Harga telur ayam ras di pekan kedua November 2025 terus mencatatkan momentum kenaikan yang signifikan, dengan rata-rata nasional mencapai Rp31.645 per kilogram, melampaui Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp30.000 per kilogram. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan 0,32 persen dibandingkan Oktober 2025, sementara selama tiga bulan terakhir sejak September, telur mengalami lonjakan kumulatif mencapai 7,72 persen.
Fenomena ini menciptakan lanskap ekonomi yang kompleks, di satu sisi merupakan berita gembira bagi peternak yang menghadapi masa sulit, namun di sisi lain membebani daya beli konsumen. Lebih menarik lagi, lonjakan harga ini mengungkapkan serangkaian tantangan struktural dalam sistem pangan Indonesia yang jauh melampaui cerita sederhana tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program Makan Bergizi Gratis, menjadi pendorong utama namun bukan satu-satunya penyebab. Kepala BPS RI mengidentifikasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai faktor utama dalam meningkatkan permintaan telur. Pada pekan kedua November 2025, BPS mencatat bahwa 157 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga telur, dengan kenaikan indeks perubahan harga (IPH) terjadi di 43,61 persen wilayah Indonesia. Korelasi antara kehadiran program MBG dan kenaikan harga sangat terlihat jelas dalam data.
Kabupaten Sambas, yang memiliki 26 unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), mencatat kenaikan harga telur sebesar 8,32 persen. Sementara itu, Kabupaten Jombang dengan 66 unit SPPG mencatat kenaikan hingga 6,38 persen. Pola ini menunjukkan bahwa semakin banyak dapur MBG di suatu wilayah, semakin tinggi tekanan harga telur lokal. Namun, mengatribusikan seluruh kenaikan harga hanya kepada MBG adalah analisis yang terlalu sederhana. Data BPS menunjukkan bahwa kenaikan harga juga didorong oleh faktor distribusi, dengan penyebutan adanya kenaikan harga di tingkat distributor dan permasalahan pasokan dari daerah penghasil yang belum sepenuhnya lancar.
Beban biaya produksi, saat jagung pakan menjadi penghambat. Salah satu faktor struktural yang sering diabaikan adalah dinamika harga jagung pakan. Pada Februari 2025, pemerintah meningkatkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung pakan dari Rp5.000 menjadi Rp5.500 per kilogram. Kenaikan ini langsung berdampak pada biaya operasional peternak, karena pakan merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya produksi telur.Dalam analisis akuntansi peternakan ayam petelur, biaya pakan biasanya mencapai 70-80 persen dari total biaya produksi, diikuti oleh biaya operasional, vaksin, vitamin, dan biaya tenaga kerja. Ketika harga jagung meningkat Rp500 per kilogram, dampak kaskadinya terasa di seluruh rantai nilai—dari peternak skala kecil hingga distributor besar.
Menariknya, ketika diperiksakan pada awal Desember 2024, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan menganalisis bahwa di daerah sentra produksi seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, harga jagung relatif stabil di kisaran Rp5.300 hingga Rp5.500 per kilogram, sehingga kenaikan harga telur kemungkinan tidak semata-mata disebabkan pakan tetapi bersifat musiman dan terkait permintaan liburan.
Distribusi tidak efisien, botleneck tersembunyi. Salah satu temuan paling signifikan dari data BPS adalah disparitas harga regional yang ekstrem. Pada pekan kedua November 2025, Kabupaten Mamberamo Tengah di Papua mencatat harga telur mencapai Rp100.000 per kilogram, lebih dari tiga kali lipat harga nasional. Kabupaten Puncak Jaya dan Intan Jaya masing-masing berada di Rp90.000 per kilogram. Kontras dramatis ini menunjukkan masalah distribusi yang fundamental. Sementara harga terendah berada di level Rp23.300 per kilogram di beberapa daerah sentra produksi Jawa, wilayah timur Indonesia mengalami kelangkaan pasokan yang parah.
Penelitian akademis tentang rantai pasok telur di Indonesia mengungkapkan bahwa biaya logistik membentuk proporsi signifikan dalam struktur biaya. Pada tingkat pengepul, aktivitas transportasi mencapai 38,34 persen dari total biaya logistik, sementara material handling mencapai 24,26 persen. Pada tingkat pengecer, material handling mencapai 35,48 persen dan transportasi 29,03 persen.
Kelemahan sistem distribusi ini diperkuat oleh aliran informasi yang lemah antara pemain di berbagai tingkat rantai pasok. Studi tentang rantai pasok di Kabupaten Pati menunjukkan bahwa kolaborasi antar mata rantai kurang terjalin dengan baik, terkesan masih “sendiri-sendiri,” dan aliran informasi dari ritel ke produsen tidak lancar.
Menteri Pertanian RI dengan jelas mengartikulasikan sudut pandang pemerintah, kenaikan harga telur adalah “dampak positif” dari MBG yang mendorong pergerakan ekonomi sektor peternakan.
