesia adalah produsen besar, konsumsi per kapita domestik hanya 0.32 kg/tahun, jauh di bawah rata-rata global (0.57 kg) dan sangat tertinggal dibandingkan negara konsumer utama seperti Türkiye (7.54 kg/tahun). Fenomena ini mencerminkan prioritas produksi yang berorientasi ekspor, mengakibatkan pasokan teh berkualitas tinggi terbatas di pasar domestik.

Pasar teh Indonesia secara keseluruhan diestimasi mencapai USD 2.5 miliar pada 2024, dengan peningkatan 1.9% year-over-year. Proyeksi menunjukkan pertumbuhan dari USD 1,413.3 juta (2023) menjadi USD 1,851.1 juta pada 2029, dengan CAGR sebesar 4.6%. Pertumbuhan ini didukung oleh ekspansi kelas menengah urban yang meningkatkan daya beli, tren tea café dan specialty tea retailers, inovasi produk dengan rasa lokal (jasmine, herbal blends).

Segmen Ready-to-Drink (RTD). Pasar RTD teh Indonesia menunjukkan dinamika paling menarik dengan valuasi USD 1.1 miliar pada 2023. Proyeksi pertumbuhan RTD mencapai CAGR 3.7% dari 2025 hingga 2030. Pertumbuhan ini didorong oleh gaya hidup urban yang menuntut convenience, preferensi konsumen muda terhadap produk ready-to-consume, ekspansi brand lokal seperti Sinar Sosro dan brand internasional. Segmen RTD menunjukkan preferensi untuk teh hitam (~dominan), diikuti green tea dan herbal variants. Tren menunjukkan pergeseran menuju low-sugar, natural ingredient formulations.

Harga retail RTD Indonesia pada 2025 menunjukkan kisaran, Es Teh Susu Nusantara (Medium Rp10,000, Large Rp15,000), Thai Tea (Rp11,000–16,000), dengan family packages dan botol 1-liter tersedia pada harga yang kompetitif (Rp75,000–90,000).

Segmen Organic Tea. Pasar teh organik Indonesia merupakan niche market berkembang dengan valuasi USD 14.2 juta pada 2024, diproyeksikan mencapai USD 31.7 juta pada 2030 (CAGR 14.3%), menunjukkan pertumbuhan tiga kali lebih cepat dari pasar teh keseluruhan. Segmen ini didominasi oleh Camellia sinensis-based products (95.77% pada 2024), dengan herbal tea sebagai fastest-growing sub-segment. Tren ini mencerminkan kesadaran konsumen terhadap sustainability dan organic sourcing.

Kinerja Ekspor 2025

Ekspor teh Indonesia pada Juni 2025 mencapai 2.84 ribu ton, menunjukkan penurunan 8.11% year-over-year dibandingkan Juni 2024. Kumulatif Januari–Juni 2025 mencapai 15.34 ribu ton, berada pada trajectory yang menurun. Kontras ini dengan data historis ekspor 2015 mencapai 61.915 ton yang menurun menjadi 42.811 ton pada 2019, menunjukkan tren penurunan berkelanjutan selama dekade terakhir.

Valuasi ekspor teh Indonesia pada 2023 mencapai USD 84.6 juta, menempatkan Indonesia sebagai eksportir teh ke-15 terbesar dunia. Perbandingan dengan produsen lain: Kenya mengekspor ~600,000 ton, India ~400,000 ton, menunjukkan signifikan gap dalam volume ekspor meskipun Indonesia adalah produsen tujuh terbesar global.

Data June 2025 menunjukkan Malaysia sebagai destinasi utama dengan 28.47% dari total volume ekspor (808.64 ton), diikuti Germany (380.31 ton) dan USA (344.9 ton). Data 2023 menunjukkan Malaysia (USD 14.5M), Australia (USD 11M), dan Russia (USD 6.74M) sebagai tiga destinasi teratas. Volatilitas pasar ekspor terlihat jelas—ekspor ke Pakistan mengalami penurunan 60% dalam periode 2016, menunjukkan risiko market concentration.

Faktor penentu ekspor teh Indonesia (2015–2019) mengungkapkan bahwa nilai tukar Rupiah/USD memiliki pengaruh negatif signifikan (β = -674.370, sig. 0.006), dengan kontribusi R² sebesar 15.7%, menunjukkan bahwa 84.3% variasi ekspor ditentukan oleh faktor lain seperti kualitas dan kebijakan perdagangan. Implikasi, pergerakan USD yang kuat dapat menurunkan daya saing ekspor Indonesia.

Hambatan kualitas tetap menjadi isu kritis. Hanya 6% dari ekspor Indonesia berupa produk bernilai tambah (processed, branded), sementara 94% adalah bulk tea dengan margin keuntungan rendah. Masalah residual anthraquinone membatasi akses ke pasar Uni Eropa, yang merupakan destination premium untuk teh specialty.

