Selasa, Desember 2, 2025
spot_img
BerandaMediaKrisis Produksi Smelter Manyar PT Freeport Indonesia, Berikut Kerugiannya

Krisis Produksi Smelter Manyar PT Freeport Indonesia, Berikut Kerugiannya

Pada awal September 2025, sebuah peristiwa geologis yang mengguncang industrialawan mineral Indonesia terjadi di kedalaman tambang Grasberg Block Cave (GBC) di Tembagapura, Papua Tengah. Insiden longsor yang menimpa area penggalian pada 8 September 2025 menjadi titik balik yang memicu penghentian total operasional smelter tembaga tercanggih di dunia, Smelter Manyar milik PT Freeport Indonesia (PTFI) yang baru saja mulai mencapai momentum operasionalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur.

Penghentian ini terjadi ketika smelter Manyar telah meraih pencapaian signifikan, tingkat utilitas operasi mencapai 70% pada Agustus 2025, setelah perbaikan panjang pasca-kebakaran yang menimpa fasilitas Common Gas Cleaning Plant pada Oktober 2024. Kini, dengan tidak adanya pasokan konsentrat tembaga dari pertambangan hulu, smelter dengan desain single line terbesar di dunia ini harus berdiam diri dalam periode yang tidak pasti.

Smelter Manyar dirancang sebagai wujud nyata komitmen PTFI terhadap kebijakan hilirisasi yang diamanatkan dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tahun 2018. Pembangunan dimulai pada Oktober 2021 dengan total investasi mencapai Rp 56-58 triliun (sekitar USD 3,7 miliar) untuk menciptakan fasilitas pemurnian konsentrat tembaga terbesar di planet ini.

Saat peresmian operasional pada 27 Juni 2024, Menteri Perekonomian RI menekankan bahwa fasilitas seluas 100 hektare ini dirancang dengan kapasitas input pemrosesan 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun, yang mampu menghasilkan katoda tembaga hingga 650 ribu ton dan logam mulia seperti emas (50-60 ton/tahun) dan perak (220 ton/tahun). Smelter dilengkapi unit refinery, unit pemurnian logam mulia, unit oksigen, unit asam sulfat, desalinasi, dan plant pengolahan limbah untuk menjamin proses pemurnian yang efisien dan ramah lingkungan.

Namun, hanya tiga pekan setelah peresmian, bencana menimpa. Kebakaran di fasilitas Common Gas Cleaning Plant pada 14 Oktober 2024 menyebabkan kerusakan parah pada Wet Electro-Static Precipitator (WESP) dan komponen-komponen kritis lainnya. Insiden ini menggugurkan target operasional penuh smelter yang dijadwalkan akhir Desember 2024 menjadi tersendat berkuwan-kuwan waktu.

Setelah bulan-bulan perbaikan intensif yang melibatkan pengiriman 300 ton peralatan pengganti melalui pesawat kargo dari luar negeri, smelter akhirnya berhasil kembali beroperasi pada pertengahan Mei 2025, lebih cepat dari jadwal awal yang ditargetkan September 2025. Presiden Direktur PTFI mencatat bahwa pihaknya mengerahkan sekitar 2.000 tenaga kerja untuk perbaikan dengan skema dua shift demi mempercepat pemulihan.

Pada pekan keempat Juni 2025, smelter mulai menghasilkan katoda tembaga pertamanya setelah perbaikan. PTFI merencanakan peningkatan kapasitas produksi secara bertahap: 40% pada akhir Juni, 50% pada Agustus, 60% pada September, 70% pada Oktober, 80% pada November, dan 100% pada Desember 2025.

Pada Agustus 2025, pencapaian tersebut nyaris terwujud ketika utilitas smelter mencapai 70%, sebuah momentum yang berarti smelter Manyar telah memasuki fase puncak operasionalnya sebelum bencana berikutnya muncul.

Bencana Berantai, Longsor Grasberg dan Penghentian Total Operasi

Pada 8 September 2025, insiden longsor menimpa area Extraction 28-30 Panel di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) di Tembagapura, Papua Tengah. Longsor ini mengakibatkan tujuh pekerja terjebak di dalam tambang, memaksa PTFI untuk menghentikan seluruh kegiatan produksi guna memfokuskan sumber daya pada operasi penyelamatan. Pencarian korban berlangsung hingga 6 Oktober 2025, ketika seluruh korban akhirnya ditemukan.