Sebagai konteks, tiga bulan sebelumnya (sekitar Agustus 2025), harga telur berada di kisaran Rp18.000 per kilogram. Artinya, peternak saat ini menikmati peningkatan harga sebesar 75,8 persen, sebuah lonjakan luar biasa yang memberikan kesempatan bagi mereka untuk keluar dari kerugian. Banyak peternak, khususnya peternak skala kecil dan menengah, telah mengalami masa-masa sulit ketika harga jatuh dan mereka hampir bangkrut.
Pemerintah berencana memanfaatkan momentum ini dengan membangun ekosistem peternakan ayam terintegrasi senilai Rp20 triliun pada 2026, mencakup peningkatan kapasitas dengan menambah Day Old Chick (DOC) dan Grand Parent Stock guna memperkuat ketersediaan ayam dan telur nasional.
Paradoks produksi yang pernah terjadi adalah surplus nasional namun defisit regional. Salah satu ironi terbesar adalah bahwa Indonesia sebenarnya mengalami surplus produksi telur. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), produksi telur ayam ras tahun 2024 mencapai 6,34 juta ton, sementara proyeksi untuk 2025 adalah 6,52 juta ton—angka yang melebihi kebutuhan konsumsi nasional sebesar 6,22 juta ton. Indonesia bahkan merupakan produsen telur terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Jepang, dengan surplus sebesar 295 ribu ton atau 4,5 persen dari kebutuhan nasional.
Namun surplus nasional ini tidak merata. Beberapa daerah di luar sentra produksi menghadapi defisiensi pasokan yang akut. BPS mencatat bahwa fenomena peningkatan permintaan harus diimbangi dengan ketersediaan stok di pasaran, dan beberapa daerah memiliki distribusi yang perlu mendapat perhatian. Ini mengungkapkan kelemahan fundamental dalam sistem manajemen rantai pasok nasional, kapasitas produksi agregat yang mencukupi tidak diterjemahkan menjadi ketersediaan regional yang merata.
Dampak berlapis pada konsumen dan ekonomi. Kenaikan harga telur yang berkelanjutan memiliki dampak berlapis pada ekonomi. Pertama, pada tingkat rumah tangga, telur merupakan sumber protein hewani terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Konsumsi telur per kapita di Indonesia dilaporkan sekitar 9,49 butir per bulan atau 0,59 kilogram per kapita per bulan. Kedua, pada tingkat industri, kenaikan harga telur mempengaruhi industri pengolahan makanan yang menggunakan telur sebagai bahan baku. Kue, makanan siap saji, dan berbagai produk makanan lainnya menghadapi tekanan biaya produksi. Ketiga, pada tingkat inflasi makro, telur memiliki andil yang terukur dalam indeks harga konsumen. Pada November 2022, inflasi yang didorong oleh kenaikan harga telur mencapai 2,77 persen (month-to-month) dan 17,11 persen (year-on-year), dengan kontribusi inflasi sebesar 0,02 persen.
Upaya Intervensi Pemerintah dan Tantangan Jangka PanjangPemerintah telah mengambil beberapa langkah intervensi. Menteri Pertanian berencana memanggil perusahaan-perusahaan besar di sektor peternakan untuk memastikan harga tetap terkendali. Selain itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan kapasitas produksi dengan penambahan DOC dan Grand Parent Stock, dengan fokus pada wilayah-wilayah yang masih mengalami kekurangan pasokan.
Namun, tantangan jangka panjang tetap signifikan. Penelitian tentang efisiensi peternakan skala kecil menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi, biaya produksi, dan ekonomi skala sangat mempengaruhi daya saing usaha peternakan ayam petelur. Banyak peternak skala kecil, yang merupakan mayoritas peternak telur di Indonesia, memiliki keterbatasan akses terhadap teknologi modern dan pembiayaan yang memadai.
Kenaikan harga telur per Bulan November 2025 ini adalah momentum yang perlu dikelola dengan bijak. Kenaikan harga telur di November 2025 adalah manifestasi dari beberapa kekuatan ekonomi yang bertautan, permintaan yang meningkat karena MBG, biaya produksi yang tertekan oleh harga pakan, ketidakefisienan distribusi regional, dan musiman akhir tahun. Program MBG memang memainkan peran penting dalam meningkatkan permintaan, namun hanya satu dari sejumlah faktor yang menjelaskan dinamika harga.
Bagi peternak, terutama yang berskala kecil dan menengah, momentum ini adalah kesempatan emas untuk bangkit dari masa-masa sulit. Namun, kesempatan ini hanya berkelanjutan jika pemerintah berhasil mengatasi tantangan struktural dalam sistem distribusi dan membangun ekosistem peternakan yang terintegrasi.
Untuk konsumen, tantangan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah dapat menjaga stabilitas harga agar tidak terus melonjak, sambil tetap mendorong peternak untuk meningkatkan produksi. Keseimbangan ini akan menentukan apakah kenaikan harga telur saat ini menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan atau menjadi sumber ketegangan inflasioner yang lebih luas.