Pasar Kompetitor Utama

Sri Lanka, sebagai produsen dan eksportir teh ketiga terbesar dunia, menunjukkan dinamika pasar yang relevan untuk positioning Indonesia.

Produksi 2025. Produksi Sri Lanka dalam periode Januari–Oktober 2025 mencapai 220.97 juta Kg, meningkat 2.82 juta Kg dibandingkan periode sama di 2024. Proyeksi tahunan untuk 2025 adalah 280 juta Kg. Komposisi, Orthodox (traditional large leaf) mendominasi dengan 198,763 ton (2024), diikuti CTC tea, dan small volume green tea.

Ekspor Januari–Oktober 2025 mencapai 220.21 juta Kg, meningkat 17.06 juta Kg (9.2%) dibandingkan periode sama di 2024. Destinasi utama menunjukkan diversifikasi, Iraq memimpin dengan 33.88 juta Kg (peningkatan 25% YoY), Russia 18.40 juta Kg (penurunan 11%), Türkiye 17.73 juta Kg, Libya 17.40 juta Kg (peningkatan 134%, menunjukkan emerging market), UAE, Chile, Iran, China.

Nilai FOB ekspor menunjukkan penurunan dalam Rupiah Sri Lanka (LKR 1,754.28 vs LKR 1,774.98 periode sebelumnya), namun kenaikan dalam USD terms, mencerminkan efek parity currency yang kompleks.

Dari sudut pandang outlook dan implikasi harga, Sri Lanka Tea Exporters Association memproyeksikan tight supply situation untuk Orthodox Large Leaf teas untuk Q1 2026 dan kemungkinan Q2, mengingat declining tea crop trend, 2024 deficit Indian production, Q1 sebagai lean cropping period di sebagian besar negara produsen. Proyeksi harga tea diperkirakan akan tetap buoyant (kuat) untuk Q1 dan early Q2 2026, dengan recovery tergantung pada supply dynamics produksi teh global.

Faktor yang mempengaruhi harga untuk 2026, climate change impact, input costs, mechanization costs, wages, government policies, dan penggunaan pupuk.

Chanel Distribusi dan Tren Retail 2025

Dominasi supermarket dan hypermarket masih menjadi tren. Saluran distribusi teh global pada 2025 menunjukkan dominasi supermarket dan hypermarket dengan market share sebesar 47%. Keunggulan channel ini adalah one-stop shopping experience, shelf space luas untuk berbagai brand dan price point, strategic placement dan promotional activity, accessibility di urban dan suburban centers.

Pertumbuhan E-Commerce dan Direct-to-Consumer. E-commerce merupakan channel tercepat berkembang, menawarkan convenience dan broad product selection, detailed product information dan customer reviews, competitive pricing dan subscription models. Salah satu heritage brand melaporkan 80–90% dari consumer sales melalui e-commerce.

Direct-to-consumer (D2C) models menghilangkan intermediaries, memungkinkan relationship building lebih kuat dan pricing lebih kompetitif. Hybrid approach combining D2C dan retail alliances menjadi trend di industri.

Specialty Tea Stores. Specialty tea retailers melayani niche market premium dengan fokus pada high-quality dan artisanal products, personalized customer education, authenticity dan unique flavor profiles. Cities seperti New York, Philadelphia, Boston menunjukkan konsentrasi tinggi specialty shops, mentunjukkan permintaan kuat di urban centers dengan high disposable income.

Implikasi untuk Indonesia. Pasar Indonesia menunjukkan dominasi supermarket/hypermarket untuk distribusi mass-market, dengan emerging channels e-commerce platforms (Shopee, Tokopedia untuk RTD tea), specialty tea cafés di urban centers, traditional wet markets. Opportunity gap terbesar adalah development of branded specialty channels untuk positioning produk premium Indonesia.

Tren Konsumen Global dan Implikasi

Premiumization dan health consciousness. Konsumen di pasar maju (North America, Western Europe) menunjukkan willingess to pay premium untuk single-origin teas, organic certifications, artisanal processing methods, sustainable sourcing credentials. Trend ini mendorong growth di premium segment dengan margin profit lebih tinggi, namun memerlukan differentiation dan storytelling yang kuat.

Green tea dan functional tea growth. Green tea CAGR 8.04–9.8% jauh melampaui overall tea market growth (6%), mencerminkan structural shift. Functional tea additives (adaptogenic blends, probiotics, immunity boosters) menunjukkan strong uptake, khususnya di North American market.

Herbal tea expansion. Herbal tea mencapai CAGR 8.2%, driven oleh caffeine-free preference dan specific health claims. Matcha market khususnya berkembang pesat dari USD 2.30 miliar (2025) menuju USD 2.90 miliar (2028), dengan North America menunjukkan CAGR tertinggi 7.4%.