Dampak langsung dari insiden tersebut adalah terhentinya pasokan konsentrat tembaga, bahan baku utama yang menjadi jiwa operasional smelter Manyar. Presiden Direktur PTFI menegaskan, “Saat ini operasionalnya dapat dikatakan berhenti karena tidak ada konsentrat”. Sebab, PTFI hanya memiliki dua lokasi penambangan yang masih dapat beroperasi, Big Gossan dan Deep Mill Level Zone (DMLZ), yang mampu memproduksi 70.000 ton konsentrat per hari atau setara 30% dari total kapasitas produksi tambang sebesar 210.000 ton per hari.

Meski tambang Big Gossan dan DMLZ dapat memenuhi sebagian kebutuhan konsentrat, seluruh produksi dari dua tambang tersebut harus diprioritaskan ke PT Smelting di Gresik yang lebih dulu beroperasi, sesuai perjanjian dengan operator Jepang Mitsubishi. Akibatnya, smelter Manyar bersama Precious Metal Refinery (PMR)-nya terpaksa berhenti total operasional.

Kementerian ESDM memproyeksikan bahwa stok konsentrat tembaga PTFI hanya cukup untuk operasional smelter hingga akhir Oktober 2025, setelah itu kegiatan akan terhenti sama sekali. Penghentian ini berlangsung sementara Pemerintah dan PTFI melakukan investigasi menyeluruh terhadap penyebab dan mekanisme longsor untuk memastikan keamanan sebelum operasi penambangan kembali dimulai.

Kronologi Berhentinya Smelter Manyar, Gresik

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada 24 November 2025, Presiden Direktur PTFI mengumumkan bahwa smelter Manyar akan tetap berhenti sampai akhir tahun 2025 dan baru merencanakan kembali berproduksi pada triwulan kedua 2026[4]. Ini berarti operasional smelter akan terganggu selama kurang lebih delapan bulan, dari September 2025 hingga Juni 2026.

Periode penghentian ini mencakup, September 2025. Berhenti tiba-tiba akibat longsor dan penghentian operasi penyelamatan. Lalu, di Bulan Oktober 2025, stok konsentrat mulai habis, operasi sudah terhenti sepenuhnya. Kemudian, November 2025 – Mei 2026, periode penghentian total selama investigasi, evaluasi, dan restorasi tambang. Pada Bulan Juni 2026, target restart operasional smelter (jadwal yang dapat berubah sesuai progres perbaikan tambang).

Kalkulasi kerugian ekonomi, dampak luas pada industri mineral indonesia. Kerugian ekonomi dari penghentian smelter Manyar mencakup berbagai dimensi yang memberikan pukulan berat terhadap perekonomian nasional dan regional, khususnya untuk sektor pertambangan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah Papua.

Pertama, nilai konsentrat tembaga yang idle. Estimasi nilai konsentrat tembaga yang tidak dapat diproses mencapai USD 5 miliar atau setara Rp 81,65 triliun. Volume konsentrat yang idle diperkirakan mencapai 1,5 juta ton selama periode penghentian operasional. Penghitungan ini didasarkan pada harga pasar tembaga rata-rata, dengan nilai per ton mencapai sekitar USD 3.333, mencerminkan kondisi pasar global pada periode tersebut.

Dengan tingkat kapasitas penuh smelter Manyar sebesar 1,7 juta ton konsentrat per tahun, penghentian operasional selama delapan bulan berarti kehilangan pemrosesan sekitar 1,13 juta ton konsentrat, plus penambahan dari backlog produksi hulu yang terus menumpuk di storage area.

Kedua, potensi penerimaan negara yang hilang. Dari total nilai konsentrat yang idle senilai USD 5 miliar, potensi penerimaan negara dalam bentuk bea keluar, royalti, dividen, dan pajak badan usaha diperkirakan mencapai USD 4 miliar atau Rp 65 triliun. Rincian komponen penerimaan negara yang hilang meliputi, dividen, USD 1,7 miliar (Rp 28 triliun), pajak perusahaan USD 1,6 miliar (Rp 26 triliun), bea keluar ekspor, USD 0,4 miliar (Rp 6,5 triliun) dan royalti, USD 0,3 miliar (Rp 4,5 triliun).

Dengan rata-rata kerugian penerimaan negara mencapai USD 0,5 miliar (Rp 8,12 triliun) per bulan, dampak kumulatif selama delapan bulan penghentian operasional sangat signifikan bagi kas negara.

Dampak pada daerah Papua. Penghentian ekspor konsentrat tembaga dan turunnya aktivitas pertambangan berdampak langsung pada pendapatan daerah-daerah di Papua. Estimasi kehilangan pendapatan daerah mencakup, Papua Tengah mencapai Rp 1,3 triliun, Kabupaten Mimika mencapai Rp 2,3 triliun, kabupaten lain di Papua Tengah mencapai Rp 2 triliun dan perkiraan total dampak daerah mencapai Rp 5,6 triliun.

Selain itu, dana kemitraan yang dialokasikan Freeport untuk pengembangan masyarakat (1% dari pendapatan) juga berkurang signifikan, diperkirakan menyusut hampir Rp 1 triliun.

Sedangkan untuk biaya perbaikan Smelter pasca-kebakaran, walaupun kebakaran Oktober 2024 bukan penyebab utama penghentian saat ini, kerusakan yang ditimbulkan memerlukan perbaikan intensif dengan biaya mencapai USD 130 juta (Rp 2,12 triliun). Namun, seluruh biaya ini ditanggung oleh pihak asuransi, sehingga PTFI tidak menanggung beban finansial langsung untuk perbaikan fasilitas kebakaran.

Perhitungan kerugian produksi alternatif. Analisis alternatif menunjukkan bahwa jika dihitung berdasarkan periode penghentian dan produktivitas tembaga hilang, potensi kehilangan pendapatan negara juga dapat mencapai USD 2,63 miliar (Rp 42,12 triliun) tergantung asumsi perhitungan yang digunakan.

Dari sisi dampak pada tenaga kerja, kerugian sosial dan ekonomi. Penghentian operasional smelter Manyar memberikan dampak signifikan terhadap kondisi ketenagakerjaan di fasilitas tersebut. Ketika beroperasi penuh, smelter Manyar mempekerjakan total 2.000 tenaga kerja, yang terdiri dari 800 karyawan tetap PT Freeport Indonesia (pegawai tetap dengan status karyawan langsung). Lalu ada 1.200 karyawan kontraktor dan alih daya (personel dari perusahaan kontraktor dan layanan.

Selama periode penghentian operasional dari September 2025 hingga target resume Juni 2026 (kurang lebih 8 bulan), estimasi dampak ketenagakerjaan meliputi, pertama, estimasi karyawan terdampak. Berdasarkan perhitungan konservatif, sekitar 1.400 karyawan atau 70% dari total tenaga kerja berpotensi mengalami pengurangan jam kerja signifikan, PHK sementara (layoff), atau penghentian kontrak.

Kelompok yang paling terdampak adalah, karyawan kontraktor (1.200 orang) yang biasanya memiliki kontrak berbasis produksi. Sementara itu, ada sebagian karyawan tetap PTFI yang dipindahkan ke fungsi yang tidak terkait smelter Manyar.

Estimasi kerugian upah dan kehilangan penghasilan dengan asumsi, karyawan terdampak, ada 1.400 orang. Sedangkan untuk periode berhenti operasional, 240 hari kerja (kurang lebih 8 bulan). Untuk perhitungan jam kerja per hari 8 jam dan upah rata-rata per jam Rp 150.000 (asumsi untuk posisi operasional tingkat menengah).

Total jam kerja yang hilang mencapai 2,688,000 jam kerja, menghasilkan estimasi kerugian upah tenaga kerja sebesar Rp 403,2 miliar atau Rp 0,40 triliun.

Namun, perhitungan ini masih merupakan estimasi konservatif. Jika memasukkan pengurangan produktivitas, bonus, dan benefit yang biasanya diperoleh dari operasi penuh, kerugian total untuk tenaga kerja bisa mencapai nilai yang lebih tinggi.

Dampak sosial dan psikologis. Penghentian operasional juga membawa dampak sosial yang lebih luas. Ketidakpastian ekonomi keluarga karyawan yang bergantung pada pendapatan smelter. Stress dan kekhawatiran* terhadap ketenangan usaha jangka panjang dan kemungkinan terjadinya migrasi tenaga kerja ke wilayah lain atau sektor lain.

Perusahaan telah melakukan upaya mitigasi dengan program CSR, namun dampak sosial ini tetap menjadi tantangan serius bagi stabilitas komunitas lokal di sekitar JIIPE Gresik.

Investasi tenaga kerja yang hilang. Selama fase konstruksi (2021-2024), smelter Manyar telah menyerap 40.000 tenaga kerja secara kumulatif, dengan puncak pekerjaan membutuhkan lebih dari 13.000 orang. Investasi dalam pelatihan, transfer teknologi, dan pengembangan kompetensi SDM lokal yang telah dilakukan sejak fase konstruksi menjadi kurang optimal ketika fasilitas tidak beroperasi.

Konteks Lebih Luas, Krisis Penghentian Ekspor Konsentrat

Penghentian smelter Manyar juga harus dipahami dalam konteks kebijakan pemerintah yang lebih luas. Indonesia telah melarang ekspor konsentrat tembaga sejak 1 Januari 2025, dengan pengecualian khusus untuk PTFI hingga 16 September 2025 karena keadaan kahar (kebakaran smelter Manyar). Izin ekspor konsentrat yang pernah diberikan sebesar 1,4 juta wet metric ton telah direalisasikan 91,53% (1,30 juta ton) hingga 16 September 2025.

Dengan berakhirnya izin ekspor konsentrat dan penghentian operasional smelter Manyar, PTFI kehilangan dua opsi: tidak bisa lagi mengekspor konsentrat, dan smelter pemrosesan dalam negeri juga tidak beroperasi. Kondisi ini menciptakan “jebakan ekonomi” yang menyulitkan PTFI untuk mempertahankan arus kas operasional.

Skenario Pemulihan, Target Q2 2026 dan Ketidakpastian

Presiden Direktur Tony Wenas menargetkan smelter Manyar akan kembali berproduksi pada triwulan kedua 2026 (April-Juni 2026). Namun, timeline ini bergantung sepenuhnya pada kecepatan investigasi dan evaluasi tambang Grasberg oleh PTFI dan ESDM, keputusan pemerintah* untuk membuka kembali operasi Grasberg Block Cave. Selain itu, keberhasilan restorasi area tambang yang mengalami longsor dan kemampuan Two tambang alternatif (Big Gossan dan DMLZ) untuk meningkatkan produksi.

Kementerian ESDM melalui Dirjen Mineral dan Batu Bara Tri Winarno menyatakan bahwa PTFI telah memperoleh izin untuk mengoperasikan kembali tambang Big Gossan dan DMLZ, dengan ekspektasi operasional dimulai pada kuartal IV 2025. Jika target ini tercapai, kedua tambang dapat memproduksi 70.000 ton konsentrat per hari (setara 600.000 ton per tahun), yang akan dipasok ke smelter PTFI di Manyar.

Namun, timeline ini masih penuh ketidakpastian mengingat kompleksitas investigasi dan evaluasi yang diperlukan untuk memastikan keamanan operasi tambang bawah tanah.

Penghentian operasional smelter Manyar PTFI dari September 2025 hingga target Q2 2026 mencerminkan rentannya sistem produksi terintegrasi dalam menghadapi bencana geologis. Dengan kerugian ekonomi mencapai USD 5 miliar (Rp 81,65 triliun) dan potensi penerimaan negara yang hilang sebesar USD 4 miliar (Rp 65 triliun), serta dampak sosial pada 1.400 tenaga kerja dan komunitas lokal di Papua, krisis ini mengingatkan pentingnya diversifikasi sumber pasokan bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada satu lokasi tambang. Selain itu, peningkatan standar keselamatan pertambangan bawah tanah di era modern.

Selain itu, komunikasi dan transparansi dengan stakeholder tentang risiko operasional juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Rencana kontingensi yang lebih robust untuk menghadapi skenario worst-case. Selanjutnya faktor yang tidak kalah pentingnya adalah pemberdayaan tenaga kerja lokal dengan program pelatihan keterampilan alternatif.

Kembali beroperasinya smelter Manyar pada Q2 2026 akan menjadi momen penting untuk memastikan integritas sistem pertambangan nasional dan keberlanjutan investasi dalam hilirisasi mineral Indonesia.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Most Popular

Recent Comments