Komoditas cabai telah menjadi batu sandungan ekonomi Indonesia selama dua tahun terakhir, khususnya di 2025 ketika harga cabai merah meloncat hingga 34,55% pada minggu kedua Januari dibandingkan Desember 2024. Data yang lebih dramatis lagi menunjukkan cabai rawit merah mengalami kenaikan yang lebih tajam 42% dalam periode waktu yang sama, hingga menembus rata-rata nasional Rp67.816 per kilogram, melampaui batas atas Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp57.000 per kilogram. Fenomena ini mencerminkan ketidakstabilan struktural dalam sistem produksi dan distribusi komoditas strategis yang paling sering dikaitkan dengan tekanan inflasi nasional.
Dari perspektif perbandingan data tahunan, volatilitas harga cabai menunjukkan pola yang konsisten namun semakin ekstrem. Pada awal 2024, cabai rawit merah tercatat pada harga Rp64.385 per kilogram di bulan Januari, sedangkan memasuki awal 2025, harga tersebut meledak menjadi Rp73.280 per kilogram pada tanggal 7 Januari, merepresentasikan lonjakan 14% dalam rentang waktu satu tahun. Bahkan lebih mengejutkan, pada bulan yang sama di 2025, beberapa wilayah melaporkan harga ekstrem yang tak terduga, Kabupaten Nduga di Papua mencatat rekor tertinggi Rp180.000 per kilogram untuk cabai merah dan Rp200.000 per kilogram untuk cabai rawit pada November 2025, mencerminkan kesenjangan spasial yang mencolok dan hambatan distribusi yang serius.
Jika diamati secara holistik sepanjang tahun, pola musiman yang teridentifikasi menunjukkan dinamika permintaan-penawaran yang berkontribusi terhadap fluktuasi ekstrem. Selama 2024, cabai rawit merah mengalami penurunan signifikan pada bulan-bulan panen raya. Data menunjukkan pada September 2024, harga cabai rawit turun menjadi Rp53.198 per kilogram, penurunan drastis dari periode sebelumnya. Menurunnya harga ini mencerminkan melimpahnya pasokan di musim panen. Namun, memasuki periode akhir tahun dan awal tahun baru, ketika wilayah-wilayah penghasil utama memasuki musim tanam dan sebagian besar daerah menghadapi tekanan cuaca buruk, harga melejit kembali hingga mencapai puncaknya pada Januari-Maret 2025.
Jawa Timur Jadi Pusat Krisis Pasokan dan Anomali Produksi
Posisi Jawa Timur sebagai sentra produksi cabai terbesar Indonesia, berkontribusi 36,27% dari total produksi cabai rawit nasional menjadikan provinsi ini sebagai titik kritis yang menentukan stabilitas harga nasional. Kabupaten-kabupaten seperti Blitar, Sampang, Kediri, Nganjuk, dan Bondowoso secara tradisional menjadi tulang punggung pasokan nasional, dengan kapasitas produksi yang berfluktuasi bergantung pada kondisi iklim dan praktik agronomi.
Data produksi Jawa Timur menunjukkan tren mengkhawatirkan pada tahun 2024. Pada Juni 2024, realisasi produksi cabai rawit Jawa Timur mencapai 49.082 ton, namun angka ini mengalami penurunan 42% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan produksi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor luas panen, tetapi juga oleh penurunan produktivitas sebesar 40%, menunjukkan rendahnya hasil per hektar akibat tekanan lingkungan dan praktik budidaya yang suboptimal. Kabupaten Blitar, yang merupakan penghasil cabai rawit terbesar keempat di Jawa Timur, mengalami penurunan produktivitas sebesar 348.224 kuintal dibandingkan tahun sebelumnya, dengan faktor utama yaitu cuaca yang tak menentu dan mundurnya jadwal musim tanam.
Data Badan Pertanian Nasional (Dipertakp) Jawa Timur memprediksi potensi produksi cabai besar bulan Januari 2025 sebesar 4.899 ton berdasarkan pertanaman bulan Agustus-Oktober 2024. Proyeksi ini menunjukkan kondisi pasokan yang masih terbatas memasuki periode demand tinggi menjelang Ramadhan. Situasi diperparah oleh perubahan perilaku petani, sebagian beralih ke komoditas lain seperti cabai rawit merah atau komoditas yang lebih menguntungkan setelah mengalami kerugian harga cabai yang berkepanjangan di 2024.
Penelusuran mendalam terhadap lapangan menunjukkan bahwa intensitas cuaca ekstrem menjadi faktor dominan dalam kolapsnya pasokan cabai. Tanaman cabai memiliki sensitivitas tinggi terhadap kelembaban berlebihan—tanaman yang terendam air lebih dari 72 jam dapat mengalami kerusakan serius dengan gejala layu hingga kematian tanaman. Curah hujan tinggi yang tidak merata, dikombinasikan dengan angin kencang, menyebabkan bunga cabai rontok sebelum sempat berkembang menjadi buah, secara dramatis mengurangi potensi hasil panen.
Periode Desember 2024 hingga Februari 2025 menjadi watershed moment bagi pasokan cabai. Menjelang Tahun Baru 2025, harga cabai rawit di Kota Blitar, Jawa Timur, melejit dari Rp40.000 per kilogram menjadi Rp60.000 per kilogram dalam waktu seminggu. Penyebab utamanya adalah stok cabai di petani yang menipis akibat tingginya curah hujan dan rusaknya tanaman cabai karena terkena air hujan secara berlebihan. Situasi ini diperburuk oleh kombinasi faktor demand—permintaan cabai rawit dari masyarakat meningkat pada momen Natal dan Tahun Baru.
Dampak Ekonomi, Krisis Daya Beli dan Tekanan UMKM
Inflasi cabai yang berkelanjutan membawa implikasi ekonomi yang meluas jauh melampaui pasar komoditas. Cabai merah menjadi komoditas inflasi tertinggi pada Februari 2024, dengan inflasi month-on-month sebesar 18,73% di Provinsi Lampung. Pada tingkat nasional, andil inflasi untuk cabai merah mencapai 0,10% terhadap inflasi umum, dengan pola yang konsisten di setiap periode yang diteliti.
Dampak paling signifikan dirasakan oleh sektor Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergantung pada konsumsi domestik. Penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi cabai menyebabkan konsumen lebih selektif dalam pengeluaran, mengakibatkan penjualan UMKM di sektor ritel, makanan dan minuman menurun. Lebih dari 60% pelaku UMKM melaporkan penurunan omzet akibat turunnya daya beli konsumen. Ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran menciptakan kesulitan bagi UMKM dalam membayar supplier, menggaji karyawan, dan melunasi utang tepat waktu. Tertutupnya akses pendanaan untuk UMKM dalam kondisi ini semakin memperburuk spiralisasi penurunan ekonomi grassroots.
Data menunjukkan pola konsumsi rumah tangga mengalami perubahan signifikan. Konsumsi cabai besar oleh sektor rumah tangga tahun 2024 adalah 600,42 ribu ton, turun 11,05% dari tahun 2023. Penurunan konsumsi ini menandakan substitusi produk, konsumen mengalihkan pengeluaran ke bahan makanan alternatif atau mengurangi penggunaan cabai dalam masakan mereka.
Menghadapi krisis harga cabai, pemerintah mengambil berbagai inisiatif stabilisasi. Badan Pangan Nasional (Bapanas) melaksanakan operasi pasar melalui Gerakan Pangan Murah (GPM) dan Fasilitasi Distribusi Pangan (FDP) untuk memastikan pasokan yang cukup dan harga terjangkau. Strategi ini diimplementasikan khususnya menjelang periode permintaan tinggi seperti Ramadhan dan Lebaran.
Intervensi operasional juga mencakup distribusi cabai antar-daerah. Pada Oktober 2025, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mendatangkan 50 ton cabai merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengendalikan inflasi, menjualnya dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp55.000 per kilogram. Meskipun langkah ini berorientasi pada penstabilan harga lokal, efektivitasnya terbatas karena tidak mengatasi masalah struktural pasokan di tingkat nasional.
Pemerintah juga mengupayakan peningkatan produksi melalui optimalisasi lahan dan teknologi. Dipertakp Jawa Timur melakukan gerakan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan), pertanaman cabai di pekarangan untuk kegiatan Pekarangan Pangan Lestari, dan optimalisasi greenhouse budidaya cabai untuk menjaga ketersediaan cabai sepanjang musim. Namun, inisiatif ini memerlukan waktu panjang untuk menunjukkan hasil signifikan.
Strategi jangka panjang yang dicanangkan pemerintah mencakup pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang dilengkapi cold storage. Konsep ini dirancang agar pada masa panen puncak, cabai dapat disimpan dan dilepas ke pasar pada periode off-season untuk menjaga stabilitas harga sepanjang tahun. Namun, implementasi strategi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum menunjukkan dampak signifikan hingga November 2025.
Prediksi 2026, Ketidakpastian Berkelanjutan dan Kebutuhan Reformasi Struktural
Proyeksi produksi cabai nasional menunjukkan pertumbuhan yang diharapkan mencapai 3,52 juta ton pada tahun 2028 dari 3,11 juta ton tahun 2024, dengan laju pertumbuhan 3,18% per tahun. Meskipun proyeksi ini optimis, proyeksi ini tidak mempertimbangkan skenario ekstrem perubahan iklim atau disrupsi struktural lainnya yang dapat menghambat pencapaian target.
Untuk Jawa Timur secara spesifik, tantangan yang dihadapi petani cabai melampaui sekadar cuaca. Ketergantungan pada kondisi meteorologi yang tidak dapat diprediksi menciptakan ketidakpastian berkelanjutan. Jika cuaca mendukung, hasil panen dapat melimpah namun jika musim hujan datang dengan intensitas tinggi, serangan hama dan penyakit akan meningkatkan risiko gagal panen secara masif.
Rencana aksi yang komprehensif untuk periode 2024-2026 harus mencakup, diversifikasi sentra produksi dengan pengembangan sistem greenhouse dan precision farming di area-area di luar Jawa. Berikutnya adalah penguatan sistem manajemen risiko cuaca melalui asuransi pertanian dan early warning Systems. Lalu, perbaikan rantai distribusi untuk mengurangi kesenjangan spasial harga. Penguatan literasi pasar petani agar tidak mudah beralih ke komoditas lain saat harga turun perlu digiatkan dan pengembangan storage facilities untuk pemulusan harga musiman.
Perjalanan harga cabai Indonesia sepanjang 2024-2025 mencerminkan ketidakseimbangan fundamental antara penawaran yang fluktuatif dengan permintaan yang elastis namun terobati dalam waktu panjang. Jawa Timur, sebagai pusat produksi, telah mengalami penurunan signifikan dalam output tahun 2024 yang berkontribusi pada lonjakan harga drastis di awal 2025. Sementara pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif stabilisasi, ketidakadekuatan respons terhadap faktor meteorologi dan kebutuhan penyesuaian struktural produksi membuat outlook harga cabai untuk sisa tahun 2025 dan seterusnya tetap bergejolak.
Proyeksi menunjukkan harga cabai kemungkinan akan terus mengalami fluktuasi musiman dengan baseline yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mencerminkan meningkatnya cost structure produksi dan terbatasnya ruang ekspansi lahan. Stabilitas harga cabai memerlukan komitmen jangka panjang terhadap transformasi agrikultur yang lebih resilient terhadap iklim, didukung oleh investasi infrastruktur signifikan dan reformasi kelembagaan pasar. Tanpa intervensi struktural yang komprehensif, tekanan inflasi dari komoditas cabai akan terus menggoyahkan stabilitas ekonomi rumah tangga dan sektor UMKM di Indonesia.