Sustainable dan ethical sourcing. Sustainability initiatives seperti Trustea certification (India) telah mengubah 53% dari India’s black tea production. Programs ini menjadi differentiator kompetitif, dengan evidence menunjukkan consumer preference shift menuju certified products.

Proyeksi 2026

World Bank memprojeksikan penurunan harga teh sebesar 5% pada 2025, setelah periode price elevation yang dipicu oleh supply constraints di Kenya dan Uganda, combined dengan production challenges di Sri Lanka. Harga komoditas teh spot (INR/Kg) mencerminkan trend ini dengan penurunan 7.48% year-over-year pada November 2025.

Driver penurunan, improved production di Sri Lanka dengan cumulative increase 2.82M Kg Januari–Oktober 2025, normal supply dari East Africa seiring recovery dari climate disruptions dan easing dari supply-demand imbalance yang ketat pada 2024.

World Bank memproyeksikan recovery sebesar ~2% pada 2026 dan 2027, didukung oleh increased production di South Asia (India recovery), expanded output dari East Africa, normalization dari climate patterns.

Trading Economics forecast untuk 12-bulan ke depan (dari Desember 2025) menunjukkan harga pada level 104.35 INR/Kg, namun proyeksi ini perlu diinterpretasikan dengan caution mengingat volatilitas inherent pada commodity markets dan uncertainty seputar climate dynamics.

Ada beberapa faktor risiko terhadap harga 2026 yang dapat terjadi. Climate volatility, projections menunjukkan potential yield decline 5% (China), 14% (Sri Lanka), 25% (Kenya) by 2050 due to climate change. Early signals untuk 2026 menunjukkan weather uncertainty di key producing regions.

Currency parity. Sri Lanka tea prices impacted significantly oleh parity SLR vs USD. Currency devaluation dapat boost competitiveness namun presently creates uncertainty.
Input costs. Wages, mechanization, fertilizer costs terus rising di producer countries, potentially constraining supply expansion. Geopolitical tensions. Export market volatility (e.g., Russia geopolitical situation) dapat disrupt traditional supply chains.

Ada beberapa rekomendasi bagi para produsen teh Indonesia. Pertama, diversifikasi produk bernilai tambah. Target peningkatan processed/branded tea products dari current 6% menjadi minimum 15% dalam 5 tahun. Focus pada specialty varieties (organic, flavored, single-origin) dengan command higher margins.

Kedua, penetrasi pasar premium domestik. Dengan growing middle class dan increasing health consciousness, develop premium domestic brands untuk capture higher-value segment. Opportunity di RTD premium, specialty cafés, dan e-commerce channels.

Ketiga, quality improvement dan certification. Address anthraquinone issues untuk unlock EU market access. Pursue sustainability certifications (Rainforest Alliance, Trustea equivalent) untuk align dengan global trends.

Keempat, market diversification. Reduce concentration risk dari traditional markets (Malaysia, Russia). Target emerging markets (Middle East, Africa) dengan growing tea consumption. US market showed 33% import growth dari Indonesia (2016), signaling untapped potential.

Kelima, e-commerce dan D2C positioning. Leverage digital channels untuk direct consumer access, bypassing intermediaries dan capturing higher margins. Indonesia’s tech-savvy urban population menyediakan foundation untuk D2C growth.

Bagi para pemangku kebijakan, ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan. Pertama, infrastructure investment. Strengthen logistics infrastructure (cold chain, ports) untuk reduce post-harvest losses dan improve export competitiveness.

Kedua, agronomy R&D. Invest dalam climate-resilient tea varieties development dan sustainable farming practices untuk maintain/increase yields despite climate headwinds.

Ketoga, domestic demand stimulation. Develop public health messaging around tea consumption benefits, khususnya green tea untuk health-conscious segments, untuk increase domestic per-capita consumption dari 0.32 kg menuju 0.5+ kg per year.

Keempat, quality standards enforcement. Implement and enforce quality standards selaras dengan international benchmarks untuk eliminate non-conformant batches yang damage reputation.

Bagi para investor dan pengusaha, berikut beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan bahan menentukan kebijakan perusahaan kedepan. Risk management. Commodity price volatility (±5% annual swings) requires hedging strategies. Forward contracts dan futures markets dapat mitigate exposure.

Kedua, supply chain visibility. Indonesia’s export volume decline signals production/structural challenges. Monitor production trends dan quality metrics untuk informed sourcing decisions.

Ketiga, emerging opportunity. Organic tea CAGR 14.3% (Indonesia) jauh melampaui bulk tea growth. Consolidation opportunity exists untuk premium producers aiming untuk upmarket positioning.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments